Kamis, 18 Juli 2013

Biografi KH Hasyim Asy'ari - Pendiri Nahdlatul Ulama (NU)

KH Mohammad Hasyim Asy'ari, atau biasa
disebut KH Hasyim Ashari beliau dilahirkan
pada tanggal 10 April 1875 atau menurut
penanggalan arab pada tanggal 24 Dzulqaidah
1287H di Desa Gedang, Kecamatan Diwek,
Kabupaten Jombang, Jawa Timur dan beliau
kemudian tutup usia pada tanggal 25 Juli 1947
yang kemudian dikebumikan di Tebu Ireng,
Jombang, KH Hasyim Asy'ari merupakan
pendiri Nahdlatul Ulama yaitu sebuah
organisasi massa Islam yang terbesar di
Indonesia. KH Hasyim Asyari merupakan putra
dari pasangan Kyai Asyari dan Halimah,
Ayahnya Kyai Ashari merupakan seorang
pemimpin Pesantren Keras yang berada di
sebelah selatan Jombang. KH Hasyim Ashari
merupakan anak ketiga dari 11 bersaudara.
Dari garis keturunan ibunya, KH Hasyim Ashari
merupakan keturunan kedelapan dari Jaka
Tingkir (Sultan Pajang). dari Ayah dan Ibunya
KH Hasyim Ashari mendapat pendidikan dan
nilai-nilai dasar Islam yang kokoh.
Biografi KH Hasyim Asy'ari
Sejak anak-anak, bakat kepemimpinan dan
kecerdasan KH Hasyim Ashari memang sudah
nampak. Di antara teman sepermainannya, ia
kerap tampil sebagai pemimpin. Dalam usia 13
tahun, ia sudah membantu ayahnya mengajar
santri-santri yang lebih besar ketimbang
dirinya. Usia 15 tahun Hasyim meninggalkan
kedua orang tuanya, berkelana memperdalam
ilmu dari satu pesantren ke pesantren lain.
Mula-mula ia menjadi santri di Pesantren
Wonokoyo, Probolinggo. Kemudian pindah ke
Pesantren Langitan, Tuban. Pindah lagi
Pesantren Trenggilis, Semarang. Belum puas
dengan berbagai ilmu yang dikecapnya, ia
melanjutkan di Pesantren Kademangan,
Bangkalan di bawah asuhan Kyai Cholil.
KH Hasyim Asyari belajar dasar-dasar agama
dari ayah dan kakeknya, Kyai Utsman yang juga
pemimpin Pesantren Nggedang di Jombang.
Sejak usia 15 tahun, beliau berkelana menimba
ilmu di berbagai pesantren, antara lain
Pesantren Wonokoyo di Probolinggo, Pesantren
Langitan di Tuban, Pesantren Trenggilis di
Semarang, Pesantren Kademangan di Bangkalan
dan Pesantren Siwalan di Sidoarjo. Tak lama di
sini, Hasyim pindah lagi di Pesantren Siwalan,
Sidoarjo. Di pesantren yang diasuh Kyai Ya’qub
inilah, agaknya, Hasyim merasa benar-benar
menemukan sumber Islam yang diinginkan.
Kyai Ya’qub dikenal sebagai ulama yang
berpandangan luas dan alim dalam ilmu agama.
Cukup lama –lima tahun– Hasyim menyerap
ilmu di Pesantren Siwalan. Dan rupanya Kyai
Ya’qub sendiri kesengsem berat kepada pemuda
yang cerdas dan alim itu. Maka, Hasyim bukan
saja mendapat ilmu, melainkan juga istri. Ia,
yang baru berumur 21 tahun, dinikahkan
dengan Chadidjah, salah satu puteri Kyai
Ya’qub. Tidak lama setelah menikah, Hasyim
bersama istrinya berangkat ke Mekkah guna
menunaikan ibadah haji. Tujuh bulan di sana,
Hasyim kembali ke tanah air, sesudah istri dan
anaknya meninggal. Tahun 1893, ia berangkat
lagi ke Tanah Suci. Sejak itulah ia menetap di
Mekkah selama 7 tahun dan berguru pada
Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau, Syaikh
Mahfudh At Tarmisi, Syaikh Ahmad Amin Al
Aththar, Syaikh Ibrahim Arab, Syaikh Said
Yamani, Syaikh Rahmaullah, Syaikh Sholeh
Bafadlal, Sayyid Abbas Maliki, Sayyid Alwi bin
Ahmad As Saqqaf, dan Sayyid Husein Al
Habsyi..
Tahun l899 pulang ke Tanah Air, Hasyim
mengajar di pesanten milik kakeknya, Kyai
Usman. Tak lama kemudian ia mendirikan
Pesantren Tebuireng. Kyai Hasyim bukan saja
Kyai ternama, melainkan juga seorang petani
dan pedagang yang sukses. Tanahnya puluhan
hektar. Dua hari dalam seminggu, biasanya
Kyai Hasyim istirahat tidak mengajar. Saat
itulah ia memeriksa sawah-sawahnya. Kadang
juga pergi Surabaya berdagang kuda, besi dan
menjual hasil pertaniannya. Dari bertani dan
berdagang itulah, Kyai Hasyim menghidupi
keluarga dan pesantrennya.
Tahun 1899, Kyai Hasyim membeli sebidang
tanah dari seorang dalang di Dukuh Tebuireng.
Letaknya kira-kira 200 meter sebelah Barat
Pabrik Gula Cukir, pabrik yang telah berdiri
sejak tahun 1870. Dukuh Tebuireng terletak di
arah timur Desa Keras, kurang lebih 1 km. Di
sana beliau membangun sebuah bangunan yang
terbuat dari bambu (Jawa: tratak) sebagai
tempat tinggal. Dari tratak kecil inilah embrio
Pesantren Tebuireng dimulai. Kyai Hasyim
mengajar dan salat berjamaah di tratak bagian
depan, sedangkan tratak bagian belakang
dijadikan tempat tinggal. Saat itu santrinya
berjumlah 8 orang, dan tiga bulan kemudian
meningkat menjadi 28 orang.
Setelah dua tahun membangun Tebuireng, Kyai
Hasyim kembali harus kehilangan istri
tercintanya, Nyai Khodijah. Saat itu perjuangan
mereka sudah menampakkan hasil yang
menggembirakan. Kyai Hasyim kemudian
menikah kembali dengan Nyai Nafiqoh, putri
Kyai Ilyas, pengasuh Pesantren Sewulan
Madiun. Dari pernikahan ini Kyai Hasyim
dikaruniai 10 anak, yaitu: (1) Hannah, (2)
Khoiriyah, (3) Aisyah, (4) Azzah, (5) Abdul
Wahid, (6) Abdul Hakim (Abdul Kholik), (7)
Abdul Karim, (8) Ubaidillah, (9) Mashuroh, (10)
Muhammad Yusuf. Pada akhir dekade 1920an,
Nyai Nafiqoh wafat sehingga Kyai Hasyim
menikah kembali dengan Nyai Masruroh, putri
Kyai Hasan, pengasuh Pondok Pesantren
Kapurejo, Pagu, Kediri. Dari pernikahan ini,
Kyai Hasyim dikarunia 4 orang putra-putri,
yaitu: (1) Abdul Qodir, (2) Fatimah, (3)
Khotijah, (4) Muhammad Ya’kub.
Pernah terjadi dialog yang mengesankan antara
dua ulama besar, KH Muhammad Hasyim
Asy’ari dengan KH Mohammad Cholil, gurunya.
“Dulu saya memang mengajar Tuan. Tapi hari
ini, saya nyatakan bahwa saya adalah murid
Tuan,” kata Mbah Cholil, begitu Kyai dari
Madura ini populer dipanggil. Kyai Hasyim
menjawab, “Sungguh saya tidak menduga kalau
Tuan Guru akan mengucapkan kata-kata yang
demikian. Tidakkah Tuan Guru salah raba
berguru pada saya, seorang murid Tuan
sendiri, murid Tuan Guru dulu, dan juga
sekarang. Bahkan, akan tetap menjadi murid
Tuan Guru selama-lamanya.” Tanpa merasa
tersanjung, Mbah Cholil tetap bersikeras
dengan niatnya. “Keputusan dan kepastian hati
kami sudah tetap, tiada dapat ditawar dan
diubah lagi, bahwa kami akan turut belajar di
sini, menampung ilmu-ilmu Tuan, dan berguru
kepada Tuan,” katanya. Karena sudah hafal
dengan watak gurunya, Kyai Hasyim tidak bisa
berbuat lain selain menerimanya sebagai santri.
Lucunya, ketika turun dari masjid usai shalat
berjamaah, keduanya cepat-cepat menuju
tempat sandal, bahkan kadang saling
mendahului, karena hendak memasangkan ke
kaki gurunya. Sesungguhnya bisa saja terjadi
seorang murid akhirnya lebih pintar ketimbang
gurunya. Dan itu banyak terjadi. Namun yang
ditunjukkan Kyai Hasyim juga Kyai Cholil;
adalah kemuliaan akhlak. Keduanya
menunjukkan kerendahan hati dan saling
menghormati, dua hal yang sekarang semakin
sulit ditemukan pada para murid dan guru-
guru kita. Mbah Cholil adalah Kyai yang sangat
termasyhur pada jamannya. Hampir semua
pendiri NU dan tokoh-tokoh penting NU
generasi awal pernah berguru kepada pengasuh
sekaligus pemimpin Pesantren Kademangan,
Bangkalan, Madura, ini.
Sedangkan Kyai Hasyim sendiri tak kalah
cemerlangnya. Bukan saja ia pendiri sekaligus
pemimpin tertinggi NU, yang punya pengaruh
sangat kuat kepada kalangan ulama, tapi juga
lantaran ketinggian ilmunya. Terutama,
terkenal mumpuni dalam ilmu Hadits. Setiap
Ramadhan Kyai Hasyim punya ‘tradisi’
menggelar kajian hadits Bukhari dan Muslim
selama sebulan suntuk. Kajian itu mampu
menyedot perhatian ummat Islam. Maka tak
heran bila pesertanya datang dari berbagai
daerah di Indonesia, termasuk mantan gurunya
sendiri, Kyai Cholil. Ribuan santri menimba
ilmu kepada Kyai Hasyim. Setelah lulus dari
Tebuireng, tak sedikit di antara santri Kyai
Hasyim kemudian tampil sebagai tokoh dan
ulama kondang dan berpengaruh luas. KH
Abdul Wahab Chasbullah, KH Bisri Syansuri,
KH. R. As’ad Syamsul Arifin, Wahid Hasyim
(anaknya) dan KH Achmad Siddiq adalah
beberapa ulama terkenal yang pernah menjadi
santri Kyai Hasyim. Tak pelak lagi pada abad 20
Tebuireng merupakan pesantren paling besar
dan paling penting di Jawa. Zamakhsyari
Dhofier, penulis buku ‘Tradisi Pesantren’,
mencatat bahwa pesantren Tebuireng adalah
sumber ulama dan pemimpin lembaga-lembaga
pesantren di seluruh Jawa dan Madura. Tak
heran bila para pengikutnya kemudian
memberi gelar Hadratus-Syaikh (Tuan Guru
Besar) kepada Kyai Hasyim.
Karena pengaruhnya yang demikian kuat itu,
keberadaan Kyai Hasyim menjadi perhatian
serius penjajah. Baik Belanda maupun Jepang
berusaha untuk merangkulnya. Di antaranya ia
pernah dianugerahi bintang jasa pada tahun
1937, tapi ditolaknya. Justru Kyai Hasyim
sempat membuat Belanda kelimpungan.
Pertama, ia memfatwakan bahwa perang
melawan Belanda adalah jihad (perang suci).
Belanda kemudian sangat kerepotan, karena
perlawanan gigih melawan penjajah muncul di
mana-mana. Kedua, Kyai Hasyim juga pernah
mengharamkan naik haji memakai kapal
Belanda. Fatwa tersebut ditulis dalam bahasa
Arab dan disiarkan oleh Kementerian Agama
secara luas. Keruan saja, Van der Plas
(penguasa Belanda) menjadi bingung. Karena
banyak ummat Islam yang telah mendaftarkan
diri kemudian mengurungkan niatnya.
Namun sempat juga Kyai Hasyim mencicipi
penjara 3 bulan pada l942. Tidak jelas alasan
Jepang menangkap Kyai Hasyim. Mungkin,
karena sikapnya tidak kooperatif dengan
penjajah. Uniknya, saking khidmatnya kepada
gurunya, ada beberapa santri minta ikut
dipenjarakan bersama Kyainya itu. Masa awal
perjuangan Kyai Hasyim di Tebuireng
bersamaan dengan semakin represifnya
perlakuan penjajah Belanda terhadap rakyat
Indonesia. Pasukan Kompeni ini tidak segan-
segan membunuh penduduk yang dianggap
menentang undang-undang penjajah. Pesantren
Tebuireng pun tak luput dari sasaran represif
Belanda. Pada tahun 1913 M., intel Belanda
mengirim seorang pencuri untuk membuat
keonaran di Tebuireng. Namun dia tertangkap
dan dihajar beramai-ramai oleh santri hingga
tewas.
Peristiwa ini dimanfaatkan oleh Belanda untuk
menangkap Kyai Hasyim dengan tuduhan
pembunuhan. Dalam pemeriksaan, Kyai Hasyim
yang sangat piawai dengan hukum-hukum
Belanda, mampu menepis semua tuduhan
tersebut dengan taktis. Akhirnya beliau
dilepaskan dari jeratan hukum. Belum puas
dengan cara adu domba, Belanda kemudian
mengirimkan beberapa kompi pasukan untuk
memporak-porandakan pesantren yang baru
berdiri 10-an tahun itu. Akibatnya, hampir
seluruh bangunan pesantren porak-poranda,
dan kitab-kitab dihancurkan serta dibakar.
Perlakuan represif Belanda ini terus
berlangsung hingga masa-masa revolusi fisik
Tahun 1940an. Pada bulan Maret 1942,
Pemerintah Hindia Belanda menyerah kepada
Jepang di Kalijati, dekat Bandung, sehingga
secara de facto dan de jure, kekuasaan
Indonesia berpindah tangan ke tentara Jepang.
Pendudukan Dai Nippon menandai datangnya
masa baru bagi kalangan Islam. Berbeda
dengan Belanda yang represif kepada Islam,
Jepang menggabungkan antara kebijakan
represi dan kooptasi, sebagai upaya untuk
memperoleh dukungan para pemimpin Muslim.
Salah satu perlakuan represif Jepang adalah
penahanan terhadap Hadratus Syaikh beserta
sejumlah putera dan kerabatnya. Ini dilakukan
karena Kyai Hasyim menolak melakukan
seikerei. Yaitu kewajiban berbaris dan
membungkukkan badan ke arah Tokyo setiap
pukul 07.00 pagi, sebagai simbol
penghormatan kepada Kaisar Hirohito dan
ketaatan kepada Dewa Matahari (Amaterasu
Omikami). Aktivitas ini juga wajib dilakukan
oleh seluruh warga di wilayah pendudukan
Jepang, setiap kali berpapasan atau melintas di
depan tentara Jepang. Kyai Hasyim menolak
aturan tersebut. Sebab hanya Allah lah yang
wajib disembah, bukan manusia. Akibatnya,
Kyai Hasyim ditangkap dan ditahan secara
berpindah–pindah, mulai dari penjara
Jombang, kemudian Mojokerto, dan akhirnya
ke penjara Bubutan, Surabaya.
Karena kesetiaan dan keyakinan bahwa
Hadratus Syaikh berada di pihak yang benar,
sejumlah santri Tebuireng minta ikut ditahan.
Selama dalam tahanan, Kyai Hasyim mengalami
banyak penyiksaan fisik sehingga salah satu jari
tangannya menjadi patah tak dapat digerakkan.
Setelah penahanan Hadratus Syaikh, segenap
kegiatan belajar-mengajar di Pesantren
Tebuireng vakum total. Penahanan itu juga
mengakibatkan keluarga Hadratus Syaikh
tercerai berai. Isteri Kyai Hasyim, Nyai
Masruroh, harus mengungsi ke Pesantren
Denanyar, barat Kota Jombang.
Tanggal 18 Agustus 1942, setelah 4 bulan
dipenjara, Kyai Hasyim dibebaskan oleh Jepang
karena banyaknya protes dari para Kyai dan
santri. Selain itu, pembebasan Kyai Hasyim juga
berkat usaha dari Kyai Wahid Hasyim dan Kyai
Wahab Hasbullah dalam menghubungi
pembesar-pembesar Jepang, terutama Saikoo
Sikikan di Jakarta. Tanggal 22 Oktober 1945,
ketika tentara NICA (Netherland Indian Civil
Administration) yang dibentuk oleh pemerintah
Belanda membonceng pasukan Sekutu yang
dipimpin Inggris, berusaha melakukan agresi ke
tanah Jawa (Surabaya) dengan alasan mengurus
tawanan Jepang, Kyai Hasyim bersama para
ulama menyerukan Resolusi Jihad melawan
pasukan gabungan NICA dan Inggris tersebut.
Resolusi Jihad ditandatangani di kantor NU
Bubutan, Surabaya. Akibatnya, meletuslah
perang rakyat semesta dalam pertempuran 10
November 1945 yang bersejarah itu. Umat
Islam yang mendengar Resolusi Jihad itu keluar
dari kampung-kampung dengan membawa
senjata apa adanya untuk melawan pasukan
gabungan NICA dan Inggris. Peristiwa 10
Nopember kemudian diperingati sebagai Hari
Pahlawan Nasional. Pada tanggal 7 Nopember
1945—tiga hari sebelum meletusnya perang 10
Nopember 1945 di Surabaya—umat Islam
membentuk partai politik bernama Majelis
Syuro Muslim Indonesia (Masyumi).
Pembentukan Masyumi merupakan salah satu
langkah konsolidasi umat Islam dari berbagai
faham. Kyai Hasyim diangkat sebagai Ro’is ‘Am
(Ketua Umum) pertama periode tahun
1945-1947. Selama masa perjuangan mengusir
penjajah, Kyai Hasyim dikenal sebagai
penganjur, penasehat, sekaligus jenderal dalam
gerakan laskar-laskar perjuangan seperti GPII,
Hizbullah, Sabilillah, dan gerakan Mujahidin.
Bahkan Jenderal Soedirman dan Bung Tomo
senantiasa meminta petunjuk kepada Kyai
Hasyim.
Kemampuannya dalam ilmu hadits, diwarisi
dari gurunya, Syaikh Mahfudh At Tarmisi di
Mekkah. Selama 7 tahun Hasyim berguru
kepada Syaikh ternama asal Pacitan, Jawa
Timur itu. Disamping Syaikh Mahfudh, Hasyim
juga menimba ilmu kepada Syaikh Ahmad
Khatib Al Minangkabau. Kepada dua guru besar
itu pulalah Kyai Ahmad Dahlan , pendiri
Muhammadiyah, berguru. Jadi, antara KH
Hasyim Asy’ari dan KH Ahmad Dahlan
sebenarnya tunggal guru. Yang perlu
ditekankan, saat Hasyim belajar di Mekkah,
Muhammad Abduh sedang giat-giatnya
melancarkan gerakan pembaharuan pemikiran
Islam. Dan sebagaimana diketahui, buah pikiran
Abduh itu sangat mempengaruhi proses
perjalanan ummat Islam selanjutnya.
Sebagaimana telah dikupas Deliar Noer, ide-ide
reformasi Islam yang dianjurkan oleh Abduh
yang dilancarkan dari Mesir, telah menarik
perhatian santri-santri Indonesia yang sedang
belajar di Mekkah. Termasuk Hasyim tentu saja.
Ide reformasi Abduh itu ialah pertama
mengajak ummat Islam untuk memurnikan
kembali Islam dari pengaruh dan praktek
keagamaan yang sebenarnya bukan berasal dari
Islam.
Kedua, reformasi pendidikan Islam di tingkat
universitas; dan ketiga, mengkaji dan
merumuskan kembali doktrin Islam untuk
disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan
kehidupan modern; dan keempat,
mempertahankan Islam. Usaha Abduh
merumuskan doktrin-doktrin Islam untuk
memenuhi kebutuhan kehidupan modern
pertama dimaksudkan agar supaya Islam dapat
memainkan kembali tanggung jawab yang lebih
besar dalam lapangan sosial, politik dan
pendidikan. Dengan alasan inilah Abduh
melancarkan ide agar ummat Islam melepaskan
diri dari keterikatan mereka kepada pola
pikiran para mazhab dan agar ummat Islam
meninggalkan segala bentuk praktek tarekat.
Syaikh Ahmad Khatib mendukung beberapa
pemikiran Abduh, walaupun ia berbeda dalam
beberapa hal. Beberapa santri Syaikh Khatib
ketika kembali ke Indonesia ada yang
mengembangkan ide-ide Abduh itu. Di
antaranya adalah KH Ahmad Dahlan yang
kemudian mendirikan Muhammadiyah. Tidak
demikian dengan Hasyim. Ia sebenarnya juga
menerima ide-ide Abduh untuk
menyemangatkan kembali Islam, tetapi ia
menolak pikiran Abduh agar ummat Islam
melepaskan diri dari keterikatan mazhab.
Ia berkeyakinan bahwa adalah tidak mungkin
untuk memahami maksud yang sebenarnya dari
ajaran-ajaran Al Qur’an dan Hadist tanpa
mempelajari pendapat-pendapat para ulama
besar yang tergabung dalam sistem mazhab.
Untuk menafsirkan Al Qur’an dan Hadist tanpa
mempelajari dan meneliti buku-buku para
ulama mazhab hanya akan menghasilkan
pemutarbalikan saja dari ajaran-ajaran Islam
yang sebenarnya, demikian tulis Dhofier. Dalam
hal tarekat, Hasyim tidak menganggap bahwa
semua bentuk praktek keagamaan waktu itu
salah dan bertentangan dengan ajaran Islam.
Hanya, ia berpesan agar ummat Islam berhati-
hati bila memasuki kehidupan tarekat. Dalam
perkembangannya, benturan pendapat antara
golongan bermazhab yang diwakili kalangan
pesantren (sering disebut kelompok tradisional)
, dengan yang tidak bermazhab (diwakili
Muhammadiyah dan Persis, sering disebut
kelompok modernis) itu memang kerap tidak
terelakkan.
Puncaknya adalah saat Konggres Al Islam IV
yang diselenggarakan di Bandung. Konggres itu
diadakan dalam rangka mencari masukan dari
berbagai kelompok ummat Islam, untuk dibawa
ke Konggres Ummat Islam di Mekkah. Karena
aspirasi golongan tradisional tidak tertampung
(di antaranya: tradisi bermazhab agar tetap
diberi kebebasan, terpeliharanya tempat-
tempat penting, mulai makam Rasulullah
sampai para sahabat) kelompok ini kemudian
membentuk Komite Hijaz.
Komite yang dipelopori KH Abdullah Wahab
Chasbullah ini bertugas menyampaikan aspirasi
kelompok tradisional kepada penguasa Arab
Saudi. Atas restu Kyai Hasyim, Komite inilah
yang pada 31 Februari l926 menjelma jadi
Nahdlatul Ulama (NU) yang artinya kebangkitan
ulama. Setelah NU berdiri posisi kelompok
tradisional kian kuat. Terbukti, pada 1937
ketika beberapa ormas Islam membentuk
badan federasi partai dan perhimpunan Islam
Indonesia yang terkenal dengan sebuta MIAI
(Majelis Islam A’la Indonesia) Kyai Hasyim
diminta jadi ketuanya. Ia juga pernah
memimpin Masyumi, partai politik Islam
terbesar yang pernah ada di Indonesia.
Penjajahan panjang yang mengungkung bangsa
Indonesia, menggugah kesadaran kaum
terpelajar untuk memperjuangkan martabat
bangsa, melalui jalan pendidikan dan
organisasi. Pada tahun 1908 muncul sebuah
gerakan yang kini disebut Gerakan Kebangkitan
Nasional.
Semangat Kebangkitan Nasional terus
menyebar ke mana-mana, sehingga muncullah
berbagai organisai pendidikan, sosial, dan
keagamaan, diantaranya Nahdlatul Wathan
(Kebangkitan Tanah Air) tahun 1916, dan
Taswirul Afkar tahun 1918 (dikenal juga dengan
Nahdlatul Fikri atau Kebangkitan Pemikiran).
Dari situ kemudian didirikan Nahdlatut Tujjar
(Pergerakan Kaum Saudagar). Serikat itu
dijadikan basis untuk memperbaiki
perekonomian rakyat. Dengan adanya Nahdlatul
Tujjar, maka Taswirul Afkar tampil sebagi
kelompok studi serta lembaga pendidikan yang
berkembang sangat pesat dan memiliki cabang
di beberapa kota. Tokoh utama dibalik
pendirian tafwirul afkar adalah, KH Abdul
Wahab Hasbullah (tokoh muda pengasuh PP.
Bahrul Ulum Tambakberas), yang juga murid
hadratus Syaikh. Kelompok ini lahir sebagai
bentuk kepedulian para ulama terhadap
tantangan zaman di kala itu, baik dalam
masalah keagamaan, pendidikan, sosial, dan
politik. Pada masa itu, Raja Saudi Arabia, Ibnu
Saud, berencana menjadikan madzhab Salafi-
Wahabi sebagai madzhab resmi Negara. Dia
juga berencana menghancurkan semua
peninggalan sejarah Islam yang selama ini
banyak diziarahi kaum Muslimin, karena
dianggap bid’ah. Di Indonesia, rencana
tersebut mendapat sambutan hangat kalangan
modernis seperti Muhammadiyah di bawah
pimpinan Ahmad Dahlan, maupun PSII di
bahwah pimpinan H.O.S. Tjokroaminoto .
Sebaliknya, kalangan pesantren yang
menghormati keberagaman, menolak dengan
alasan itu adalah pembatasan madzhab dan
penghancuran warisan peradaban itu.
Akibatnya, kalangan pesantren dikeluarkan dari
keanggotaan Kongres Al Islam serta tidak
dilibatkan sebagai delegasi dalam Mu’tamar
‘Alam Islami (Kongres Islam Internasional) di
Mekah, yang akan mengesahkan keputusan
tersebut. Didorong oleh semangat untuk
menciptakan kebebasan bermadzhab serta rasa
kepedulian terhadap pelestarian warisan
peradaban, maka Kyai Hasyim bersama para
pengasuh pesantren lainnya, membuat delegasi
yang dinamai Komite Hijaz. Komite yang
diketuai KH. Wahab Hasbullah ini datang ke
Saudi Arabia dan meminta Raja Ibnu Saud
untuk mengurungkan niatnya.
Pada saat yang hampir bersamaan, datang pula
tantangan dari berbagai penjuru dunia atas
rencana Ibnu Saud, sehingga rencana tersebut
digagalkan. Hasilnya, hingga saat ini umat
Islam bebas melaksanakan ibadah di Mekah
sesuai dengan madzhab masing-masing. Itulah
peran internasional kalangan pesantren
pertama, yang berhasil memperjuangkan
kebebasan bermadzhab dan berhasil
menyelamatkan peninggalan sejarah serta
peradaban yang sangat berharga.
Pendirian Nahdlatul Ulama (NU)
Tahun 1924, kelompok diskusi Taswirul Afkar
ingin mengembangkan sayapnya dengan
mendirikan sebuah organisasi yang ruang
lingkupnya lebih besar. Hadratus Syaikh KH.
Hasyim Asy’ari yang dimintai persetujuannya,
meminta waktu untuk mengerjakan salat
istikharah, menohon petunjuk dari Allah.
Dinanti-nanti sekian lama, petunjuk itu belum
datang juga. Kyai Hasyim sangat gelisah. Dalam
hati kecilnya ingin berjumpa dengan gurunya,
KH Kholil bin Abdul Latif, Bangkalan.
Sementara nun jauh di Bangkalan sana, Kyai
Khalil telah mengetahui apa yang dialami Kyai
Hasyim. Kyai Kholil lalu mengutus salah satu
orang santrinya yang bernama As’ad Syamsul
Arifin (kelak menjadi pengasuh PP Salafiyah
Syafiiyah Situbondo), untuk menyampaikan
sebuah tasbih kepada Kyai Hasyim di
Tebuireng. Pemuda As’ad juga dipesani agar
setiba di Tebuireng membacakan surat Thaha
ayat 23 kepada Kyai Hasyim.
Ketika Kyai Hasyim menerima kedatangan
As’ad, dan mendengar ayat tersebut, hatinya
langsung bergentar. ”Keinginanku untuk
membentuk jamiyah agaknya akan tercapai,”
ujarnya lirih sambil meneteskan airmata.
Waktu terus berjalan, akan tetapi pendirian
organisasi itu belum juga terealisasi. Agaknya
Kyai Hasyim masih menunggu kemantapan hati.
Satu tahun kemudian (1925), pemuda As’ad
kembali datang menemui Hadratus Syaikh.
”Kyai, saya diutus oleh Kyai Kholil untuk
menyampaikan tasbih ini,” ujar pemuda Asad
sambil menunjukkan tasbih yang dikalungkan
Kyai Kholil di lehernya. Tangan As’ad belum
pernah menyentuh tasbih sersebut, meskipun
perjalanan antara Bangkalan menuju Tebuireng
sangatlah jauh dan banyak rintangan. Bahkan ia
rela tidak mandi selama dalam perjalanan,
sebab khawatir tangannya menyentuh tasbih. Ia
memiliki prinsip, ”kalung ini yang menaruh
adalah Kyai, maka yang boleh melepasnya juga
harus Kyai”.
Inilah salah satu sikap ketaatan santri kepada
sang guru. ”Kyai Kholil juga meminta untuk
mengamalkan wirid Ya Jabbar, Ya Qahhar setiap
waktu,” tambah As’ad. Kehadiran As’ad yang
kedua ini membuat hati Kyai Hasyim semakin
mantap. Hadratus Syaikh menangkap isyarat
bahwa gurunya tidak keberatan jika ia bersama
kawan-kawannya mendirikan organisai/
jam’iyah. Inilah jawaban yang dinanti-nantinya
melalui salat istikharah. Sayangnya, sebelum
keinginan itu terwujud, Kyai Kholil sudah
meninggal dunia terlebih dahulu. Pada tanggal
16 Rajab 1344 H/31 Januari 1926M, organisasi
tersebut secara resmi didirikan, dengan nama
Nahdhatul Ulama’, yang artinya kebangkitan
ulama. Kyai Hasyim dipercaya sebagai Rais
Akbar pertama. Kelak, jam’iyah ini menjadi
organisasi dengan anggota terbesar di
Indonesia, bahkan di Asia.
Sebagaimana diketahui, saat itu (bahkan hingga
kini) dalam dunia Islam terdapat pertentangan
faham, antara faham pembaharuan yang
dilancarkan Muhammad Abduh dari Mesir
dengan faham bermadzhab yang menerima
praktek tarekat. Ide reformasi Muhammad
Abduh antara lain bertujuan memurnikan
kembali ajaran Islam dari pengaruh dan
praktek keagamaan yang bukan berasal dari
Islam, mereformasi pendidikan Islam di tingkat
universitas, dan mengkaji serta merumuskan
kembali doktrin Islam untuk disesuaikan
dengan kebutuhan kehidupan modern. Dengan
ini Abduh melancarakan ide agar umat Islam
terlepas dari pola pemikiran madzhab dan
meninggalkan segala bentuk praktek tarekat.
Semangat Abduh juga mempengaruhi
masyarakat Indonesia, kebanyakan di kawasan
Sumatera yang dibawa oleh para mahasiswa
yang belajar di Mekkah.
Sedangkan di Jawa dipelopori oleh KH. Ahmad
Dahlan melalui organisasi Muhammadiyah
(berdiri tahun 1912). Kyai Hasyim pada
prinsipnya menerima ide Muhammad Abduh
untuk membangkitkan kembali ajaran Islam,
akan tetapi menolak melepaskan diri dari
keterikatan madzhab. Sebab dalam
pandangannya, umat Islam sangat sulit
memahami maksud Al Quran atau Hadits tanpa
mempelajari kitab-kitab para ulama madzhab.
Pemikiran yang tegas dari Kyai Hasyim ini
memperoleh dukungan para Kyai di seluruh
tanah Jawa dan Madura. Kyai Hasyim yang saat
itu menjadi ”kiblat” para Kyai, berhasil
menyatukan mereka melalui pendirian
Nahdlatul Ulama’ ini. Pada saat pendirian
organisasi pergerakan kebangsaan membentuk
Majelis Islam ‘Ala Indonesia (MIAI), Kyai
Hasyim dengan putranya Kyai Wahid Hasyim,
diangkat sebagai pimpinannya (periode tahun
1937-1942).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar