Senin, 22 Juli 2013

Biografi Syekh Abdul Malik Bin Ilyas Kedungparuk Purwokerto

adalah ibukota kabupaten Banyumas, Jawa
Tengah yang terletak di selatan Gunung Slamet,
salah satu gunung berapi yang masih aktif di
pulau Jawa. Purwokerto merupakan salah satu
pusat perdagangan dan pendidikan di kawasan
selatan Jawa Tengah. Sementara kabupaten
Banyumas sendiri merupakan sebuah kawasan
kebudayaan yang memiliki ciri khas tertentu di
antara keanekaragaman budaya Jawa yang
disebut sebagai budaya Banyumasan.
Ciri khas ini ditandai dengan kekhasan dialek
bahasa, citra seni dan tipologi masyarakatnya.
Bentang alam wilayah banyumasan berupa
dataran tinggi dan pegunungan serta lembah-
lembah dengan bentangan sungai-sungai yang
menjamin kelangsungan pertanian dengan
irigasi tradisional. kondisi yang demikian
membenarkan kenyataan kesuburan wilayah ini
(gemah ripah loh jinawi).
Dulunya, kawasan ini adalah tempat
penyingkiran para pengikut Pangeran
Diponegoro setelah perlawanan mereka
dipatahkan oleh Kompeni Belanda. Maka tidak
aneh, bila hingga masa kini masih terdapat
banyak sekali keluarga-keluarga yang memiliki
silsilah hingga Pangeran Diponegoro dan para
tokoh pengikutnya. Keluarga-keluarga
keturunan Pangeran Diponegoro dan tokoh-
tokohnya yang telah menyingkir dari pusat
kerajaan Matararam waktu itu, kemudian
menurunkan para pemimpin bangsa dan tokoh-
tokoh ulama hingga saat ini. Salah satu dari
sekian banyak tokoh ulama keturunan Pangeran
Diponegoro di kawasan Banyumas ini adalah
Syekh Abdul Malik bin Muhammad Ilyas,
Mursyid Thariqoh Naqsyabandiyah Kholidiyah
dan Thariqoh Syadzaliyah di Jawa Tengah.
Silsilah dan Pendidikan
Sudah menjadi tradisi di kawasan Banyumasan
kala itu, apabila ada seorang ibu hendak
melahirkan, maka dihamparkanlah tikar di atas
lantai sebagai tempat bersalin. Suatu saat ada
seorang ibu yang telah mempersiapkan
persalinannya sesuai tradisi tersebut, namun
rupanya sang bayi tidak juga kunjung terlahir.
Melihat hal ini, maka sang suami segera
memerintahkan istrinya untuk pindah ke
tempat tidur dan menjalani persalinan di atas
ranjang saja. Tak berapa lama terlahirlah
seorang bayi mungil yang kemudian dinamakan
Muhammad Ash’ad, artinya Muhammad yang
naik (dari tikar ke tempat tidur).
Peristiwa ini terjadi di Kedung Paruk
Purwokerto, pada hari Jum’at, tanggal 3 Rajab
tahun 1294 H. (1881 M.) Nama lengkapnya
adalah Muhammad Ash’ad bin Muhammad
Ilyas. Kelak bayi mungil ini lebih dikenal
sebagai Syeikh Muhammad Abdul Malik Kedung
Paruk Purwokerto. Beliau merupakan
keturunan Pangeran Diponegoro berdasarkan
“Surat Kekancingan” (semacam surat
pernyataan kelahiran) dari pustaka Kraton
Yogyakarta dengan rincian Muhammad Ash’ad,
Abdul Malik bin Muhammad Ilyas bin Raden
Mas Haji Ali Dipowongso bin HPA. Diponegoro
II bin HPA. Diponegoro I (Abdul Hamid) bin
Kanjeng Sultan Hamengku Buwono III
Yogyakarta. Nama Abdul Malik diperoleh dari
sang ayah ketika mengajaknya menunaikan
ibadah haji bersama.
Selain itu, ia juga memperoleh pendidikan dan
pengasuhan dari saudara-saudaranya yang
berada di Sokaraja,sebuah kecamatan di
sebelah timur Purwokerto. Di Sokaraja ini
terdapat saudara Abdul Malik yang bernama
Kyai Muhammad Affandi, seorang ulama
sekaligus saudagar kaya raya. Memiliki
beberapa kapal haji yang dipergunakan untuk
perjalanan menuju Tanah Suci. Ketika
menginjak usia 18 tahun, Abdul Malik dikirim
ke Tanah Suci untuk menimba ilmu agama. Di
sana ia mempelajari berbagai didiplin ilmu
agama, seperti Tafsir, Ulumul Qur’an, Hadits,
Fiqih, Tasawuf dan lain-lain. Pada tahun 1327
H. Abdul Malik pulang ke kampung halaman
setelah kurang lebih 15 tahun belajar di Tanah
Haram.
Selanjutnya ia berkhidmat kepada kedua orang
tuanya yang sudah sepuh (lanjut usia). Lima
tahun kemudian (1333 H.) ayahandanya
(Muhammad Ilyas) meninggal dalam usia 170
tahun dan dimakamkan di Sokaraja.
Sepeninggal ayahnya, Abdul Malik muda
berkeinginan melakukan perjalanan ke daerah-
daerah sekitar Banyumas, seperti Semarang,
Pekalongan, Yogyakarta dengan berjalan kaki.
Perjalanan ini diakhiri tepat pada seratus hari
wafatnya sang ayah. Abdul Malik kemudian
tinggal dan menetap di Kedung Paruk bersama
ibundanya, Nyai Zainab. Sejak saat ini, ia
kemudian lebih dikenal sebagai Syeikh Abdul
Malik Kedung Paruk.
Dalam hidupnya, Syaikh Abdul Malik memiliki
dua amalan wirid utama dan sangat besar,
yaitu membaca al-Qur’an dan Shalawat. Beliau
tak kurang membaca shalawat sebanyak 16.000
kali dalam setiap harinya dan sekali
menghatamkan al-Qur’an. Adapun shalawat
yang diamalkan adalah shalawat Nabi Khidir As
atau lebih sering disebut shalawat rahmat,
yakni “Shallallah ‘ala Muhammad.” Dan itu
adalah shalawat yang sering beliau ijazahkan
kepada para tamu dan murid beliau. Adapun
shalawat-shalawat yang lain, seperti shalawat
al-Fatih, al-Anwar dan lain-lain.
Beliau juga dikenal sebagai ulama yang
mempunyai kepribadian yang sabar, zuhud,
tawadhu dan sifat-sifat kemuliaan yang
menunjukan ketinggian dari akhlaq yang
melekat pada diri beliau. Sehingga amat
wajarlah bila masyarakat Banyumas dan
sekitarnya sangat mencintai dan
menghormatinya.Beliau disamping dikenal
memiliki hubungan yang baik dengan para
ulama besar umumnya, Syaikh Abdul Malik
mempunyai hubungan yang sangat erat dengan
ulama dan habaib yang dianggap oleh banyak
orang telah mencapai derajat waliyullah,
seperti Habib Sholeh bin Muhsin al-Hamid
(Tanggul, Jember), Habib Ahmad Bilfaqih
(Yogyakarta), Habib Husein bin Hadi al-Hamid
(Brani, Probolinggo), KH Hasan Mangli
(Magelang), Habib Hamid bin Yahya (Sokaraja,
Banyumas) dan lain-lain. Diceritakan, saat
Habib Soleh Tanggul pergi ke Pekalongan untuk
menghadiri sebuah haul. Selesai acara haul,
Habib Sholeh berkata kepada para jamaah,
”Apakah kalian tahu, siapakah gerangan orang
yang akan datang kemari? Dia adalah salah
seorang pembesar kaum ‘arifin di tanah Jawa.”
Tidak lama kemudian datanglah Syaikh Abdul
Malik dan jamaah pun terkejut melihatnya. Hal
yang sama juga dikatakan oleh Habib Husein
bin Hadi al-Hamid (Brani, Kraksaan,
Probolinggo) bahwa ketika Syaikh Abdul Malik
berkunjung ke rumahnya bersama rombongan,
Habib Husein berkata, ”Aku harus di pintu
karena aku mau menyambut salah satu
pembesar Wali Allah.”
Pengembaraan Mempelajari ilmu Agama
dan Guru-Guru
Setelah belajar al-Qur’an dengan ayahnya, asy-
Syaikh kemudian mendalami kembali al-Qur’an
kepada KH Abu Bakar bin H Yahya Ngasinan
(Kebasen, Banyumas). Pada tahun 1312 H,
ketika Syaikh Abdul Malik sudah menginjak usia
dewasa, oleh sang ayah, ia dikirim ke Mekkah
untuk menimba ilmu agama. Syeikh Abdul
Malik mempunyai banyak guru, baik selama
belajar di Tanah Air maupun di Tanah Suci.
Diantara guru-gurunya adalah Syekh
Muhammad Mahfudz bin Abdullah at-Tirmisi
al-Jawi, Sayyid Umar as-Syatha’ dan Sayyid
Muhammad Syatha’, keduanya merupakan
ulama besar Makkah dan Imam Masjidil Haram
dan Sayyid Alwi Syihab bin Shalih bin Aqil bin
Yahya. Sebelum berangkat ke tanah Suci,
Syeikh Abdul Malik sempat berguru kepada Kyai
Muhammad Sholeh bin Umar Darat Semarang,
Sayyid Habib Ahmad Fad’aq (seorang ulama
besar yang berusia cukup panjang, wafat dalam
usia 141 tahun), Habib ‘Aththas Abu Bakar al-
Atthas; Habib Muhammad bin Idrus al-Habsyi,
Surabaya; Sayyid Habib Abdullah bin Muhsin
al-Atthas Bogor.
Sanad Thoriqah Naqsabandiyah Kholidiyah
diperolehnya secara langsung dari sang ayah,
Syaikh Muhammad Ilyas; sedangkan sanad
Thoriqah Sadzaliyah didapatkannya dari Sayyid
Ahmad Nahrawi al-Makki (Mekkah). Selama
bermukim di Makkah, Syeikh Abdul Malik
diangkat oleh pemerintah Arab Saudi sebagai
Wakil Mufti Madzhab Syafi’i, diberi kesempatan
untuk mengajar berbagai ilmu agama termasuk,
tafsir dan qira’ah sab’ah. Sempat menerima
kehormatan berupa rumah tinggal yang
terletak di sekitar Masjidil Haram atau
tepatnya di dekat Jabal Qubes. Menurut
beberapa santrinya, Syekh Abdul Malik
sebenarnya tinggal di Makkah selama kurang
lebih 35 tahun, tetapi tidak dalam satu waktu.
Disamping belajar di tanah Suci selama 15
tahun, ia juga seringkali membimbing jamaah
haji Indonesia asal Banyumas, bekerjasama
dengan Syeikh Mathar Makkah. Aktivitas ini
dilakukan dalam waktu yang relatif lama, jadi
sebenarnya, masa 35 tahun itu tidaklah
mutlak. Dalam ilmu al-Qur’an, khususnya ilmu
Tafsir dan Ulumul Qur’an, ia berguru kepada
Sayid Umar Syatha’ dan Sayid Muhammad
Syatha’ (putra penulis kitab I’anatuth Thalibin
hasyiyah Fathul Mu’in).
Dalam ilmu hadits, ia berguru Sayid Thoha bin
Yahya al-Magribi (ulama Hadhramaut yang
tinggal di Mekkah), Sayid Alwi bin Shalih bin
Aqil bin Yahya, Sayid Muhsin al-Musawwa, asy-
Syaikh Muhammad Mahfudz bin Abdullah at-
Tirmisi. Dalam bidang ilmu syariah dan
thariqah alawiyah ia berguru pada Habib
Ahmad Fad’aq, Habib Aththas Abu Bakar al-
Attas, Habib Muhammad bin Idrus al-Habsyi
(Surabaya), Habib Abdullah bin Muhsin al-Attas
(Bogor), Kyai Soleh Darat (Semarang).
Sementara itu, guru-gurunya di Madinah
adalah Sayid Ahmad bin Muhammad Amin
Ridhwan, Sayid Abbas bin Muhammad Amin
Raidwan, Sayid Abbas al-Maliki al-Hasani (kakek
Sayid Muhammad bin Alwi al-Maliki al-Hasani),
Sayid Ahmad an-Nahrawi al-Makki, Sayid Ali
Ridha. Setelah sekian tahun menimba ilmu di
Tanah Suci, sekitar tahun 1327 H, asy-Syaikh
Abdul Malik pulang ke kampung halaman untuk
berkhidmat kepada keduaorang tuanya yang
saat itu sudah sepuh (berusia lanjut). Kemudian
pada tahun 1333 H, sang ayah, asy-Syaikh
Muhammad Ilyas berpulang ke Rahmatullah.
Sesudah sang ayah wafat, asy-Syaikh Abdul
Malik kemudian mengembara ke berbagai
daerah di Pulau Jawa guna menambah wawasan
dan pengetahuan dengan berjalan kaki. Ia
pulang ke rumah tepat pada hari ke-100 dari
hari wafat sang ayah, dan saat itu umur asy-
Syaikh berusia tiga puluh tahun.
Sepulang dari Pengembaraan Mempelajari
ilmu Agama
Sepulang dari pengembaraan, asy-Syaikh tidak
tinggal lagi di Sokaraja, tetapi menetap di
Kedung Paruk bersama ibundanya, Nyai
Zainab. Perlu diketahui, asy-Syaikh Abdul Malik
sering sekali membawa jemaah haji Indonesia
asal Banyumas dengan menjadi pembimbing
dan syaikh. Mereka bekerjasama dengan asy-
Syaikh Mathar Mekkah, dan aktivitas itu
dilakukan dalam rentang waktu yang cukup
lama. Sehingga wajarlah kalau selama menetap
di Mekkah, ia memperdalam lagi ilmu-ilmu
agama dengan para ulama dan syaikh yang ada
di sana. Berkat keluasan dan kedalaman
ilmunya, Syaikh Abdul Malik pernah
memperoleh dua anugrah yakni pernah
diangkat menjadi Wakil Mufti Madzab Syafi’i di
Mekkah dan juga diberi kesempatan untuk
mengajar.
Pemerintah Saudi sendiri sempat memberikan
hadiah berupa sebuah rumah tinggal yang
terletak di sekitar Masjidil Haram atau
tepatnya di dekat Jabal Qubes. Anugrah yang
sangat agung ini diberikan oleh Pemerintah
Saudi hanya kepada para ulama yang telah
memperoleh gelar al-‘Allamah. Syaikh Ma’shum
(Lasem, Rembang) setiap berkunjung ke
Purwokerto, seringkali menyempatkan diri
singgah di rumah asy-Syaikh Abdul Malik dan
mengaji kitab Ibnu Aqil Syarah Alfiyah Ibnu
Malik secara tabarrukan (meminta barakah)
kepada asy-Syaikh Abdul Malik. Demikian pula
dengan Mbah Dimyathi (Comal, Pemalang), KH
Khalil (Sirampog, Brebes), KH Anshori
(Linggapura, Brebes), KH Nuh (Pageraji,
Banyumas) yang merupakan kiai-kiai yang hafal
al-Qur’an, mereka kerap sekali belajar ilmu al-
Qur’an kepada Syaikh Abdul Malik.
Perjuangan Fisik
Adalah tidak benar, jika para ulama ahli
tasawuf disebut sebagai para pemalas, bodoh,
kumal dan mengabaikan urusan-urusan
duniawi. Meski tidak berpakaian Necis, namun
mereka senantiasa tanggap terhadap berbagai
kejadian yang ada di sekitarnya. Ketika zaman
bergolak dalam revolusi fisik untuk melepaskan
diri dari belenggu penjajahan bangsa asing,
para ulama ahli Thoriqoh senyatanya juga turut
berjuang dalam satu tarikan nafas demi
memerdekakan bangsanya. Pada masa-masa
sulit zaman penjajahan Belanda dan Jepang,
Syeikh Abdul Malik senantiasa gigih berdakwah.
Karena aktivitasnya ini, maka ia pun menjadi
salah satu target penangkapan tentara-tentara
kolonial.
Mereka sangat khawatir pada pengaruh
dakwahnya yang mempengaruhi rakyat
Indonesia untuk memberontak terhadap
penjajah. Menghadapi situasi seperti ini, ia
justru meleburkan diri dalam laskar-laskar
rakyat. Sebagaimana Pangeran Diponegoro,
leluhurnya yang berbaur bersama rakyat untuk
menentang penjajahan Belanda, maka ia pun
senantiasa menyuntikkan semangat perjuangan
terhadap para gerilyawan di perbukitan Gunung
Slamet.
Pada masa Gestapu, Syeikh Abdul Malik juga
sempat ditahan oleh PKI. Bersamanya,
ditangkap pula Habib Hasyim al-Quthban
Yogyakarta, ketika sedang bepergian menuju
daerah Bumiayu Brebes untuk memberikan
ilmu kekebalan atau kesaktian kepada para
laskar pemuda Islam. Dalam tahanan ini, Habib
Hasyim al-Quthban mengalami shock dan
akhirnya meninggal, sedangkan Syekh Abdul
Malik masih hidup dan akhirnya dibebaskan.
Kepribadian Syaikh Abdul Malik
Dalam hidupnya, Syeikh Abdul Malik memiliki
dua amalan wirid utama dan sangat besar,
yaitu membaca al-Qur’an dan Shalawat. Dikenal
sebagai ulama yang mempunyai berkepribadian
sabar, zuhud, tawadhu dan sifat-sifat
kemuliaan yang menunjukan ketinggian
akhlakul karimah. Maka amat wajarlah bila
masyarakat Banyumas dan sekitarnya sangat
mencintai dan menghormatinya.
Syeikh Abdul Malik adalah pribadi yang sangat
sederhana, santun dan ramah kepada siapa
saja. Beliau juga gemar sekali melakukan
silaturrahim kepada murid-muridnya, terutama
kepada mereka yang miskin atau sedang
mengalami kesulitan hidup. Santri-santri yang
biasa dikunjunginya ini, selain mereka yang
tinggal di Kedung Paruk maupun di desa-desa
sekitarnya seperti Ledug, Pliken, Sokaraja,
dukuh waluh, Bojong, juga sanri-santri lain
yang tinggal di tempat jauh.
Hampir setiap hari Selasa pagi, dengan
kendaraan sepeda, naik becak atau dokar,
Syaikh Abdul Malik mengunjungi murid-
muridnya untuk membagi-bagikan beras, uang
dan terkadang pakaian sambil mengingatkan
kepada mereka untuk datang pada acara
pengajian Selasanan (Forum silaturrahim para
pengikut Thariqah an-Naqsyabandiyah al-
Khalidiyah Kedung paruk yang diadakan setiap
hari Selasa dan diisi dengan pengajian dan
tawajjuhan).
Keluarga Syaikh Abdul Malik
Syeikh Muhammad Abdul Malik bin Muhammad
Ilyas menikahi tiga orang istri, dua di
antaranya dikaruniai keturunan. Istri
pertamanya adalah Nyai Hajjah Warsiti binti
Abu Bakar yang lebih dikenal dengan nama
Mbah Johar. Seorang wanita terpandang, puteri
gurunya, K Abu Bakar bin H Yahya Kelewedi
Ngasinan, Kebasen. Istri pertama ini kemudian
dicerai setelah dikaruniai seorang anak lelaki
bernama Ahmad Busyairi (wafat tahun 1953,
pada usia sekitar 30 tahun).
Ada sebuah cerita unik tentang putera
pertamanya ini. Ahmad Busyairi adalah
seorang pemuda yang meninggal dunia
sebelum sempat menikah. Suatu hari Syeikh
Abdul Malik berkata padanya, “Nak, besok
kamu menikah di surga saja ya?” Mendengar
ayahnya bertutur demikian, muka Busyairi
terlihat ceria dan hatinya merasa sangat
gembira. Beberapa waktu kemudian, ia
meninggal sebelum berkesempatan menikah.
Istri kedua Syeikh Abdul Malik adalah Mbah
Mrenek, seorang janda kaya raya dari desa
Mrenek, Maos Cilacap. Pernikahan ini tidak
dikaruniai anak. Istimewanya, suatu hari Syeikh
Abdul Malik hendak menceraikannya, namun
Mbah Mrenek berkata, “Pak Kyai, meskipun
Panjenengan (Anda) tidak lagi menyukai saya,
tapi tolong jangan ceraikan saya. Yang penting
saya diakui menjadi istri Anda, dunia dan
akhirat.” Mendengar permintaan ini, Syeikh
Abdul Malik pun tidak jadi menceraikannya.
Sedangkan istri ketiganya adalah Nyai Hj. Siti
Khasanah, seorang wanita cantik dan shalihah,
tetangganya sendiri. Pernikahan ini, dikaruniai
seorang anak perempuan bernama Hj. Siti
Khairiyyah yang wafat empat tahun sepeninggal
Syekh Abdul Malik. Dari puterinya inilah nasab
Syeikh Abdul Malik diteruskan.
Murid-murid Syaikh Abdul Malik
Murid-murid dari Syaikh Abdul Malik
diantaranya KH Abdul Qadir, Kiai Sa’id, KH
Muhammad Ilyas Noor (mursyid Thariqah an-
Naqsabandiyah al-Khalidiyah), KH Sahlan
(Pekalongan), Drs Ali Abu Bakar Bashalah
(Yogyakarta), KH Hisyam Zaini (Jakarta), Habib
Muhammad Luthfi bin Ali bin Yahya
(Pekalongan), KH Ma’shum (Purwokerto) dan
lain-lain. Sebagaimana diungkapkan oleh murid
beliau, yakni Habib Luthfi bin Yahya, Syaikh
Abdul Malik tidak pernah menulis satu karya
pun. “Karya-karya al-Alamah Syaikh Abdul
Malik adalah karya-karya yang dapat berjalan,
yakni murid-murid beliau, baik dari kalangan
kyai, ulama maupun shalihin.
Diantara warisan beliau yang sampai sekarang
masih menjadi amalan yang dibaca bagi para
pengikut thariqah adalah buku kumpulan
shalawat yang beliau himpun sendiri, yaitu al-
Miftah al-Maqashid li-ahli at-Tauhid fi ash-
Shalah ‘ala babillah al-Hamid al-majid
Sayyidina Muhammad al-Fatih li-jami’i asy-
Syada’id.” Shalawat ini diperolehnya di
Madinah dari Sayyid Ahmad bin Muhammad
Ridhwani al-Madani. Konon, shalawat ini
memiliki manfaat yang sangat banyak,
diantaranya bila dibaca, maka pahalanya sama
seperti membaca kitab Dala’ilu al-Khairat
sebanyak seratus sepuluh kali, dapat digunakan
untuk menolak bencana dan dijauhkan dari
siksa neraka. Selain, menularkan ilmunya
kepada santri-santi yang kemudian menjadi
ulama dan pemimpin umat, Syeikh Abdul Malik
juga memiliki santri-santri dari berbagai
kalangan, seperti Haji Hambali Kudus, seorang
pedagang yang dermawan dan tidak pernah
rugi dalam aktivitas dagangnya dan Kyai Abdul
Hadi Klaten, seorang penjudi yang kemudian
bertaubat dan menjadi hamba Allah yang
shaleh dan gemar beribadah.
Pesan Syaikh Abdul Malik
Salah seorang cucu Syeikh Abdul Malik
mengatakan, ada tiga pesan dan wasiat yang
disampaikan Beliau kepada cucu-cucunya.
Pertama, jangan meninggalkan shalat. Tegakkan
shalat sebagaimana telah dicontohkan
Rasululah Saw. Lakukan shalat fardhu pada
waktunya secara berjama’ah. Perbanyak shalat
sunnah serta ajarkan kepada para generasi
penerus sedini mungkin. Kedua, jangan
tinggalkan membaca al-Qur’an. Baca dan
pelajari setiap hari serta ajarkan sendiri sedini
mungkin kepada anak-anak. Sebarkan al-Qur’an
di manapun berada. Jadikan sebagai pedoman
hidup dan lantunkan dengan suara merdu.
Hormati orang-orang yang hafal al-Qur’an dan
qari’-qari’ah serta muliakan tempat-tempat
pelestariannya. Ketiga, jangan tinggalkan
membaca shalawat, baca dan amalkan setiap
hari. Contoh dan teladani kehidupan Rasulullah
Saw serta tegakkanlah sunnah-sunnahnya.
Sebarkan bacaan shalawat Rasulullah,
selamatkan dan sebarluaskan ajarannya.
Syekh Abdul Malik wafat
Pada hari Kamis, 21 Jumadil Akhir 1400 H.
yang bertepatan dengan 17 April 1980 M.
sekitar pukul 18.30 WIB (malam Jum’at), Syekh
Abdul Malik meminta izin kepada istrinya untuk
melakukan shalat Isya’ dan masuk ke dalam
kamar khalwatnya. Tiga puluh menit kemudian,
salah seorang cucunya mengetuk kamar
tersebut, namun tidak ada jawaban. Setelah
pintu dibuka, rupanya sang mursyid telah
berbaring dengan posisi kepala di utara dan
kaki di selatan, tanpa sehela nafas pun
berhembus. Syeikh Abdul Malik kemudian
dimakamkan pada hari Jum’at, selepas shalat
Ashar di belakang Masjid Bahaul Haq wa
Dhiyauddin Kedung Paruk, Purwokerto.Semoga
amal ibadah beliau di terima oleh Allah SWT
dan semoga kesalahan-kesalahan beliau juga di
ampuni oleh Allah SWT. Aamiin Yaa Rabbal alamin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar