Jumat, 19 Juli 2013

Biografi KH Muhammad Dimyati (abuya dimyati) pandeglang banten

Muhammad Dimyati atau dikenal dengan Abuya
Dimyati adalah sosok yang kharismatis. Beliau
dikenal sebagai pengamal tarekat Syadziliyah
dan melahirkan banyak santri berkelas. Mbah
Dim begitu orang memangilnya.
Nama lengkapnya
Muhammad Dimyati bin Syaikh Muhammad
Amin. Dikenal sebagai ulama yang sangat
kharismatik. Muridnya ribuan dan tersebar
hingga mancanegara. Abuya dimyati orang
Jakarta biasa menyapa, dikenal sebagai sosok
yang sederhana dan tidak kenal menyerah.
Hampir seluruh kehidupannya didedikasikan
untuk ilmu dan dakwah.
Menelusuri kehidupan ulama Banten ini seperti
melihat warna-warni dunia sufistik. Perjalanan
spiritualnya dengan beberapa guru sufi seperti
Kiai Dalhar Watucongol. Perjuangannya yang
patut diteladani. Bagi masyarakat Pandeglang
Provinsi Banten Mbah Dim sosok sesepuh yang
sulit tergantikan. Lahir sekitar tahun 1919
dikenal pribadi bersahaja dan penganut tarekat
yang disegani.
Abuya Dimyati juga kesohor sebagai guru
pesantren dan penganjur ajaran Ahlusunah Wal
Jama’ah. Pondoknya di Cidahu, Pandeglang,
Banten tidak pernah sepi dari para tamu
maupun pencari ilmu. Bahkan menjadi tempat
rujukan santri, pejabat hingga kiai. Semasa
hidupnya, Abuya Dimyati dikenal sebagai
gurunya dari para guru dan kiainya dari para
kiai. Masyarakat Banten menjuluki beliau juga
sebagai pakunya daerah Banten. Abuya Dimyati
dikenal sosok ulama yang mumpuni. Bukan saja
mengajarkan ilmu syari’ah tetapi juga
menjalankan kehidupan dengan pendekatan
tasawuf. Abuya dikenalsebagai penganut tarekat
Naqsabandiyyah Qodiriyyah.
Tidak salah kalau sampai sekarang telah
mempunyai ribuan murid. Mereka tersebar di
seluruh penjuru tanah air bahkan luar negeri.
Sewaktu masih hidup , pesantrennya tidak
pernah sepi dari kegiatan mengaji. Bahkan
Mbah Dim mempunyai majelis khusus yang
namanya Majelis Seng. Hal ini diambil Dijuluki
seperti ini karena tiap dinding dari tempat
pengajian sebagian besar terbuat dari seng. Di
tempat ini pula Abuya Dimyati menerima tamu-
tamu penting seperti pejabat pemerintah
maupun para petinggi negeri. Majelis Seng
inilah yang kemudian dipakainya untuk
pengajian sehari-hari semenjak kebakaran
hingga sampai wafatnya.
Lahir dari pasangan H.Amin dan Hj. Ruqayah
sejak kecil memang sudah menampakan
kecerdasannya dan keshalihannya. Beliau
belajar dari satu pesantren ke pesantren
seperti Pesantren Cadasari, Kadupeseng
Pandeglang. Kemudian ke pesantren di
Plamunan hingga Pleret Cirebon.
Abuya berguru pada ulama-ulama sepuh di
tanah Jawa. Di antaranya Abuya Abdul Chalim,
Abuya Muqri Abdul Chamid, Mama Achmad
Bakri (Mama Sempur), Mbah Dalhar
Watucongol, Mbah Nawawi Jejeran Jogja, Mbah
Khozin Bendo Pare, Mbah Baidlowi Lasem,
Mbah Rukyat Kaliwungu dan masih banyak lagi.
Kesemua guru-guru beliau bermuara pada
Syech Nawawi al Bantani. Kata Abuya, para kiai
sepuh tersebut adalah memiliki kriteria
kekhilafahan atau mursyid sempurna, setelah
Abuya berguru, tak lama kemudian para kiai
sepuh wafat.
Kata Abuya, para kiai sepuh tersebut adalah
memiliki kriteria kekhilafahan atau mursyid
sempurna disamping sebagai pakunya negara
Indonesia. Setelah Abuya berguru, tak lama
kemudian para kiai sepuh wafat.
Ketika mondok di Watucongol, Abuya sudah
diminta untuk mengajar oleh Mbah Dalhar.
Satu kisah unik ketika Abuya datang pertama
ke Watucongol, Mbah Dalhar memberi kabar
kepada santri-santri besok akan datang ‘kitab
banyak’. Dan hal ini terbukti mulai saat masih
mondok di Watucongol sampai di tempat beliau
mondok lainya, hingga sampai Abuya menetap,
beliau banyak mengajar dan mengorek kitab-
kitab. Di pondok Bendo, Pare, Abuya lebih di
kenal dengan sebutan ‘Mbah Dim Banten’.
Karena, kewira’iannya di setiap pesantren yang
disinggahinya selalu ada peningkatan santri
mengaji.
Semasa hidupnya, Abuya Dimyati dikenal
sebagai gurunya dari para guru dan kiainya
dari para kiai. Masyarakat Banten menjuluki
beliau juga sebagai pakunya daerah Banten.
Saking pentingnya ngaji dan belajar, satu hal
yang sering disampaikan dan diingatkan Mbah
Dim adalah: “Jangan sampai ngaji ditinggalkan
karena kesibukan lain atau karena umur”.
Pesan ini sering diulang-ulang, seolah-olah
Mbah Dim ingin memberikan tekanan khusus;
jangan sampai ngaji ditinggal meskipun dunia
runtuh seribu kali!
Salah satu cerita karomah yang diceritakan Gus
Munir adalah, dimana ada seorang kyai dari
Jawa yang pergi ke Maqam Syeikh Abdul Qadir
al-Jailani di Irak. Ketika itu, kyai tersebut
merasa sangat bangga karena banyak kyai di
Indonesia paling jauh mereka ziarah adalah
maqam Nabi Muhammad SAW. Akan tetapi dia
dapat menziarahi sampai ke Maqam Syeikh
Abdul Qadir al-Jailani. ketika sampai di maqam
tersebut, maka penjaga maqam bertanya
padanya, “darimana kamu (Bahasa Arab)”.
si Kyai menjawab, “dari Indonesia”.
maka penjaganya langsung bilang, “oh di sini
ada setiap malam Jum’at seorang ulama
Indonesia yang kalau datang ziarah dan duduk
saja depan maqam, maka segenap penziarah
akan diam dan menghormati beliau, beliau
membaca al-Qur’an, maka penziarah lain akan
meneruskan bacaan mereka.”
Maka Kyai tadi kaget, dan berniat untuk
menunggu sampai malam Jum’at agar tahu
siapa sebenarnya ulama tersebut. Ternyata
pada hari yang ditunggu-tunggu, ulama
tersebut adalah Abuya Dimyati. Maka kyai
tersebut terus kagum, dan ketika pulang ke
Jawa, dia menceritakan bagaimana beliau
bertemu Abuya Dimyati di maqam Syeikh Abdul
Qadir al-Jailani (ketika itu Abuya masih di
pondok dan mengaji dengan santri-santrinya).
Di balik kemasyhuran nama Abuya, beliau
adalah orang yang sederhana dan bersahaja.
Kalau melihat wajah beliau terasa ada perasaan
‘adem’ dan tenteram di hati orang yang
melihatnya.
Abuya Dimyathi menempuh jalan spiritual yang
unik. Beliau secara tegas menyeru: “Thariqah
aing mah ngaji!” (Jalan saya adalah ngaji).
Sebab, tinggi rendahnya derajat keulamaan
seseorang bisa dilihat dari bagaimana ia
memberi penghargaan terhadap ilmu.
Sebagaimana yang termaktub dalam surat al-
Mujadilah ayat 11, bahwa Allah akan
meninggikan orang-orang yang beriman dan
orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan.
Dipertegas lagi dalam hadits nabi al-Ulama’u
waratsatul anbiya’, para ulama adalah pewaris
para nabi.
Ngaji sebagai sarana pewarisan ilmu. Melalui
ngaji, sunnah dan keteladanan nabi diajarkan.
Melalui ngaji, tradisi para sahabat dan tabi’in
diwariskan. Ahmad Munir berpendapat bahwa
ilmu adalah suatu keistimewaan yang
menjadikan manusia unggul atas makhluk lain
guna menjalankan fungsi kekhalifahannya.
Alam Spritual
Dibanding dengan ulama kebanyakan, Abuya
Dimyati ini menempuh jalan spiritual yang
unik. Dalam setiap perjalanan menuntut ilmu
dari pesantren yang satu ke pesantren yang
lain selalu dengan kegiatan Abuya mengaji dan
mengajar. Hal inipun diterapkan kepada para
santri. Dikenal sebagai ulama yang komplet
karena tidak hanya mampu mengajar kitab
tetapi juga dalam ilmu seni kaligrafi atau khat.
Dalam seni kaligrafi ini, Abuya mengajarkan
semua jenis kaligrafi seperti khufi, tsulust,
diwani, diwani jally, naskhy dan lain
sebagainya. Selain itu juga sangat mahir dalam
ilmu membaca al Quran.
Bagi Abuya hidup adalah ibadah. Tidak salah
kalau KH Dimyati Kaliwungu, Kendal Jawa
Tengah pernah berucap bahwa belum pernah
seorang kiai yang ibadahnya luar biasa.
Menurutnya selama berada di kaliwungu tidak
pernah menyia-nyiakan waktu. Sejak pukul 6
pagi usdah mengajar hingga jam 11.30. setelah
istirahat sejenak selepas Dzuhur langsung
mengajar lagi hingga Ashar. Selesai sholat ashar
mengajar lagi hingga Maghrib. Kemudian wirid
hingga Isya. Sehabis itu mengaji lagi hingga
pukul: 24 malam. Setelah itu melakukan
qiyamul lail hingga subuh.
Di sisi lain ada sebuah kisah menarik. Ketika
bermaksud mengaji di KH Baidlowi, Lasem.
Ketika bertemu dengannya, Abuya malah
disuruh pulang. Namun Abuya justru semakin
menggebu-gebu untuk menuntut ilmu. Sampai
akhirnya kiai Khasrtimatik itu menjawab, “Saya
tidak punya ilmu apa-apa.”
Sampai pada satu kesempatan, Abuya Dimyati
memohon diwarisi thariqah. KH Baidlowio pun
menjawab,”Mbah Dim, dzikir itu sudah
termaktub dalam kitab, begitu pula dengan
selawat, silahkan memuat sendiri saja, saya
tidak bisa apa-apa, karena tarekat itu adalah
sebuah wadzifah yang terdiri dari dzikir dan
selawat.” Jawaban tersebut justru membuat
Abuya Dimyati penasaran. Untuk kesekian
kalinya dirinya memohon kepada KH Baidlowi.
Pada akhirnya Kiai Baidlowi menyuruh Abuya
untuk sholat istikharah. Setelah melaksanakan
sholat tersebut sebanyak tiga kali, akhirnya
Abuya mendatangi KH Baidlowi yang kemudian
diijazahi Thariqat Asy Syadziliyah.
Abuya Dimyati Dipenjara
Mah Dim dikenal seagai salah satu orang yang
sangat teguh pendiriannya. Sampai-sampai
karena keteguhannya ini pernah dipenjara pada
zaman Orde Baru. Pada tahun 1977 Abuya
sempat difitnah dan dimasukkan ke dalam
penjara. Hal ini disebabkan Abuya sangat
berbeda prinsip dengan pemerintah ketika
terjadi pemilu tahun tersebut. Abuya dituduh
menghasut dan anti pemerintah. Abuya pun
dijatuhi vonis selama enam bulan. Namun
empat bulan kemudian Abuya keluar dari
penjara.
Ada beberapa kitab yang dikarang oleh Abuya
Dimyati. Diantaranya adalah Minhajul Ishthifa.
Kitab ini isinya menguraikan tentang hizib
Nashr dan hizib ikhfa. Dikarang pada bulan
Rajab H 1379/1959 M. Kemudian kitab Ashlul
Qodr yang didalamya khususiyat sahabat saat
perang Badr. Tercatat pula kitab Roshnul Qodr
isinya menguraikan tentang hizib Nashr.
Rochbul Qoir I dan II yang juga sama isinya
yaitu menguraikan tentang hizib Nashr.
Selanjutnya kitab Bahjatul Qolaid, Nadzam
Tijanud Darori. Kemudian kitab tentang tarekat
yang berjudul Al Hadiyyatul Jalaliyyah
didalamnya membahas tentang tarekat
Syadziliyyah.
Abuya Dimyati Dan Mbah Latifah El Dalhar
Ada cerita-cerita menarik seputar Abuya dan
pertemuannya dengan para kiai besar.
Disebutkan ketika bertemu dengen Kiai Dalhar
Watucongol Abuya sempat kaget. Hal ini
disebabkan selama 40 hari Abuya tidak pernah
ditanya bahkan dipanggil oleh Kiai Dalhar.
Tepat pada hari ke 40 Abuya dipanggil Mbah
Dalhar. “Sampeyan mau apa jauh-jauh datang
ke sini?” tanya kiai Dalhar.
Ditanya begitu Abuya pun menjawab, “Saya
mau mondok mbah.”
Kemudian Kiai Dalhar pun berkata, ”Perlu
sampeyan ketahui, bahwa disini tidak ada ilmu,
justru ilmu itu sudah ada pada diri sampeyan.
Dari pada sampeyan mondok di sini buang-
buang waktu, lebih baik sampeyan pulang lagi
ke Banten, amalkan ilmu yang sudah ada dan
syarahi kitab-kitab karangan mbah-mbahmu.
Karena kitab tersebut masih perlu diperjelas
dan sangat sulit dipahami oleh orang awam.”
Mendengar jawaban tersebut Abuya Dimyati
menjawab, ”Tujuan saya ke sini adalah untuk
mengaji, kok saya malah disuruh pulang lagi?
Kalau saya disuruh mengarang kitab, kitab apa
yang mampu saya karang?”
Kemudian Kiai Dalhar memberi saran,”Baiklah,
kalau sampeyan mau tetap di sini, saya mohon
ajarkanlah ilmu sampeyan kepada santri-santri
yang ada di sini dan sampeyan jangan punya
teman.” Kemudian Kiai Dalhar memberi ijazah
tareqat Syadziliyah kepada Abuya.
Karomah Abuya Dimyati
Salah satu cerita karomah yang diceritakan Gus
Munir adalah, dimana ada seorang kyai dari
Jawa yang pergi ke Maqam Syeikh Abdul Qadir
al-Jailani di Irak. Ketika itu, kyai tersebut
merasa sangat bangga karena tak banyak kyai
di Indonesia yang mengunjungi Irak, paling
jauh mereka ziarah adalah makam Nabi
Muhammad SAW. Akan tetapi dia dapat
menziarahi sampai ke Maqam Syeikh Abdul
Qadir al-Jailani. ketika sampai di maqam
tersebut, maka penjaga makam bertanya
padanya, “darimana kamu (Bahasa Arab)”.
Si Kyai menjawab, “dari Indonesia”.
Maka penjaganya langsung bilang, “oh di sini
ada setiap malam Jum’at seorang ulama
Indonesia yang kalau datang ziarah dan duduk
saja depan maqam, maka segenap penziarah
akan diam dan menghormati beliau, beliau
membaca al-Qur’an, maka penziarah lain akan
meneruskan bacaan mereka.”
Maka Kyai tadi kaget, dan berniat untuk
menunggu sampai malam Jum’at agar tahu
siapa sebenarnya ulama tersebut. Ternyata
pada hari yang ditunggu-tunggu, ulama
tersebut adalah Abuya Dimyati.
Maka kyai tersebut terus kagum, dan ketika
pulang ke Jawa, dia menceritakan bagaimana
beliau bertemu Abuya Dimyati di maqam
Syeikh Abdul Qadir al-Jailani (ketika itu Abuya
masih di pondok dan mengaji dengan santri-
santrinya).
Di balik kemasyhuran nama Abuya, beliau
adalah orang yang sederhana dan bersahaja.
Kalau melihat wajah beliau terasa ada perasaan
‘adem’ dan tenteram di hati orang yang
melihatnya.
Abuya Dimyati Wafat
Abuya Dimyati meninggalkan kita semua pada
Malam Jumat pahing, 3 Oktober 2003 M/07
Sya’ban 1424 H, sekitar pukul 03:00 wib umat
Muslim, khususnya warga Nahdlatul Ulama
telah kehilangan salah seorang ulamanya, KH.
Muhammad Dimyati bin KH. Muhammad Amin
Al-Bantani, di Cidahu, Cadasari, Pandeglang,
Banten dalam usia 78 tahun. Semoga amal
ibadah beliau di terima oleh Allah SWT dan
semoga kesalahan-kesalahan beliau juga di
ampuni oleh Allah SWT. Aamiin Yaa Rabbal
‘Aalamiin….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar