Jumat, 19 Juli 2013

Biografi KH Abdul Hamid Pasuruan Jawa Timur

Lahir pada tahun 1333 H, di Desa Sumber
Girang, Lasem, Rembang, Jawa Tengah.Wafat 25
Desember 1985. Pendidikan: Pesantren
Talangsari, Jember; Pesantren Kasingan,
Rembang, Jateng; Pesantren Termas, Pacitan,
Jatim. Pengabdian: pengasuh Pesantren
Salafiyah, Pasuruan
Kesabarannya memang diakui tidak hanya oleh
para santri, tapi juga oleh keluarga dan
masyarakat serta umat islam yang pernah
mengenalnya. Sangat jarang ia marah, baik
kepada santri maupun kepada anak dan
istrinya. Kesabaran Kiai Hamid di hari tua,
khususnya setelah menikah, sebenarnya
kontras dengan sifat kerasnya di masa muda.
“Kiai Hamid dulu sangat keras,” kata Kiai Hasan
Abdillah. Kiai Hamid lahir di Sumber Girang,
sebuah desa di Lasem, Rembang, Jawa Tengah,
pada tahun 1333 H. Ia adalah anak ketiga dari
tujuh belas bersaudara, lima di antaranya
saudara seibu. Kini, di antara ke 12 saudara
kandungnya, tinggal dua orang yang masih
hidup, yaitu Kiai Abdur Rahim, Lasem, dan
Halimah. Sedang dari lima saudara seibunya,
tiga orang masih hidup, yaitu Marhamah,
Maimanah dan Nashriyah, ketiganya di
Pasuruan. Hamid dibesarkan di tengah keluarga
santri. Ayahnya, Kiai umar, adaiah seorang
ulama di Lasem, dan ibunya adalah anak Kiai
Shiddiq, juga ulama di Lasem dan meninggal di
Jember, Jawa Timur.
Masa Kecil
Kiai Shiddiq adalah ayah KH. Machfudz
Shiddiq, tokoh NU, dan KH. Ahmad Shiddiq,
mantan Ro’is Am NU. Keluarga Hamid memang
memiliki keterikatan yang sangat kuat dengan
dunia pesantren. Sebagaimana saudara-
saudaranya yang lain, Hamid sejak kecil
dipersiapkan untuk menjadi kiai. Anak keempat
itu mula-mula belajar membaca al-Quran dari
ayahnya. Pada umur sembilan tahun, ayahnya
mulai mengajarinya ilmu fiqh dasar.
Tiga tahun kemudian, cucu kesayangan itu
mulai pisah dari orangtua, untuk menimba ilmu
di pesantren kakeknya, KH. Shiddiq, di
Talangsari, Jember, Jawa Timur. Konon,
demikian penuturan Kiai Hasan Abdillah, Kiai
Hamid sangat disayang baik oleh ayah maupun
kakeknya. Semasih kecil, sudah tampak tanda-
tanda bahwa ia bakal menjadi wali dan ulama
besar.
“Pada usia enam tahun, ia sudah bertemu
dengan Rasulullah,” katanya. Dalam
kepercayaan yang berkembang di kalangan
warga NU, khususnya kaum sufi, Rasulullah
walau telah wafat sekali waktu menemui orang-
orang tertentu, khususnya para wali. Bukan
dalam mimpi saja, tapi secara nyata.
Pertemuan dengan Rasul menjadi semacam
legitimasi bagi kewalian seseorang. Kiai Hamid
mulai mengaji fiqh dari ayahnya dan para
ulama di Lasem. Pada usia 12 tahun, ia mulai
berkelana. Mula-mula ia belajar di pesantren
kakeknya, KH. Shiddiq, di Talangsari, Jember.
Tiga tahun kemudian ia diajak kakeknya untuk
pergi haji yang pertama kali bersama keluarga,
paman-paman serta bibi-bibinya. Tak lama
kemudian dia pindah ke pesantren di Kasingan,
Rembang. Di desa itu dan desa-desa sekitarnya,
ia belajar fiqh, hadits, tafsir dan lain lain. Pada
usia 18 tahun, ia pindah lagi ke Termas,
Pacitan, Jawa Timur.
Konon, seperti dituturkan anak bungsunya yang
kini menggantikannya sebagai pengasuh
Pesantren Salafiyah, H. Idris, “Pesantren itu
sudah cukup maju untuk ukuran zamannya,
dengan administrasi yang cukup rapi.
Pesantren yang diasuh Kiai Dimyathi itu telah
melahirkan banyak ulama terkemuka, antara
lain KH Ali Ma’shum, mantan Ro’is Am NU.”
Menurut Idris, inilah pesantren yang telah
banyak berperan dalam pembentukan bobot
keilmuan Hamid. Di sini ia juga belajar
berbagai ilmu keislaman. Sepulang dari
pesantren itu, ia tinggal di Pasuruan, bersama
orangtuanya. Di sini pun semangat keilmuannya
tak pernah Padam. Dengan tekun, setiap hari ia
mengikuti pengajian Habib Ja’far, ulama besar
di Pasuruan saat itu, tentang ilmu tasawwuf.
Menjadi Blantik
Hamid menikah pada usia 22 tahun dengan
sepupunya sendiri, Nyai H. Nafisah, putri KH
Ahmad Qusyairi. Pasangan ini dikarunia enam
anak, satu di antaranya putri. Kini tinggal tiga
orang yang masih hidup, yaitu H. Nu’man, H.
Nasikh dan H. Idris.
Hamid menjalani masa-masa awal kehidupan
berkeluarganya tidak dengan mudah. Selama
beberapa tahun ia harus hidup bersama
mertuanya di rumah yang jauh dari mewah.
Untuk menghidupi keluarganya, tiap hari ia
mengayuh sepeda sejauh 30 km pulang pergi,
sebagai blantik (broker) sepeda. Sebab, kata
ldris, pasar sepeda waktu itu ada di desa
Porong, Pasuruan, 30 km ke arah barat
Kotamadya Pasuruan.
Kesabarannya bersama juga diuji. Hasan
Abdillah menuturkan, Nafisah yang dikawinkan
orangtuanya selama dua tahun tidak patut
(tidak mau akur). Namun ia menghadapinya
dengan tabah. Kematian bayi pertama, Anas,
telah mengantar mendung di rumah keluarga
muda itu.
Terutama bagi sang istri Nafisah yang begitu
gundah, sehingga Hamid merasa perlu
mengajak istrinya itu ke Bali, sebagai pelipur
lara. Sekali lagi Nafisah dirundung kesusahan
yang amat sangat setelah bayinya yang kedua,
Zainab, meninggal dunia pula, padahal
umurnya baru beberapa bulan. Lagi-lagi kiai
yang bijak itu membawanya bertamasya ke
tempat lain. KH. Hasan Abdillah, adik istri Kiai
Hamid, menuturkan, seperti layaknya keluarga,
Kiai Hamid pernah tidak disapa oleh istrinya
selama empat tahun.
Tapi, tak pernah sekalipun terdengar keluhan
darinya. Bahkan sedemikian rupa ia dapat
menutupinya sehingga tak ada orang lain yang
mengetanuinya. “Uwong tuo kapan ndak
digudo karo anak Utowo keluarga, ndak
endang munggah derajate (Orangtua kalau tidak
pernah mendapat cobaan dari anak atau
keluarga, ia tidak lekas naik derajatnya)”,
katanya suatu kali mengenai ulah seorang
anaknya yang agak merepotkan.
Kesabaran beliau juga diterapkan dalam
mendidik anak-anaknya. Menut Idris, tidak
pernah mendapat marah, apalagi pukulan dari
ayahnya. Menurut ldris, ayahnya lebih banyak
memberikan pendidikan lewat keteladanan.
Nasihat sangat jarang diberikan. Akan tetapi,
untuk hal-hal yang sangat prinsip, shalat
misalnya, Hamid sangat tegas.
Merupakan keharusan bagi anak-anaknya untuk
bangun pada saat fajar menyingsing, guna
menunaikan shalat subuh, meski seringkali
orang lain yang disuruh membangunkan
mereka, Hamid juga memberi pengajaran
membaca al-Quran dan fiqih pada anak-
anaknya di masa kecil. Namun, begitu mereka
menginjak remaja, Hamid lebih suka
menyerahkan anak-anaknya ke pesantren lain.
Bukan hanya kepada anak-anak, tapi juga
istrinya, Hamid memberi pengajaran. Waktunya
tidak pasti. Kitab yang diajarkan pun tidak
pasti. Bahkan, ia mengajar tidak secara
berurutan dari bab satu ke bab berikutnya.
Pendeknya, ia seperti asal comot kitab, lalu
dibuka, dan diajarkan pada istrinya. Dan lebih
banyak, kata Idris, yang diajarkan adalah kitab-
kitab mengenai akhlak, seperti Bidayah al-
Hidayah karya Imam Ghazali, “Tampaknya yang
lebih ditekankan adalah amalan, dan bukan
ilmunya itu sendiri,” jelasnya.
Amalan dari kitab itu pula yang ditekankan Kiai
Hamid di Pesantren salafiyah. Kalau pesantren-
pesantren tertentu dikenal dengan
spesialisasinya dalam bidang-bidang ilmu
tertentu – misainya alat (gramatika bahasa
Arab) atau fiqh, maka salafiyah menonjol
sebagai suatu lembaga untuk mencetak perilaku
seorang santri yang baik.
Di sini, Kiai Hamid mewajibkan para santrinya
shalat berjamaah lima waktu. Sementara jadwal
kegiatan pesantren lebih banyak diisi dengan
kegiatan wirid yang hampir memenuhi jam
aktif. Semuanya harus diikuti oleh seluruh
santri. Kiai Hamid sendiri, tidak banyak
mengajar, kecuali kepada santri-santri tertentu
yang dipilihnya sendiri. Selain itu, khususnya
di masa-masa akhir kehidupannya, ia hanya
mengajar seminggu sekali, untuk umum.
Mushalla pesantren dan pelatarannya setiap
Ahad selalu penuh oleh pengunjung untuk
mengikuti pengajian selepas salat subuh ini.
Mereka tidak hanya datang dari Pasuruan, tapi
juga kota-kota Malang, Jember, bahkan
Banyuwangi, termasuk Walikota Malang waktu
itu. Yang diajarkan adalah kitab Bidayah al-
Hidayah karya al-Ghazali. Konon, dalam setiap
pengajian, ia hanya membaca beberapa baris
dari kitab itu.
Selebihnya adalah cerita-cerita tentang ulama-
ulama masa lalu sebagai teladan. Tak jarang,
air matanya mengucur deras ketika bercerita.
Disuguhi Kulit Roti Kiai Hamid memang sosok
ulama sufi, pengagum imam Al-Ghazali dengan
kitab-kitabnya lhya ‘Ulum ad-Din dan Bidayah
al-Hidayah. Tapi, corak kesufian Kiai Hamid
bukanlah yang menolak dunia sama sekali. Ia,
konon, memang selalu menolak diberi mobil
Mercedez, tapi ia mau menumpanginya.
Bangunan rumah dan perabotan-perabotannya
cukup baik, meski tidak terkesan mewah.
Ia suka berpakaian dan bersorban yang serba
putih. Cara berpakaian maupun penampilannya
selalu terlihat rapi, tidak kedodoran. Pilihan
pakaian yang dipakai juga tidak bisa dibilang
berkualitas rendah. “Berpakaianlah yang rapi
dan baik. Biar saja kamu di sangka orang kaya.
Siapa tahu anggapan itu merupakan doa
bagimu,” katanya suatu kali kepada seorang
santrinya. Namun, Kiai Hamid bukanlah orang
yang suka mengumbar nafsu. Justru, kata idris,
ia selalu berusaha melawan nafsu.
Hasan Abdillah bercerita, suatu kali Hamid
berniat untuk mengekang nafsunya dengan
tidak makan nasi (tirakat). Tetapi, istrinya tidak
tahu itu. Kepadanya lalu disuguhkan roti.
Untuk menyenangkannya, Hamid memakan roti
itu, tapi tidak semuanya, melainkan kulitnya
saja. “O, rupanya dia suka kulit roti,” pikir
istrinya. Esoknya ia membeli roti dalam jumlah
yang cukup besar, lalu menyuguhkan kepada
suaminya kulitnya saja. Kiai Hamid tertawa.
“Aku bukan penggemar kulit roti. Kalau aku
memakannya kemarin, itu karena aku
bertirakat,” ujarnya.
Konon, berkali-kali Kiai Hamid ditawari mobil
Mercedez oleh H. Abdul Hamid, orang kaya di
Malang. Tapi, ia selalu menolaknya dengan
halus. Dan untuk tidak membuatnya kecewa,
Hamid mengatakan, ia akan menghubunginya
sewaktu-waktu membutuhkan mobil itu. Kiai
Hamid memang selalu berusaha untuk tidak
mengecewakan orang lain, suatu sikap yang
terbentuk dari ajaran idkhalus surur
(menyenangkan orang lain) seperti dianjurkan
Nabi. Misalnya, jika bertamu dan sedang
berpuasa sunnah, ia selalu dapat
menyembunyikannya kepada tuan rumah,
sehingga ia tidak merasa kecewa. Selain itu, ia
selalu mendatangi undangan, di manapun dan
oleh siapapun.
Selain terbentuk oleh ajaran idkhalus surur,
sikap sosial Kiai Hamid terbentuk oleh suatu
ajaran (yang dipahami secara sederhana)
mengenai kepedulian sosial islam terhadap
kaum dlu’afa yang diwujudkan dalam bentuk
pemberian sedekah. Memang karikaturis –
meminjam istilah Abdurrahman Wahid tentang
sifatnya.
Tapi, Kiai Hamid memang bukan seorang ahli
ekonomi yang berpikir secara lebih makro.
Walau begitu, kita dapat memperkirakan, sikap
sosial Kiai Hamid bukan hanya sekadar refleksi
dari motivasi keagamaan yang “egoistis”, dalam
arti hanya untuk mendapat pahala, dan
kemudian merasa lepas dari kewajiban. Kita
mungkin dapat melihat, betapa ajaran sosial
islam itu sudah membentuk tanggung jawab
sosial dalam dirinya meski tidak tuntas.
Ajaran Islam, tanggung jawab sosial mula-mula
harus diterapkan kepada keluarga terdekat,
kemudian tetangga paling dekat dan
seterusnya. Urut-urutan prioritas demikian
tampak pada Kiai Hamid. Kepada tetangga
terdekat yang tidak mampu, konon ia juga
memberikan bantuannya secara rutin, terutama
bila mereka sedang mempunyai hajat, apakah
itu untuk mengawinkan atau mengkhitan
anaknya.
H. Misykat yang mengabdi padanya hingga ia
meninggal, bercerita bahwa bila ada tetangga
yang sedang punya hajat, Kiai Hamid memberi
uang RP. 10.000 plus 10 kg. beras. Islam
mengajarkan, hari raya merupakan hari di
mana umat Islam dianjurkan bergembira
sebagai rasa syukur setelah menunaikan lbadah
puasa sebulan penuh. Menjelang hari raya,
sebagai layaknya seorang ulama, Kiai Hamid
tidak menerima hadiah dan zakat fitri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar