Sabtu, 20 Juli 2013

Menyentuh Wanita Membatalkan Wudhu?

Permasalahan ini adalah permasalahan yang
sering dibingungkan oleh sebagian orang. Dan
kebanyakan kaum muslimin menganggap
bahwa menyentuh wanita adalah membatalkan
wudhu. Inilah yang dianut oleh mayoritas
kaum muslimin di negeri ini karena
kebanyakan mereka menganut madzhab Syafi’i
yang berpendapat seperti ini. Lalu manakah
yang tepat? Tentu saja kita mesti
mengembalikan hal ini pada pemahaman yang
benar terhadap Al Qur’an dan As Sunnah.[1]
Silang Pendapat
Perlu diketahui, dalam masalah apakah
menyentuh wanita membatalkan wudhu
ataukah tidak, para ulama ada tiga macam
pendapat.
Pendapat pertama: menyentuh wanita
membatalkan wudhu secara mutlak. Pendapat
ini dipilih oleh Imam Asy Syafi’i, Ibnu Hazm,
juga pendapat dari Ibnu Mas’ud dan Ibnu
‘Umar.
Pendapat kedua : menyentuh wanita tidak
membatalkan wudhu secara mutlah. Pendapat
ini dipilih oleh madzhab Abu Hanifah,
Muhammad bin Al Hasan Asy Syaibani, Ibnu
‘Abbas, Thowus, Al Hasan Al Bashri, ‘Atho’,
dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
Pendapat ketiga: menyentuh wanita
membatalkan wudhu jika dengan syahwat.
Pendapat ini adalah pendapat Imam Malik dan
pendapat Imam Ahmad yang masyhur.
Untuk melihat manakah pendapat yang lebih
kuat, mari kita lihat beberapa yang digunakan
untuk masing-masing pendapat.
Batalnya Wudhu Karena Menyentuh
Wanita Melalui Dalil Al Qur’an?
Sebagian ulama yang menyatakan batal wudhu
karena menyentuh wanita, berdalil dengan
firman Allah Ta’ala ,
ﻳَﺎ ﺃَﻳُّﻬَﺎ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﺁَﻣَﻨُﻮﺍ ﺇِﺫَﺍ ﻗُﻤْﺘُﻢْ ﺇِﻟَﻰ ﺍﻟﺼَّﻠَﺎﺓِ ﻓَﺎﻏْﺴِﻠُﻮﺍ
ﻭُﺟُﻮﻫَﻜُﻢْ ﻭَﺃَﻳْﺪِﻳَﻜُﻢْ ﺇِﻟَﻰ ﺍﻟْﻤَﺮَﺍﻓِﻖِ ﻭَﺍﻣْﺴَﺤُﻮﺍ ﺑِﺮُﺀُﻭﺳِﻜُﻢْ
ﻭَﺃَﺭْﺟُﻠَﻜُﻢْ ﺇِﻟَﻰ ﺍﻟْﻜَﻌْﺒَﻴْﻦِ ﻭَﺇِﻥْ ﻛُﻨْﺘُﻢْ ﺟُﻨُﺒًﺎ ﻓَﺎﻃَّﻬَّﺮُﻭﺍ ﻭَﺇِﻥْ
ﻛُﻨْﺘُﻢْ ﻣَﺮْﺿَﻰ ﺃَﻭْ ﻋَﻠَﻰ ﺳَﻔَﺮٍ ﺃَﻭْ ﺟَﺎﺀَ ﺃَﺣَﺪٌ ﻣِﻨْﻜُﻢْ ﻣِﻦَ
ﺍﻟْﻐَﺎﺋِﻂِ ﺃَﻭْ ﻟَﺎﻣَﺴْﺘُﻢُ ﺍﻟﻨِّﺴَﺎﺀَ ﻓَﻠَﻢْ ﺗَﺠِﺪُﻭﺍ ﻣَﺎﺀً ﻓَﺘَﻴَﻤَّﻤُﻮﺍ
ﺻَﻌِﻴﺪًﺍ ﻃَﻴِّﺒًﺎ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu
hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah
mukamu dan tanganmu sampai dengan siku,
dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu
sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu
junub maka mandilah, dan jika kamu sakit
atau dalam perjalanan atau kembali dari
tempat buang air (kakus) atau menyentuh
perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air,
maka bertayammumlah dengan tanah yang
baik (bersih); .. .” (QS. Al Ma-idah: 6) Mereka
menafsirkan kalimat “lamastumun nisaa’ ”
dengan menyentuh perempuan. Landasannya
adalah perkataan Ibnu Mas’ud ,
ﺍﻟﻠَّﻤْﺲُ، ﻣَﺎ ﺩُﻭْﻥَ ﺍﻟﺠِﻤَﺎﻉِ.
“Al lams (lamastum) bermakna selain jima’ ”. [2]
Perkataan yang serupa juga dikatakan oleh
Ibnu ‘Umar. [3] Jadi, menurut keduanya
lamastumun nisaa’ bermakna selain
berhubungan badan seperti menyentuh.
Akan tetapi, tafsiran dua ulama sahabat ini
bertentangan dengan perkataan sahabat -yang
lebih pakar dalam masalah tafsir- yaitu Ibnu
‘Abbas -radhiyallahu ‘anhuma-. Beliau
mengatakan,
“Namanya al mass, al lams dan al mubasyaroih
bermakna jima’ (berhubungan badan). Akan
tetapi Allah menyebutkan sesuai dengan yang
ia suka.”
Dalam perkataan lain.
“Makna ayat: lamastumun nisaa’ adalah
jima’ (berhubungan badan). ” [4]
Manakah dua tafsiran di atas yang lebih
tepat?
Ada beberapa jawaban untuk pertanyaan ini:
Pertama: Sebagaimana yang dikatakan
oleh Ibnu Jarir Ath Thobari bahwa makna
“lamastmun nisaa ‘” dalam ayat tersebut
adalah jima’ (berhubungan badan) dan bukan
dimaknakan dengan makna lain dari kata al
lams. Alasannya, terdapat hadits shahih dari
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa
beliau pernah mencium sebagian istrinya, lalu
beliau shalat dan tidak berwudhu lagi.
Dari ‘Aisyah, beliau mengatakan bahwa
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
mencium sebagian istrinya, lalu ia pergi shalat
dan tidak berwudhu. Seorang perowi (‘Urwah)
berkata pada ‘Aisyah, “Bukankah yang dicium
itu engkau?” Setelah itu ‘Aisyah pun tertawa.
[5] Juga terdapat riwayat Ibrahim At Taimiy,
dari ‘Aisyah. Riwayat ini dishahihkan oleh Al
Albani. [6]
Kedua: Tafsiran Ibnu ‘Abbas lebih
didahulukan dari tafsiran Ibnu Mas’ud dan
Ibnu ‘Umar karena beliau lebih pakar dalam
hal ini. [7]
Ketiga : Kita pun bisa melihat pada konteks
ayat surat Al Maidah ayat 6,
ﻳَﺎ ﺃَﻳُّﻬَﺎ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﺁَﻣَﻨُﻮﺍ ﺇِﺫَﺍ ﻗُﻤْﺘُﻢْ ﺇِﻟَﻰ ﺍﻟﺼَّﻠَﺎﺓِ ﻓَﺎﻏْﺴِﻠُﻮﺍ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu
hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah”:
Dalam ayat ini disebutkan mengenai thoharoh
(bersuci) dengan air dari hadats kecil.
ﻭَﺇِﻥْ ﻛُﻨْﺘُﻢْ ﺟُﻨُﺒًﺎ ﻓَﺎﻃَّﻬَّﺮُﻭﺍ
“dan jika kamu junub maka mandilah ”:
Sedangkan ayat ini untuk bersuci dari hadats
besar.
Lalu setelah itu, Allah menyebut:
ﻭَﺇِﻥْ ﻛُﻨْﺘُﻢْ ﻣَﺮْﺿَﻰ ﺃَﻭْ ﻋَﻠَﻰ ﺳَﻔَﺮٍ ﺃَﻭْ ﺟَﺎﺀَ ﺃَﺣَﺪٌ ﻣِﻨْﻜُﻢْ ﻣِﻦَ
ﺍﻟْﻐَﺎﺋِﻂِ ﺃَﻭْ ﻟَﺎﻣَﺴْﺘُﻢُ ﺍﻟﻨِّﺴَﺎﺀَ ﻓَﻠَﻢْ ﺗَﺠِﺪُﻭﺍ ﻣَﺎﺀً ﻓَﺘَﻴَﻤَّﻤُﻮﺍ
“dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan
atau kembali dari tempat buang air (kakus)
atau lamastumun nisaa’, lalu kamu tidak
memperoleh air, maka bertayammumlah.”
Dalam firman Allah: “ maka bertayamumlah ”.
Ini menunjukkan bahwa tayamum adalah
pengganti untuk dua thoharoh sekaligus jika
tidak memungkinkan menggunakan air.
ﺃَﻭْ ﺟَﺎﺀَ ﺃَﺣَﺪٌ ﻣِﻨْﻜُﻢْ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﻐَﺎﺋِﻂِ
“atau kembali dari tempat buang air (kakus)” :
ini adalah untuk hadats kecil. Jadi tayamum
bisa sebagai pengganti wudhu.
ﺃَﻭْ ﻟَﺎﻣَﺴْﺘُﻢُ ﺍﻟﻨِّﺴَﺎﺀَ
“ atau lamastumun nisaa’” : ini adalah untuk
hadats besar. Jadi tayamum bisa mengganti
mandi junub. Sehingga dari sini, lamastumun
nisaa’ termasuk hadats besar. Jadi maknanya
bukan hanya sekedar mencium
atau menyentuh .
Catatan : Memang kata al lams bisa bermakna
menyentuh (meraba) dengan tangan
sebagaimana disebutkan dalam ayat berikut,
ﻭَﻟَﻮْ ﻧَﺰَّﻟْﻨَﺎ ﻋَﻠَﻴْﻚَ ﻛِﺘَﺎﺑًﺎ ﻓِﻲ ﻗِﺮْﻃَﺎﺱٍ ﻓَﻠَﻤَﺴُﻮﻩُ ﺑِﺄَﻳْﺪِﻳﻬِﻢْ
“Dan kalau Kami turunkan kepadamu tulisan di
atas kertas, lalu mereka dapat menyentuhnya
dengan tangan mereka sendiri ” (QS. Al An’am:
7)
Begitu pula dapat dilihat dalam hadits,
ﻭَﺍﻟْﻴَﺪُ ﺯِﻧَﺎﻫَﺎ ﺍﻟﻠَّﻤْﺲُ
“Zinanya tangan adalah dengan meraba. ”[8]
Namun sebagaimana diutarakan oleh Ibnu
Jarir Ath Thobari, makna “ lamastmun nisaa ‘”
dalam ayat tersebut adalah
jima’ (berhubungan badan) dan bukan
dimaknakan dengan makna lain dari kata al
lams.
Dalil Lain Bahwa Menyentuh Wanita Tidak
Membatalkan Wudhu
Pertama: Hadits ‘Aisyah, ia berkata,
ﻓَﻘَﺪْﺕُ ﺭَﺳُﻮﻝَ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﻰﻠﺻ- ﻪﻠﻟﺍ ﻪﻴﻠﻋ -ﻢﻠﺳﻭ ﻟَﻴْﻠَﺔً ﻣِﻦَ
ﺍﻟْﻔِﺮَﺍﺵِ ﻓَﺎﻟْﺘَﻤَﺴْﺘُﻪُ ﻓَﻮَﻗَﻌَﺖْ ﻳَﺪِﻯ ﻋَﻠَﻰ ﺑَﻄْﻦِ ﻗَﺪَﻣَﻴْﻪِ ﻭَﻫُﻮَ
ﻓِﻰ ﺍﻟْﻤَﺴْﺠِﺪِ
“Suatu malam aku kehilangan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau
ternyata pergi dari tempat tidurnya dan ketika
itu aku menyentuhnya. Lalu aku
menyingkirkan tanganku dari telapak kakinya
(bagian dalam), sedangkan ketika itu beliau
sedang (shalat) di masjid …” [9]
Kedua: Hadits ‘Aisyah, ia berkata,
ﻛُﻨْﺖُ ﺃَﻧَﺎﻡُ ﺑَﻴْﻦَ ﻳَﺪَﻯْ ﺭَﺳُﻮﻝِ ﺍﻟﻠَّﻪِ – ﻰﻠﺻ ﻪﻠﻟﺍ ﻪﻴﻠﻋ
ﻢﻠﺳﻭ – ﻭَﺭِﺟْﻼَﻯَ ﻓِﻰ ﻗِﺒْﻠَﺘِﻪِ ، ﻓَﺈِﺫَﺍ ﺳَﺠَﺪَ ﻏَﻤَﺰَﻧِﻰ ،
ﻓَﻘَﺒَﻀْﺖُ ﺭِﺟْﻠَﻰَّ ، ﻓَﺈِﺫَﺍ ﻗَﺎﻡَ ﺑَﺴَﻄْﺘُﻬُﻤَﺎ . ﻗَﺎﻟَﺖْ ﻭَﺍﻟْﺒُﻴُﻮﺕُ
ﻳَﻮْﻣَﺌِﺬٍ ﻟَﻴْﺲَ ﻓِﻴﻬَﺎ ﻣَﺼَﺎﺑِﻴﺢُ
“Aku pernah tidur di hadapan Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kedua kakiku
di arah kiblat beliau. Ketika ia hendak sujud, ia
meraba kakiku. Lalu aku memegang kaki tadi.
Jika bediri, beliau membentangkan kakiku
lagi.” ‘Aisyah mengatakan, “ Rumah Nabi ketika
itu tidak ada penerangan .” [10]
Ketiga: Sudah diketahui bahwa para sahabat
pasti selalu menyentuh isti-istrinya. Namun
tidak diketahui kalau ada satu perintah dari
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk
berwudhu dan tidak ada satu riwayat yang
menyebutkan bahwa ketika itu para sahabat
berwudhu. Padahal seperti ini sudah sering
terjadi ketika itu. Bahkan yang diketahui
bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam mencium sebagian istrinya dann tanpa
berwudhu lagi. Walaupun memang hadits ini
diperselisihkan oleh para ulama mengenai
keshahihannya. Namun tidak ada riwayat yang
menyatakan bahwa beliau berwudhu karena
sebab bersentuhan dengan wanita. [11] -Inilah
penjelasan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah yang
kami sarikan-
Sedangkan perkataan ulama yang menyatakan
bahwa menyentuh wanita dengan syahwat saja
yang membatalkan wudhu, maka ini adalah
pendapat yang tidak berdalil. Namun jika
sekedar menganjurkan untuk berwudhu
sebagaimana orang yang marah dianjurkan
untuk berwudhu, maka ini baik. Akan tetapi,
hal ini bukanlah wajib. Wallahu Ta’ala a’lam .
Perhatian: Hukum Menyentuh Wanita Yang
Bukan Mahrom
Jika sudah jelas penjelasan menyentuh wanita
di atas berkaitan dengan masalah wudhu. Lalu
bagaimana dengan hukum menyentuh wanita
yang bukan mahrom, berdosa ataukah tidak?
Ada hadits yang bisa kita perhatikan, yaitu
dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu ,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
ﻛُﺘِﺐَ ﻋَﻠَﻰ ﺍﺑْﻦِ ﺁﺩَﻡَ ﻧَﺼِﻴﺒُﻪُ ﻣِﻦَ ﺍﻟﺰِّﻧَﻰ ﻣُﺪْﺭِﻙٌ ﺫَﻟِﻚَ ﻻَ
ﻣَﺤَﺎﻟَﺔَ ﻓَﺎﻟْﻌَﻴْﻨَﺎﻥِ ﺯِﻧَﺎﻫُﻤَﺎ ﺍﻟﻨَّﻈَﺮُ ﻭَﺍﻷُﺫُﻧَﺎﻥِ ﺯِﻧَﺎﻫُﻤَﺎ
ﺍﻻِﺳْﺘِﻤَﺎﻉُ ﻭَﺍﻟﻠِّﺴَﺎﻥُ ﺯِﻧَﺎﻩُ ﺍﻟْﻜَﻼَﻡُ ﻭَﺍﻟْﻴَﺪُ ﺯِﻧَﺎﻫَﺎ ﺍﻟْﺒَﻄْﺶُ
ﻭَﺍﻟﺮِّﺟْﻞُ ﺯِﻧَﺎﻫَﺎ ﺍﻟْﺨُﻄَﺎ ﻭَﺍﻟْﻘَﻠْﺐُ ﻳَﻬْﻮَﻯ ﻭَﻳَﺘَﻤَﻨَّﻰ ﻭَﻳُﺼَﺪِّﻕُ
ﺫَﻟِﻚَ ﺍﻟْﻔَﺮْﺝُ ﻭَﻳُﻜَﺬِّﺑُﻪُ
“Setiap anak Adam telah ditakdirkan bagian
untuk berzina dan ini suatu yang pasti terjadi,
tidak bisa tidak. Zina kedua mata adalah
dengan melihat. Zina kedua telinga dengan
mendengar. Zina lisan adalah dengan
berbicara. Zina tangan adalah dengan meraba
(menyentuh) . Zina kaki adalah dengan
melangkah. Zina hati adalah dengan
menginginkan dan berangan-angan. Lalu
kemaluanlah yang nanti akan membenarkan
atau mengingkari yang demikian. ”[12] Zina
tangan adalah dengan menyentuh lawan jenis
yang bukan mahrom dan di sini disebut
dengan zina sehingga ini menunjukkan
haramnya. Karena ada kaedah: “Apabila
sesuatu dinamakan dengan sesuatu lain yang
haram, maka menunjukkan bahwa perbuatan
tersebut adalah haram.” [13] .Semoga kita bisa
memperhatikan hal ini.
Kesimpulan: Menyentuh wanita tidak
membatalkan menurut pendapat yang lebih
kuat. Namun jika menyentuh wanita bukan
mahrom, ada konsekuensi berdosa
berdasarkan penjelasan terakhir di
atas. Wallahu a’lam .
Semoga yang singkat ini bermanfaat.
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
[1] Pemabahasan ini kami olah dari Shahih
Fiqh Sunnah , Syaikh Abu Malik, 1/138-140, Al
Maktabah At Taufiqiyah dengan beberapa
tambahan seperlunya.
[2] Lihat Tafsir Ath Thobari (Jaami’ Al Bayan fii
Ta’wilil Qur’an ), Ibnu Jarir Ath Thobari, 8/393,
Muassasah Ar Risalah, cetakan pertama, tahun
1420 H. Syaikh Ahmad Syakir dalam ‘ Umdatut
Tafsir (1/514) mengatakan bahwa sanad
riwayat inii yang paling shahih .
[3] Idem.
[4] Lihat Tafsir Ath Thobari (8/389). Sanad
riwayat ini shahih sebagaimana dikatakan oleh
Syaikh Abu Malik dalam Shahih Fiqh Sunnah,
1/139.
[5] Diriwayatkan oleh Ath Thobari (8/396).
Beliau menshahihkan hadits-hadits semacam
ini.
[6] HR. An Nasa-i no. 170. Syaikh Al Albani
mengatakan bahwa hadits ini shahih. Lihat
Misykah Al Mashobih 323 [24].
[7] Alasan yang dikemukakan oleh Syaikh Abu
Malik dalam Shahih Fiqh Sunnah , 1/139.
[8] HR. Ahmad 2/349. Syaikh Syu’aib Al
Arnauth mengatakan bahwa hadits ini shahih.
[9] HR. Muslim no. 486.
[10] HR. Bukhari no. 382 dan Muslim no. 512.
[11] Lihat Majmu’ Al Fatawa, 35/358.
[12] HR. Muslim no. 6925.
[13] Lihat Taysir Ilmi Ushul Fiqh, Abdullah bin
Yusuf Al Juda’i

Tidak ada komentar:

Posting Komentar