Sabtu, 20 Juli 2013

Seluruh Ajaran Islam Mengandung Maslahat

Ajaran Islam sungguh adalah ajaran yang
sangat indah. Setiap hukum yang ada tidaklah
ada yang sia-sia. Mulai dari hal pakaian,
penampilan, kebersihan dan ibadah, semua
telah diajarkan. Dan semua ajaran tersebut
mengandung maslahat dan bertujuan untuk
meniadakan bahaya bagi hamba. Jilbab
misalnya tidaklah wanita diperintahkan tanpa
ada maslahat, namun ada maksud baik di balik
itu. Wanita akan lebih terjaga ketika
mengenakannya. Begitu pula dengan ajaran
Islam lainnya.
Saat ini kita akan melanjutkan bahasan dari
ba'it sya'ir yang disusun oleh Syaikh
'Abdurrahman bin Nashir As Sa'di
mengenai qowa'idul fiqhiyyah atauk kaedah
fikih. Dari kaedah seperti ini, kita akan
semakin memahami istimewanya ajaran Islam
dan lebih membantu memahami ilmu fikih.
Syaikh As Sa'di rahimahullah kembali
menyebutkan:
ﻦﻳﺪﻟﺍ ﻲﻨﺒﻣ ﺢﻟﺎﺼﻤﻟﺍ ﻰﻠﻋ
ﻲﻓ ﺎﻬﺒﻠﺟ ﺀﺭﺪﻟﺍﻭ ﺢﺋﺎﺒﻘﻠﻟ
Ajaran Islam dibangun di atas maslahat
Ajaran tersebut mengandung maslahat dan
menolak mudhorot (bahaya)
Bait sya’ir di atas mengandung pengertian
bahwa ajaran Islam dibangun atas
dasar meraih maslahat dan menolak
mudhorot (bahaya) .
Maslahat akan Kembali pada Hamba
Maslahat yang dimaksud adalah manfaat.
Maslahat di sini bukanlah kembali pada Allah
karena Allah itu ghoni (Maha Kaya).
Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,
ﻳَﺎ ﺃَﻳُّﻬَﺎ ﺍﻟﻨَّﺎﺱُ ﺃَﻧْﺘُﻢُ ﺍﻟْﻔُﻘَﺮَﺍﺀُ ﺇِﻟَﻰ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﻭَﺍﻟﻠَّﻪُ ﻫُﻮَ ﺍﻟْﻐَﻨِﻲُّ
ﺍﻟْﺤَﻤِﻴﺪُ
“Hai manusia, kamulah yang berkehendak
kepada Allah; dan Allah Dialah Yang Maha
Kaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha
Terpuji” (QS. Fathir: 15). Maslahat atau
manfaat yang dimaksud adalah yang dirasakan
oleh hamba.
Maslahat Bukanlah Ditimbang dengan
Hawa Nafsu
Maslahat di sini juga bukanlah menurut hawa
nafsu atau yang dikehendaki oleh jiwa. Karena
seperti itu sudah keluar dari makna diin atau
ketaatan. Yang namanya ketaatan adalah
dengan mengikuti perintah Allah. Oleh karena
itu, syari’at Islam melarang seseorang untuk
memperturut hawa nafsu sebagaimana dalam
firman-Nya,
ﻭَﻟَﺎ ﺗَﺘَّﺒِﻊِ ﺍﻟْﻬَﻮَﻯ ﻓَﻴُﻀِﻠَّﻚَ ﻋَﻦْ ﺳَﺒِﻴﻞِ ﺍﻟﻠَّﻪِ
“Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu,
karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan
Allah” (QS. Shad: 26). Intinya, mengikuti hawa
nafsu hanya memberi dampak dhoror (bahaya)
dan tidak mendatangkan maslahat selamanya.
Cara Mengetahui Maslahat dan Mudhorot
Ada beberapa macam metode dalam
mengenali hal ini yang dilakukan oleh
beberapa golongan.
1. Golongan Mu’tazilah berpendapat bahwa
maslahat dan mudhorot bagi hamba dinilai
dari logika. Inilah prinsip dari mereka yang
mengangumi dan mengedepankan akal.
2. Golongan Asya’iroh berpendapat bahwa
patokan baik dan buruk adalah syari’at. Dusta
misalnya barulah dikatakan jelek dilihat dari
penyandaran perbuatan tersebut, bukan
dilihat dari sisi perbuatan dusta itu sendiri.
Dusta baru dibenarkan sebagai hal yang keliru
ketika telah dijelaskan oleh syari’at. Jika tidak,
maka tidaklah demikian menurut mereka.
Pernyataan ini jelas bertentangan dengan akal
dan dalil syar’i. Setiap orang pasti sudah
mengetahui bahwa dusta itu merupakan
perbuatan yang jelek, sedangkan jujur adalah
perbuatan yang baik –walau tidak diterangkan
dengan dalil-. Oleh karena itu, perbuatan jelek
sudah dianggap jelek oleh syari’at sebelum
Rasul itu ada. Namun hukuman dari perbuatan
jelek tersebut diperuntukkan jika Rasul telah
diutus di suatu kaum. Allah Ta’ala berfirman,
ﻳَﺄْﻣُﺮُﻫُﻢْ ﺑِﺎﻟْﻤَﻌْﺮُﻭﻑِ
“Yang menyuruh mereka mengerjakan yang
ma'ruf ” (QS. Al A’rof: 157). Menurut Asya’iroh
bahwa sandaran penilaian perbuatan baik dan
jelek adalah dari syar’i. Jika yang benar sesuai
pemahaman mereka, seharusnya ayat tadi
berbunyi, “Yang menyuruh mereka
mengerjakan sesuai yang diperintahkan pada
mereka”. Padahal ayat tersebut tidak
memaksudkan demikian. Karena perbuatan
ma’ruf sudahlah dinilai baik meskipun belum
datang syari’at.
Pendapat yang benar mengenai cara menilai
sesuatu itu maslahat ataukah tidak yaitu
dengan sendirinya meskipun tidak ada dalil
logika maupun dalil syar’i. Jujur sudah dapat
dinilai baik meskipun sebelum adanya syari’at
atau sebelum dinalarkan dengan
logika. Namun kapan seseorang baru
terkena hukuman ketika dusta? Untuk
masalah hukuman baru ada setelah tegak dalil,
setelah sampainya syari’at atau diutus seorang
Rasul sebagai pemberi keterangan (hujjah).
Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,
ﻭَﻣَﺎ ﻛُﻨَّﺎ ﻣُﻌَﺬِّﺑِﻴﻦَ ﺣَﺘَّﻰ ﻧَﺒْﻌَﺚَ ﺭَﺳُﻮﻟًﺎ
“Dan Kami tidak akan meng'azab sebelum
Kami mengutus seorang rasul ” (QS. Al Isro’:
15). Demikianlah pemahaman Ahlus Sunnah
wal Jama’ah dan inilah yang tepat .
Dalil-Dalil Pendukung: Seluruh Ajaran
Islam Mengandung Maslahat
Seluruh ajaran Islam itu mengandung maslahat
dan dipastikan pula setiap ajaran Islam
bermaksud untuk mengenyampingkan
mudhorot pada hamba. Yang menerangkan
bahwa seluruh ajaran Islam mengandung
maslahat dan menolak mudhorot adalah dalil-
dalil berikut ini:
ﻭَﻣَﺎ ﺃَﺭْﺳَﻠْﻨَﺎﻙَ ﺇِﻟَّﺎ ﺭَﺣْﻤَﺔً ﻟِﻠْﻌَﺎﻟَﻤِﻴﻦَ
“Dan tiadalah Kami mengutus kamu,
melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi
semesta alam ” (QS. Al Anbiya’: 107). Jika
syari’at itu rahmat, maka konsekuensinya pasti
ajaran Islam selalu mendatangkan maslahat
dan menolak bahaya.
Begitu pula dalam ayat,
ﺍﻟْﻴَﻮْﻡَ ﺃَﻛْﻤَﻠْﺖُ ﻟَﻜُﻢْ ﺩِﻳﻨَﻜُﻢْ ﻭَﺃَﺗْﻤَﻤْﺖُ ﻋَﻠَﻴْﻜُﻢْ ﻧِﻌْﻤَﺘِﻲ
ﻭَﺭَﺿِﻴﺖُ ﻟَﻜُﻢُ ﺍﻟْﺈِﺳْﻠَﺎﻡَ ﺩِﻳﻨًﺎ
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk
kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan
kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai
Islam itu jadi agama bagimu” (QS. Al Maidah:
3). Sempurnanya nikmat adalah dengan
sempurnanya ajaran agama ini. Dan sebagai
tandanya, ajaran ini pasti selalu mendatangkan
maslahat dan menolak mudhorot.
Begitu juga dalam berbagai ajaran Islam jika
kita tilik satu per satu, kadang diberikan
alasan bahwa ajaran tersebut mendatangkan
maslahat bagi hamba. Sebagaimana dalam
hukum qishash, Allah Ta’ala berfirman,
ﻭَﻟَﻜُﻢْ ﻓِﻲ ﺍﻟْﻘِﺼَﺎﺹِ ﺣَﻴَﺎﺓٌ ﻳَﺎ ﺃُﻭﻟِﻲ ﺍﻟْﺄَﻟْﺒَﺎﺏِ ﻟَﻌَﻠَّﻜُﻢْ
ﺗَﺘَّﻘُﻮﻥَ
“Dan dalam qishaash itu ada (jaminan
kelangsungan) hidup bagimu , hai orang-orang
yang berakal, supaya kamu bertakwa” (QS. Al
Baqarah: 179).
Semacam pula dalam perintah menggunakan
jilbab bagi wanita, disebutkan pula maslahat di
dalamnya. Allah Ta’ala berfirman,
ﻳَﺎ ﺃَﻳُّﻬَﺎ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲُّ ﻗُﻞْ ﻟِﺄَﺯْﻭَﺍﺟِﻚَ ﻭَﺑَﻨَﺎﺗِﻚَ ﻭَﻧِﺴَﺎﺀِ ﺍﻟْﻤُﺆْﻣِﻨِﻴﻦَ
ﻳُﺪْﻧِﻴﻦَ ﻋَﻠَﻴْﻬِﻦَّ ﻣِﻦْ ﺟَﻠَﺎﺑِﻴﺒِﻬِﻦَّ ﺫَﻟِﻚَ ﺃَﺩْﻧَﻰ ﺃَﻥْ ﻳُﻌْﺮَﻓْﻦَ ﻓَﻠَﺎ
ﻳُﺆْﺫَﻳْﻦَ ﻭَﻛَﺎﻥَ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻏَﻔُﻮﺭًﺍ
“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu,
anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri
orang mukmin: "Hendaklah mereka
mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh
mereka". Yang demikian itu supaya mereka
lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka
tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al
Ahzab: 59).
Saking pentingnya kaedah ini, para ulama
sangat perhatian di dalamnya. Sampai-sampai
ada di antara mereka membuat tulisan
tersendiri tentang masalah ini. Semacam
Imam Al ‘Izz bin ‘Abdis Salam menyusun buku
yang sempurna yang membahas hal ini. Beliau
menjadikan seluruh ajaran dalam hukum Islam
berputar di antara maslahat.
Macam-Macam Maslahat
Jika melihat ajaran Islam, kita akan temukan
bahwa ajaran tersebut ada yang mengandung
maslahat yang wajib, seperti shalat lima
waktu. Ada pula yang mengandung maslahat
yang sunnah (mustahab) seperti shalat sunnah.
Ada juga yang mengandung maslahat bagi
orang banyak dan jika tidak dikerjakan oleh
semua, maka cukup sebagian yang
mengerjakannya seperti dalam shalat jenazah.
Jadi kita dapat membagi maslahat menjadi:
1. Maslahat yang dijalankan dalam masyarakat
oleh sebagian orang.
2. Maslahat yang dituntunkan untuk
dikerjakan oleh setiap individu muslim.
Begitu juga kita dapat membagi maslahat
menjadi:
1. Maslahat yang wajib, yaitu mendapati
hukuman bagi orang yang meninggalkannya.
2. Maslahat yang sunnah, yaitu tidak dampai
mendapati hukuman bagi orang yang
meninggalkannya.
Mafsadat (bahaya) juga ada yang haram dan
ada yang makruh. Yang haram semisal
melanggar harta dan darah muslim yang lain,
maka jika melakukannya akan mendapatkan
dosa. Mafsadat seperti ini ada yang
berdampak dosa besar, ada pula yang dosa
kecil. Adapun mafsadat yang makruh tidak
berdampak dosa bagi yang melanggarnya,
bahkan bisa memperoleh pahala jika
ditinggalkan.
Pembahasan Berbagai Maslahat
Ada pula tinjauan pembagian maslahat dari
sisi lain. Para ulama juga membagi maslahat
menjadi tiga macam:
1. Maslahat mu’tabaroh , yaitu maslahat
yang dianggap sebagai maslahat oleh syari’at
baik ditetapkan oleh dalil Al Qur’an, As
Sunnah, ijma’ maupun qiyas. Contohnya
adalah dalam masalah qishash dan jilbab yang
telah disebutkan di atas.
2. Maslahat mulghoh, yaitu maslahat yang
bertentangan dengan syari’at. Contohnya
dalam masalah ini, siapa yang bersumpah lalu
ia melanggar sumpahnya, maka ia punya
kewajiban untuk menunaikan kafaroh sumpah.
Kafarohnya adalah memberi makan kepada
sepuluh orang miskin atau memberi pakaian
kepada sepuluh orang miskin atau
memerdekakan satu orang budak. Jika tidak
mampu melakukan ketiga hal tersebut,
barulah menunaikan pilihan berpuasa selama
tiga hari. Sebagaimana hal ini disebutkan
dalam surat Al Maidah ayat 89. Namun ada
yang melanggar sumpahnya dan belum
melakukan tiga pilihan pertama dari kafaroh
tadi, malah sudah melangkah ke pilihan kedua,
yaitu melakukan puasa selama tiga hari. Puasa
itu baik, namun bertentangan dengan aturan
syari’at yang telah disebutkan. Ini yang
namanya maslahat mulghoh atau maslahat
yang bertentangan dengan ajaran Islam.
Bahkan yang dianggap baik di sini sebenarnya
mafsadat.
Contoh lainnya lagi adalah dalam masalah
shalat Jum’at. Di sebagian negeri kafir
sangatlah sulit menunaikan shalat Jum’at pada
hari Jum’at karena hari Jum’at bukanlah waktu
libur. Beda halnya dengan di negara Islam
yang memberikan waktu libur pada hari
Jum’at. Lalu sebagian orang memberikan
solusi, shalat Jum’at sebaiknya dipindahkan
saja ke hari Minggu karena hari tersebut
adalah hari libur. Mereka anggap, seperti itu
adalah maslahat. Namun sebenarnya
pemikiran tersebut bertentangan dengan
ajaran Islam dan teranggap sebagai maslahat
yang mulghoh yang tertolak (tidak teranggap).
3. Maslahat mursalah, yaitu maslahat yang
tidak memiliki dalil, namun tidak
bertentangan (ditiadakan) oleh syari’at dan
tidak pula dianggap. Mengenai maslahat yang
satu ini, para ulama berselisih pendapat
apakah bisa dijadikan hujjah (alasan kuat)
ataukah tidak. Sebagian ulama ada yang
menolaknya sebagai hujjah. Di antara yang
berpendapat demikian adalah Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah. Beliau mengatakan
bahwa semua maslahat pasti teranggap
oleh syari’at . Jika ada yang menganggapnya
sebagai maslahat mursalah, maka hal itu tidak
lepas dari dua keadaan:
a. Sebenarnya maslahat tersebut
adalah mafsadat (mengandung bahaya).
b. Sebenarnya ada dalil yang menunjukkan hal
yang dimaksud sebagai maslahat, namun
mungkin tidak diketahui oleh sebagian
mereka.
Pendapat yang dianut oleh Ibnu Taimiyah
adalah pendapat yang kuat. Karena jika kita
menetapkan seperti ini berarti kita
menganggap syari’at Islam benar-benar
sempurna sehingga bisa menjadi dalil dan bisa
sebagai jawaban dari segala permasalahan,
serta tidak diperlukan qiyas kecuali dalam
sedikit masalah yang tidak ditemukan dalil
untuk menjawab permasalah tersebut.
Jika Tidak Diketahui Adanya Maslahat
Para ulama juga menjelaskan bahwa maslahat
dalam hukum dibagi menjadi dua
yaitu maslahat ma’lumah (yang diketahui)
dan maslahat majhulah (yang tidak diketahui).
Maslahat majhulah berarti kita dapat pastikan
dalam hukum syari’at ada maslahat tetapi kita
tidak mengetahui seperti apa bentuk maslahat
tersebut. Seperti memakan daging unta bisa
membatalkan wudhu. Dalilnya adalah hadist
dari Jabir bin Samuroh,
ﺃَﻥَّ ﺭَﺟُﻼً ﺳَﺄَﻝَ ﺭَﺳُﻮﻝَ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﻰﻠﺻ- ﻪﻠﻟﺍ ﻪﻴﻠﻋ -ﻢﻠﺳﻭ
ﺃَﺃَﺗَﻮَﺿَّﺄُ ﻣِﻦْ ﻟُﺤُﻮﻡِ ﺍﻟْﻐَﻨَﻢِ ﻗَﺎﻝَ » ﺇِﻥْ ﺷِﺌْﺖَ ﻓَﺘَﻮَﺿَّﺄْ ﻭَﺇِﻥْ
ﺷِﺌْﺖَ ﻓَﻼَ ﺗَﻮَﺿَّﺄْ .« ﻗَﺎﻝَ ﺃَﺗَﻮَﺿَّﺄُ ﻣِﻦْ ﻟُﺤُﻮﻡِ ﺍﻹِﺑِﻞِ ﻗَﺎﻝَ »
ﻧَﻌَﻢْ ﻓَﺘَﻮَﺿَّﺄْ ﻣِﻦْ ﻟُﺤُﻮﻡِ ﺍﻹِﺑِﻞِ .«
“Ada seseorang yang bertanya pada Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam, “Apakah aku
mesti berwudhu setelah memakan daging
kambing?” Beliau bersabda, “Jika engkau mau,
berwudhulah. Namun jika enggan, maka tidak
mengapa engkau tidak berwudhu.” Orang tadi
bertanya lagi, “ Apakah seseorang mesti
berwudhu setelah memakan daging unta?”
Beliau bersabda, “Iya, engkau harus berwudhu
setelah memakan daging unta .” (HR. Muslim
no. 360). Kita tidak mengetahui apa maslahat
perintah wudhu setelah memakan daging unta.
Namun kita tidak bisa meninggalkan hukum
tersebut karena tidak mengetahui hikmahnya.
Ini yang patut dicatat.
Sedangkan maslahat ma’lumah adalah suatu
maslahat yang diketahui. Seperti dalam
pensyari’atan nikah. Dalam nikah ada maslahat
untuk menghasilkan keturunan yang sholeh
dan bertambah tenang karena selalu bersama
pasangan hidup. Begitu pula dengan adanya
keturunan yang sholeh, pahala bagi kedua
orang tua akan terus mengalir sebagaimana
disebutkan dalam hadits,
ﺇِﺫَﺍ ﻣَﺎﺕَ ﺍﻟْﺈِﻧْﺴَﺎﻥُ ﺍﻧْﻘَﻄَﻊَ ﻋَﻤَﻠُﻪُ ﺇِﻟَّﺎ ﻣِﻦْ ﺛَﻠَﺎﺛَﺔٍ ﻣِﻦْ ﺻَﺪَﻗَﺔٍ
ﺟَﺎﺭِﻳَﺔٍ ﻭَﻋِﻠْﻢٍ ﻳُﻨْﺘَﻔَﻊُ ﺑِﻪِ ﻭَﻭَﻟَﺪٍ ﺻَﺎﻟِﺢٍ ﻳَﺪْﻋُﻮ ﻟَﻪُ
“Jika seseorang meninggal dunia, maka
terputuslah amalannya kecuali tiga perkara
(yaitu): sedekah jariyah, ilmu yang
dimanfaatkan, atau do’a anak yang
sholeh” (HR. Muslim no. 1631). Ini adalah
maslahat yang jelas kita ketahui.
Bolehkah seseorang dalam beramal berniat
untuk menggapai tujuan duniawiyah?
Guru kami, Syaikh Sa’ad bin Nashir Asy
Syatsri hafizhohullah berkata, “Seharusnya
setiap orang berniat untuk meraih pahala dan
balasan di sisi Allah, yang diharapkan adalah
wajah Allah dan kebahagiaan di akhirat. Jika
seseorang semata-mata mencari keuntungan
duniawi, maka boleh saja ia berniat untuk
seperti itu namun pada amalan yang ada nash
(dalil) yang menerangkan adanya manfaat jika
melakukan amalan tersebut. Akan tetapi, jika
ia berniat seperti ini, yaitu ingin menggapai
dunia semata –tidak ingin mengharap pahala
akhirat sama sekali-, maka di akhirat ia tidak
akan mendapatkan apa-apa. Begitu pula jika
seseorang berniat dalam amalannya dengan
niat yang bertentangan dengan maksud
syari’at, maka ia jadinya berdosa. Contohnya
adalah yang berniat untuk menikah karena
tujuan membantu temannya yang sudah
mentalak istrinya tiga kali supaya bisa halal
kembali, inilah yang disebut nikah tahlil. Ini
jelas tujuan yang bertentangan dengan syari’at
dan jadinya berdosa” (Syarh Al Manzhumah As
Sa’diyah, hal. 56).
Tentang masalah niatan duniawi dalam amalan
diterangkan dalam ayat berikut,
Allah Ta’ala berfirman,
ﻣَﻦْ ﻛَﺎﻥَ ﻳُﺮِﻳﺪُ ﺍﻟْﺤَﻴَﺎﺓَ ﺍﻟﺪُّﻧْﻴَﺎ ﻭَﺯِﻳﻨَﺘَﻬَﺎ ﻧُﻮَﻑِّ ﺇِﻟَﻴْﻬِﻢْ
ﺃَﻋْﻤَﺎﻟَﻬُﻢْ ﻓِﻴﻬَﺎ ﻭَﻫُﻢْ ﻓِﻴﻬَﺎ ﻟَﺎ ﻳُﺒْﺨَﺴُﻮﻥَ , ﺃُﻭﻟَﺌِﻚَ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ
ﻟَﻴْﺲَ ﻟَﻬُﻢْ ﻓِﻲ ﺍﻟْﺂَﺧِﺮَﺓِ ﺇِﻟَّﺎ ﺍﻟﻨَّﺎﺭُ ﻭَﺣَﺒِﻂَ ﻣَﺎ ﺻَﻨَﻌُﻮﺍ ﻓِﻴﻬَﺎ
ﻭَﺑَﺎﻃِﻞٌ ﻣَﺎ ﻛَﺎﻧُﻮﺍ ﻳَﻌْﻤَﻠُﻮﻥَ
“Barangsiapa yang menghendaki kehidupan
dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan
kepada mereka balasan pekerjaan mereka di
dunia dengan sempurna dan mereka di dunia
itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang
yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali
neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang
telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah
apa yang telah mereka kerjakan ” (QS. Hud:
15-16).
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu
‘anhuma mengatakan, “Sesungguhnya orang
yang riya’, mereka hanya ingin memperoleh
balasan kebaikan yang telah mereka lakukan,
namun mereka minta segera dibalas di dunia.”
Ibnu ‘Abbas juga mengatakan, “Barangsiapa
yang melakukan amalan puasa, shalat atau
shalat malam namun hanya ingin
mengharapkan dunia, maka balasan dari Allah:
“Allah akan memberikan baginya dunia yang
dia cari-cari. Namun amalannya akan sia-sia
(lenyap) di akhirat nanti karena mereka hanya
ingin mencari dunia. Di akhirat, mereka juga
akan termasuk orang-orang yang merugi”.”
Perkataan yang sama dengan Ibnu ‘Abbas ini
juga dikatakan oleh Mujahid, Adh Dhohak dan
selainnya.
Qotadah mengatakan, “Barangsiapa yang
dunia adalah tujuannya, dunia yang selalu dia
cari-cari dengan amalan sholehnya, maka
Allah akan memberikan kebaikan kepadanya di
dunia. Namun ketika di akhirat, dia tidak akan
memperoleh kebaikan apa-apa sebagai balasan
untuknya. Adapun seorang mukmin yang
ikhlash dalam beribadah (yang hanya ingin
mengharapkan wajah Allah), dia akan
mendapatkan balasan di dunia juga dia akan
mendapatkan balasan di akhirat” (Lihat Tafsir
Al Qur’an Al ‘Azhim, 7: 422-423).
Intinya, beramal sholeh untuk menggapai
dunia bisa kita rinci menjadi dua:
1. Amalan yang tidak disebutkan di dalamnya
balasan dunia. Namun seseorang melakukan
amalan tersebut untuk mengharapkan balasan
dunia, maka semacam ini tidak diperbolehkan
bahkan termasuk kesyirikan. Misalnya:
Seseorang melaksanakan shalat Tahajud. Dia
berniat dalam hatinya bahwa pasti dengan
melakukan shalat malam ini, anaknya yang
akan lahir nanti adalah laki-laki. Ini tidak
dibolehkan karena tidak ada satu dalil pun
yang menyebutkan bahwa dengan melakukan
shalat Tahajud akan mendapatkan anak laki-
laki.
2. Amalan yang disebutkan di dalamnya
balasan dunia. Contohnya adalah silaturrahim
dan berbakti kepada kedua orang tua. Semisal
silaturrahim, Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
ﻣَﻦْ ﺃَﺣَﺐَّ ﺃَﻥْ ﻳُﺒْﺴَﻂَ ﻟَﻪُ ﻓِﻰ ﺭِﺯْﻗِﻪِ ﻭَﻳُﻨْﺴَﺄَ ﻟَﻪُ ﻓِﻰ ﺃَﺛَﺮِﻩِ
ﻓَﻠْﻴَﺼِﻞْ ﺭَﺣِﻤَﻪُ
“Barangsiapa senang untuk dilapangkan rizki
dan dipanjangkan umurnya, maka jalinlah tali
silaturrahim (hubungan antar kerabat) ” (HR.
Bukhari no. 5985 dan Muslim no. 2557). Jika
seseorang melakukan amalan semacam ini,
namun hanya ingin mengharapkan balasan
dunia saja dan tidak mengharapkan balasan
akhirat, maka orang yang melakukannya telah
terjatuh dalam kesyirikan. Namun, jika dia
melakukannya tetap mengharapkan balasan
akhirat dan dunia sekaligus, juga dia
melakukannya dengan ikhlas, maka ini tidak
mengapa dan balasan dunia adalah sebagai
tambahan nikmat untuknya karena syari’at
telah menunjukkan adanya balasan dunia
dalam amalan ini.
Baca ulasan di rumaysho.com: Beramal
sholeh untuk menggapai tujuan duniawi .
Alhamdulillah, akhirnya kita dapat memahami
bagaimana Islam membangun ajarannya di
atas maslahat. Jadi, tidak ada kerugian jika kita
melakukan berbagai ajaran Islam. Dalam hal
jilbab, meskipun terasa berat oleh sebagian
wanita, namun pasti jilbab itu mengandung
maslahat yaitu lebih menjaga diri wanita.
Begitu pula dalam masalah jenggot, laki-laki
diperintahkan untuk memeliharanya dan
dibiarkan begitu saja tanpa dirapikan atau
dicukur habis. Lantas apa maslahatnya? Jika
tidak diketahui bentuk maslahatnya pun, tetap
kita mesti menjalaninya. Karena jika kita tidak
mengetahui, belum tentu maslahatnya tidak
ada. Dan mengikuti ajaran Rasul shallallahu
‘alaihi wa sallam akan mendatangkan maslahat
di dunia maupun akhirat. Yakinlah dengan
ajaran Islam yang indah …
Wallahu waliyyut taufiq was sadaad.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar