Rabu, 17 Juli 2013

Biografi Abu Nawas

Nama asli Abu Nawas adalah Abu Ali al-Hasan
bin Hani al-Hakami. Dia dilahirkan pada 145 H
(747 M ) di kota Ahvaz di negeri Persia (Iran
sekarang), dengan darah dari ayah Arab dan
ibu Persia mengalir di tubuhnya. Abu Nawas
merupakan seorang pujangga Arab dan
dianggap sebagai salah satu penyair terbesar
sastra Arab klasik. Abu Nawas juga muncul
beberapa kali dalam kisah Seribu Satu Malam.
Ayahnya, Hani al-Hakam, merupakan anggota
legiun militer Marwan II. Sementara ibunya
bernama Jalban, wanita Persia yang bekerja
sebagai pencuci kain wol. Sejak kecil ia sudah
yatim. Sang ibu kemudian membawanya ke
Bashrah, Irak. Di kota inilah Abu Nawas belajar
berbagai ilmu pengetahuan.
Masa mudanya penuh perilaku kontroversial
yang membuat
Abu Nawas tampil sebagai tokoh yang unik
dalam khazanah sastra Arab Islam. Meski
begitu, sajak-sajaknya juga sarat dengan nilai
sprirtual, di samping cita rasa kemanusiaan
dan keadilan. Abu Nawas belajar sastra Arab
kepada Abu Zaid al-Anshari dan Abu Ubaidah.
Ia juga belajar Al-Quran kepada Ya'qub al-
Hadrami. Sementara dalam Ilmu Hadis, ia
belajar kepada Abu Walid bin Ziyad, Muktamir
bin Sulaiman, Yahya bin Said al-Qattan, dan
Azhar bin Sa'ad as-Samman.
Pertemuannya dengan penyair dari Kufah,
Walibah bin Habab al-Asadi, telah
memperhalus gaya bahasanya dan
membawanya ke puncak kesusastraan Arab.
Walibah sangat tertarik pada bakat Abu Nawas
yang kemudian membawanya kembali ke
Ahwaz, lalu ke Kufah. Di Kufah bakat Abu
Nawas digembleng. Ahmar menyuruh Abu
Nawas berdiam di pedalaman, hidup bersama
orang-orang Arab Badui untuk memperdalam
dan memperhalus bahasa Arab.
Kemudian ia pindah ke Baghdad. Di pusat
peradaban Dinasti Abbasyiah inilah ia
berkumpul dengan para penyair. Berkat
kehebatannya menulis puisi, Abu Nawas dapat
berkenalan dengan para bangsawan. Namun
karena kedekatannya dengan para bangsawan
inilah puisi-puisinya pada masa itu berubah,
yakni cenderung memuja dan menjilat
penguasa.
Dalam Al-Wasith fil Adabil 'Arabi wa Tarikhihi,
Abu Nawas digambarkan sebagai penyair
multivisi, penuh canda, berlidah tajam,
pengkhayal ulung, dan tokoh terkemuka
sastrawan angkatan baru. Namun sayang,
karya-karya ilmiahnya justru jarang dikenal di
dunia intelektual. Ia hanya dipandang sebagai
orang yang suka bertingkah lucu dan tidak
lazim. Kepandaiannya menulis puisi menarik
perhatian Khalifah Harun al-Rasyid. Melalui
musikus istana, Ishaq al-Wawsuli, Abu Nawas
dipanggil untuk menjadi penyair istana (sya'irul
bilad).
Sikapnya yang jenaka menjadikan perjalanan
hidupnya benar-benar penuh warna.
Kegemarannya bermain kata-kata dengan selera
humor yang tinggi seakan menjadi legenda
tersendiri dalam khazanah peradaban dunia.
Kedekatannya dengan kekuasaan juga pernah
menjerumuskannya ke dalam penjara. Pasalnya,
suatu ketika Abu Nawas membaca puisi Kafilah
Bani Mudhar yang dianggap menyinggung
Khalifah. Tentu saja Khalifah murka, lantas
memenjarakannya. Setelah bebas, ia berpaling
dari Khalifah dan mengabdi kepada Perdana
Menteri Barmak. Ia meninggalkan Baghdad
setelah keluarga Barmak jatuh pada tahun 803
M. Setelah itu ia pergi ke Mesir dan menggubah
puisi untuk Gubernur Mesir, Khasib bin Abdul
Hamid al-Ajami. Tetapi, ia kembali lagi ke
Baghdad setelah Harun al-Rasyid meninggal
dan digantikan oleh Al-Amin.
Sejak mendekam di penjara, syair-syair Abu
Nawas berubah, menjadi religius. Jika
sebelumnya ia sangat pongah dengan
kehidupan duniawi yang penuh glamor dan
hura-hura, kini ia lebih pasrah kepada
kekuasaan Allah.
Memang, pencapaiannya dalam menulis puisi
diilhami kegemarannya melakukan maksiat.
Tetapi, justru di jalan gelap itulah, Abu Nawas
menemukan nilai-nilai ketuhanan. Sajak-sajak
tobatnya bisa ditafisrkan sebagai jalan panjang
menuju Tuhan. Meski dekat dengan Sultan
Harun al-Rasyid, Abu Nawas tak selamanya
hidup dalam kegemerlapan duniawi. Ia pernah
hidup dalam kegelapan – tetapi yang justru
membawa keberkahan tersendiri.
Seorang sahabatnya, Abu Hifan bin Yusuf bin
Dayah, memberi kesaksian, akhir hayat Abu
Nawas sangat diwarnai dengan kegiatan ibadah.
Beberapa sajaknya menguatkan hal itu. Salah
satu bait puisinya yang sangat indah
merupakan ungkapan rasa sesal yang amat
dalam akan masa lalunya.
Mengenai tahun meningalnya, banyak versi
yang saling berbeda. Ada yang menyebutkan
tahun 190 H/806 M, ada pula yang 195H/810
M, atau 196 H/811 M. Sementara yang lain
tahun 198 H/813 M dan tahun 199 H/814 M.
Konon Abu Nawas meninggal karena dianiaya
oleh seseorang yang disuruh oleh keluarga
Nawbakhti – yang menaruh dendam kepadanya.
Ia dimakamkan di Syunizi di jantung Kota
Baghdad.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar