Jumat, 19 Juli 2013

Biografi KH Kholil bangkalan madura part II

Melanjutkan pembahasan sebelumnya
5. Belajar Secara Gaib
Mbah Kholil adalah guru utama yang mencetak
banyak ulama besar di Jawa Timur. Sampai
sekarang, meski sudah meninggal, banyak
ulama yang mengaku belajar secara gaib
dengan Mbah Kholil. Banyak cara dilakukan
untuk belajar kitab secara gaib dari ulama
tersohor ini. Salah satunya dengan berziarah
serta bermalam di makam beliau.
Seperti pernah dikisahkan KH. Anwar Siradj,
pengasuh PP Nurul Dholam Bangil Pasuruan.
Saat mempelajari kitab Alfiyah, beliau
mengalami kesulitan. Padahal, kitab yang
berupa gramatika Bahasa Arab tersebut,
merupakan kunci untuk mendalami kitab-kitab
lain.
KH. Anwar Siradj sudah mencoba berguru
kepada Kyai-Kyai besar di hampir semua
penjuru Jawa Timur. Tapi hasilnya nihil. Suatu
ketika, seperti dikisahkan Ustadz Muhammad
Salim (santri Nurul Dholam), KH. Anwar Siradj
dapat petunjuk, agar mempelajari kitab Alfiyah
di makam Mbah Kholil.
Petunjuk gaib itu pun dilaksanakan. Selama
sebulan penuh KH. Anwar Siradj ziarah di
makam Mbah Kholil Bangkalan. Di makam itu
dia mempelajari kitab Alfiyah. ”Akhirnya Kiai
Anwar bisa menghafal Alfiyah,” Jelas Ustadz
Salim.
Banyak ulama generasi sekarang yang meski
tidak pernah ketemu fisik dan bahkan lahirnya
jauh sesudah Mbah Kholil meninggal, mengakui
kalau perintis dakwah di Pulau Madura ini
adalah guru mereka. Bukan guru secara fisik,
melainkan pembimbing secara batin.
6. Berguru dalam Mimpi
Pada waktu Mbah Kholil masih muda, ada
seorang Kyai yang terkenal di daerah Wilungan,
Pasuruan bernama Abu Darrin. Kealimannya
tidak hanya terbatas di lingkungan Pasuruan,
tetapi sudah menyebar ke berbagai daerah lain,
termasuk Madura.
Mbah Kholil muda yang mendengar ada ulama
yang mumpuni itu, terbetik di hatinya ingin
menimba ilmunya. Setelah segala perbekalan
dipersiapkan, maka berangkatlah Mbah Kholil
muda ke pesantren Abu Darrin dengan harapan
dapat segera bertemu dengan ulama yang
dikagumi itu. Tetapi alangkah sedihnya ketika
dia sampai di Pesantren Wilungan, ternyata
Kyai Abu Darrin telah meninggal dunia
beberapa hari sebelumnya. Hatinya dirundung
duka dengan kepergian Kyai Abu Darrin.
Namun karena tekad belajarnya sangat
menggelora maka Mbah Kholil muda segera
sowan ke makam Kyai Abu Darrin.
Setibanya di makam Abu Darrin, Mbah Kholil
muda lalu mengucapkan salam lalu berkata:
“Bagaimana saya ini Kyai, saya masih ingin
berguru pada Kyai, tetapi Kyai sudah
meninggal,” desah Mbah Kholil muda sambil
menangis.
Mbah Kholil muda lalu mengambil sebuah
mushaf Al-Quran. Kemudian bertawassul
dengan membaca Al-Quran terus-menerus
sampai 41 hari lamanya. Pada hari ke-41 tiba-
tiba datanglah Kyai Abu Darrin dalam
mimpinya. Dalam mimpi itu, Kyai Abu Darrin
mengajarkan beberapa ilmunya kepada Mbah
Kholil muda. Setelah dia bangun dari tidurnya,
lalu Mbah Kholil muda serta-merta dapat
menghafal kitab Imriti, Kitab Asmuni dan
Alfiyah.
7. Didatangi Macan
Suatu hari di bulan Syawal. Mbah Kholil tiba-
tiba memanggil santrinya. “Anak-anakku, sejak
hari ini kalian harus memperketat penjagaan
pondok pesantren. Pintu gerbang harus
senantiasa dijaga, sebentar lagi akan ada
macan masuk ke pondok kita ini,” Kata Mbah
Kholil agak serius.
Mendengar tutur guru yang sangat dihormati
itu, segera para santri mempersiapkan diri.
Waktu itu sebelah timur Bangkalan memang
terdapat hutan-hutan yang cukup lebat dan
angker. Hari demi hari, penjagaan semakin
diperketat, tetapi macan yang ditunggu-tunggu
itu belum tampak juga. Memasuki minggu
ketiga, datanglah ke pesantren seorang pemuda
kurus, tidak berapa tinggi, berkulit kuning
langsat sambil menenteng kopor seng.
Sesampainya di depan pintu rumah Mbah
Kholil, lalu mengucap salam. Mendengar salam
itu, bukan jawaban salam yang diterima, tetapi
Kyai malah berteriak memanggil santrinya: “Hei
santri semua, ada macan….macan.., ayo kita
kepung. Jangan sampai masuk ke pondok,” Seru
Mbah Kholil bak seorang komandan di medan
perang.
Mendengar teriakan Kyai kontan saja semua
santri berhamburan, datang sambil membawa
apa yang ada, pedang, clurit, tongkat, pacul
untuk mengepung pemuda yang baru datang
tadi yang mulai nampak kelihatan pucat. Tidak
ada pilihan lagi kecuali lari seribu langkah.
Namun karena tekad ingin nyantri ke Mbah
Kholil begitu menggelora, maka keesokan
harinya mencoba untuk datang lagi. Begitu
memasuki pintu gerbang pesantren, langsung
disongsong dengan usiran ramai-ramai.
Demikian juga keesokan harinya. Baru pada
malam ketiga, pemuda yang pantang mundur
ini memasuki pesantren secara diam-diam
pada malam hari. Karena lelahnya pemuda itu,
yang disertai rasa takut yang mencekam,
akhirnya tertidur di bawah kentongan surau.
Secara tidak diduga, tengah malam Mbah
Kholil datang dan membantu
membangunkannya. Karuan saja dimarahi
habis-habisan. Pemuda itu dibawa ke rumah
Mbah Kholil. Setelah berbasa-basi dengan
seribu alasan. Baru pemuda itu merasa lega
setelah resmi diterima sebagai santri Mbah
Kholil. Pemuda itu bernama Abdul Wahab
Chasbullah. Kelak kemudian hari santri yang
diisyaratkan macan itu, dikenal dengan nama
KH. Wahab Chasbullah, seorang Kyai yang
sangat alim, jagoan berdebat, pembentuk
komite Hijaz, pembaharu pemikiran. Kehadiran
KH. Wahab Chasbullah di mana-mana selalu
berwibawa dan sangat disegani baik kawan
maupun lawan bagaikan seekor macan, seperti
yang diisyaratkan Mbah Kholil.
8. Santri Mimpi dengan Wanita
Pada suatu hari menjelang pagi, santri bernama
Bahar dari Sidogiri merasa gundah, dalam
benaknya tentu pagi itu tidak bisa shalat
Shubuh berjamaah. Ketidakikutsertaan Bahar
shalat Shubuh berjamaah bukan karena malas,
tetapi disebabkan halangan junub. Semalam
Bahar bermimpi tidur dengan seorang wanita.
Sangat dipahami kegundahan Bahar. Sebab
wanita itu adalah istri Mbah Kholil, gurunya.
Menjelang subuh, terdengar Mbah Kholil marah
besar sambil membawa sebilah pedang seraya
berucap: “Santri kurang ajar.., santri kurang
ajar….!”
Para santri yang sudah naik ke masjid untuk
sholat berjamaah merasa heran dan tanda
tanya, apa dan siapa yang dimaksud santri
kurang ajar itu.
Shubuh itu Bahar memang tidak ikut shalat
berjamaah, tetapi bersembunyi di belakang
pintu masjid. Seusai shalat Shubuh berjamaah,
Mbah Kholil menghadapkan wajahnya kepada
semua santri seraya bertanya: “Siapa santri
yang tidak ikut berjamaah?” Ucap Mbah Kholil
dengan nada menyelidik.
Semua santri merasa terkejut, tidak menduga
akan mendapat pertanyaan seperti itu. Para
santri menoleh ke kanan-kiri, mencari tahu
siapa yang tidak hadir. Ternyata yang tidak
hadir waktu itu hanyalah Bahar. Kemudian
Mbah Kholil memerintahkan mencari Bahar
dan dihadapkan kepadanya. Setelah
diketemukan lalu dibawa ke masjid.
Mbah Kholil menatap tajam-tajam kepada
Bahar seraya berkata: “Bahar, karena kamu
tidak hadir shalat Shubuh berjamaah maka
harus dihukum. Tebanglah dua rumpun bambu
di belakang pesantren dengan petok ini,”
Perintah Mbah Kholil.
Petok adalah sejenis pisau kecil, dipakai
menyabit rumput. Setelah menerima perintah
itu, segera Bahar melaksanakan dengan tulus.
Dapat diduga bagaimana Bahar menebang dua
rumpun bambu dengan suatu alat yang sangat
sederhana sekali, tentu sangat kesulitan dan
memerlukan tenaga serta waktu yang lama
sekali. Hukuman ini akhirnya diselesaikan
dengan baik.
“Alhamdulillah, sudah selesai Kyai,” Ucap
Bahar dengan sopan dan rendah hati.
“Kalau begitu, sekarang kamu makan nasi yang
ada di nampan itu sampai habis!” Perintah Kyai
kepada Bahar.
Sekali lagi santri Bahar dengan patuh menerima
hukuman dari Mbah Kholil. Setelah Bahar
melaksanakan hukuman yang kedua, santri
Bahar lalu disuruh makan buah-buahan sampai
habis yang ada di nampan yang telah tersedia.
Mendengar perintah ini santri Bahar melahap
semua buah-buahan yang ada di nampan itu.
Setelah itu santri Bahar diusir oleh Mbah Kholil
seraya berucap: “Hai santri, semua ilmuku
sudah dicuri oleh orang ini,” Ucap Mbah Kholil
sambil menunjuk ke arah Bahar.
Dengan perasaan senang dan mantap santri
Bahar pulang meninggalkan pesantren Mbah
Kholil menuju kampung halamannya. Memang
benar, tak lama setelah itu, santri yang
mendapat isyarat mencuri ilmu Mbah Kholil
itu, menjadi Kyai yang sangat alim, yang
memimpin sebuah pondok pesantren besar di
Jawa Timur. Kyai beruntung itu bernama Kyai
Bahar, seorang Kyai besar dengan ribuan santri
yang diasuhnya di Pondok Pesantren Sidogiri,
Pasuruan, Jawa Timur.
9. Orang Arab dan Macan Tutul
Suatu hari menjelang shalat Maghrib, seperti
biasanya Mbah Kholil mengimami jamaah
shalat bersama para santri Kedemangan.
Bersamaan dengan Mbah Kholil mengimami
shalat, tiba-tiba kedatangan tamu berbangsa
Arab. Orang Madura menyebutnya Habib.
Seusai melaksanakan shalat, Mbah Kholil
menemui tamunya, termasuk orang Arab yang
baru datang itu.
Sebagai orang Arab yang mengetahui kefasihan
Bahasa Arab, Habib menghampiri Mbah Kholil
seraya berucap: “Kyai, bacaan Al-Fatihah
Antum (Anda) kurang fasih,” Tegur Habib.
Setelah berbasa-basi beberapa saat, Habib
dipersilahkan mengambil wudhu untuk
melaksanakan shalat Maghrib. Tempat wudhu
ada di sebelah masjid itu. “Silakan ambil wudhu
di sana,” Ucap Mbah Kholil sambil
menunjukkan arah tempat wudhu.
Baru saja selesai wudhu, tiba-tiba sang Habib
dikejutkan dengan munculnya macan tutul.
Habib terkejut dan berteriak dengan bahasa
Arabnya yang fasih, untuk mengusir macan
tutul yang makin mendekat itu. Meskipun
Habib mengucapkan bahasa Arab sangat fasih
untuk mengusir macan tutul, namun macan itu
tidak pergi juga.
Mendengar ribut-ribut di sekitar tempat wudhu
Mbah Kholil datang menghampiri. Melihat ada
macan yang tampaknya penyebab keributan
itu, Mbah Kholil mengucapkan sepatah dua
patah kata yang kurang fasih. Anehnya, sang
macan yang mendengar kalimat yang
dilontarkan Mbah Kholil yang nampaknya
kurang fasih itu, macan tutul bergegas
menjauh. Dengan kejadian ini, sang Habib
paham bahwa sebetulnya Mbah Kholil
bermaksud memberi pelajaran kepada dirinya,
bahwa suatu ungkapan bukan terletak antara
fasih dan tidak fasih, melainkan sejauh mana
penghayatan makna dalam ungkapan itu.
10. Jawaban Mbah Kholil kepada Tamunya
Suatu Ketika Habib Jindan bin Salim berselisih
pendapat dengan seorang ulama, manakah
pendapat yang paling sahih dalam ayat ‘Maaliki
yaumiddin’, Maliki-nya dibaca ‘Maaliki’ (dengan
memakai alif setelah mim), ataukah
‘Maliki’ (tanpa alif). Setelah berdebat tidak ada
titik temu. Akhirnya sepakat untuk sama-sama
datang ke Kyai Keramat, Mbah Kholil
Bangkalan.
Ketika itu Kyai yang jadi maha guru para Kyai
pulau Jawa itu sedang duduk di dalam mushala.
Saat rombongan Habib Jindan sudah dekat ke
Mushala sontak saja Mbah Kholil berteriak:
“Maaliki yaumiddin ya Habib, Maaliki
yaumiddin Habib,” Teriak Kyai Kholil Bangkalan
menyambut kedatangan Habib Jindan.
Tentu saja dengan ucapan selamat datang yang
aneh itu, sang Habib tak perlu bersusah payah
menceritakan soal sengketa Maliki Yaumiddin
ataukah Maaliki Yaumiddin itu. Demikian yang
diceritakan Habib Luthfi bin Yahya ketika
menjelaskan perbendaan pendapat ulama
dalam bacaan ayat itu pada Tafsir ath-Thabari.
11. Tongkat Mbah Kholil dan Sumber Mata Air
Suatu hari Mbah Kholil berjalan ke arah selatan
Bangkalan. Beberapa santri menyertainya.
Setelah berjalan cukup jauh, tepatnya sampai
di desa Langgundi, tiba-tiba Mbah Kholil
menghentikan perjalanannya. Setelah melihat
tanah di hadapannya, dengan serta-merta
Mbah Kholil menancapkan tongkatnya ke tanah.
Dari arah lobang bekas tancapan Mbah Kholil
tadi, memancarlah sumber air yang sangat
jernih. Semakin lama semakin besar. Bahkan
karena terus membesar, sumber air tersebut
akhirnya menjadi kolam yang bisa dipakai
untuk minum dan mandi. Kolam yang
bersejarah itu sampai sekarang masih ada.
Orang Madura menamakannya Kolla Al-Asror
Langgundi. Letaknya sekitar 1 km sebelah
Selatan kompleks pemakaman Mbah Kholil
Bangkalan.
Silsilah Nasab Mbah Kholil
Mbah Kholil (KH. Muhammad Kholil Bangkalan
Al-Maduri) adalah titisan beberapa wali yang
tergabung dalam Walisongo, Yaitu Sunan
Ampel, Sunan Giri, Sunan Gunung Jati dan
Sunan Kudus, yang mana mereka bermarga
“Azmatkhan” dan bersambung pada Sayyid
Alawi Ammil Faqih bin Muhammad Shahib
Mirbath. Beliau juga bernasab pada keluarga
Basyaiban yang bersambung pada Al-Imam
Muhammad Al-Faqih Al-Muqaddam bin Ali bin
Muhammad Shahib Mirbath Al-Alawi Al-
Husaini.
KH. Muhammad Kholil bin KH. Abdul Lathif bin
Kyai Hamim bin Kyai Abdul Karim bin Kyai
Muharram bin Kyai Asror Karomah bin Kyai
Abdullah bin Sayyid Sulaiman. Sayid Sulaiman
adalah cucu Syarif Hidayatullah atau Sunan
Gunung Jati Cirebon. Syarif Hidayatullah itu
putera Sultan Umdatuddin Umdatullah
Abdullah yang memerintah di Cam (Campa).
Ayahnya adalah Sayyid Ali Nurul Alam bin
Sayyid Jamaluddin Al-Kubra.
Berikut ini adalah silsilah nasab Mbah Kholil.
Terlebih dahulu saya tulis silsilah jalur laki-laki
yang bersambung pada Sunan Kudus, untuk
menunjukkan hak beliau dalam menggunakan
nama belakang (marga/fam) “Azmatkhan Al-
Alawi Al-Husaini”, sesuai dengan adat dan
istilah pernasaban bangsa Arab.
• Jalur Sunan Kudus
1. Mbah Kholil (Syeikh Muhammad Kholil)
Bangkalan.
2. Kyai Abdul Lathif. Dimakamkan di
Bangkalan.
3. Kyai Hamim. Dimakamkan di Tanjung Porah,
Lomaer, Bangkalan.
4. Kyai Abdul Karim.
5. Kyai Muharram. Dimakamkan di Banyo Ajuh,
Bangkalan.
6. Kyai Abdul Azhim. Dimakamkan di Tambak
Agung, Sukalela, Labeng, Bangkalan.
7. Kyai Sulasi. Dimakamkan di Petapan, Trageh,
Bangkalan.
8. Kyai Martalaksana. Dimakamkan di Banyu
Buni, Gelis, Bangkalan.
9. Kyai Badrul Budur. Dimakamkan di Rabesan,
Dhuwwek Buter, Kuayar, Bangkalan.
10. Kyai Abdur Rahman (Bhujuk Lek-palek).
Dimakamkan di Kuanyar, Bangkalan.
11. Kyai Khatib. Ada yang menulisnya “Ratib”.
Dimakamkan di Pranggan, Sumenep.
12. Sayyid Ahmad Baidhawi (Pangeran Ketandar
Bangkal). Dimakamkan di Sumenep.
13. Sayyid Shaleh (Panembahan Pakaos).
Dimakamkan di Ampel Surabaya.
14. Sayyid Ja’far Shadiq (Sunan Kudus).
Dimakamkan di Kudus.
15. Sayyid Utsman Haji (Sunan Ngudung).
Dimakamkan di Kudus.
16. Sayyid Fadhal Ali Al-Murtadha (Raden
Santri /Raja Pandita). Dimakamkan di Gresik.
17. Sayyid Ibrahim (Asmoro). Dimakamkan di
Tuban.
18. Sayyid Husain Jamaluddin. Dimakamkan di
Bugis.
19. Sayyid Ahmad Syah Jalaluddin.
Dimakamkan di Naseradab, India.
20. Sayyid Abdullah. Dimakamkan di
Naserabad, India.
21. Sayyid Abdul Malik Azmatkhan.
Dimakamkan di Naserabad, India.
22. Sayyid Alawi ‘Ammil Faqih. Dimakamkan di
Tarim, Hadramaut, Yaman.
23. Sayyid Muhammad Shahib Mirbath.
Dimakamkan di Zhifar, Hadramaut, Yaman.
24. Sayyid Ali Khali’ Qasam. Dimakamkan di
Tarim, Hadramaut, Yaman.
25. Sayyid Alawi. Dimakamkan di Bait Jabir,
Hadramaut, Yaman.
26. Sayyid Muhammad. Dimakamkan di Bait
Jabir, Hadramaut, Yaman.
27. Sayyid Alawi. Dimakamkan di Sahal, Yaman.
28. Sayyid Abdullah/Ubaidillah. Dimakamkan di
Hadramaut, Yaman.
29. Al-Imam Ahmad Al-Muhajir . Dimakamkan
di Al-Husayyisah, Hadramaut, Yaman.
30. Sayyid Isa An-Naqib. Dimakamkan di
Bashrah, Iraq.
31. Sayyid Muhammad An-Naqib. Dimakamkan
di Bashrah, Iraq.
32. Al-Imam Ali Al-Uradhi. Dimakamkan di Al-
Madinah Al-Munawwarah.
33. Al-Imam Ja’far Ash-Shadiq. Dimakamkan di
Al-Madinah Al-Munawwarah.
34. Al-Imam Muhammad Al-Baqir. Dimakamkan
di Al-Madinah Al-Munawwarah.
35. Al-Imam Ali Zainal Abidin. Dimakamkan di
Al-Madinah Al-Munawwarah.
36. Sayyidina Husain bin Ali bin Abi Thalib.
Dimakamkan di Karbala, Iraq.
37. Sayyidatina Fathimah Az-Zahra’ binti
Sayyidina Muhammad Rasulullah. Dimakamkan
di Madinah Al-Munawwarah
Maka, dari jalur Sunan Kudus, Mbah Kholil
adalah generasi ke-37 dari Rasulullah Saw.
• Jalur Sunan Ampel
1. Mbah Kholil (Syeikh Muhammad Kholil)
Bangkalan.
2. Kyai Abdul Lathif. Dimakamkan di
Bangkalan.
3. Kyai Hamim. Dimakamkan di Tanjung Porah,
Lomaer, Bangkalan.
4. Kyai Abdul Karim.
5. Kyai Muharram. Dimakamkan di Banyo Ajuh,
Bangkalan.
6. Kyai Abdul Azhim. Dimakamkan di Tambak
Agung, Sukalela, Labeng, Bangkalan.
7. Nyai Tepi Sulasi (Istri Kyai Sulasi).
Dimakamkan di Petapan, Trageh, Bangkalan.
8. Nyai Komala. Dimakamkan di Kuanyar,
Bangkalan.
9. Sayyid Zainal Abidin (Sunan Cendana).
Dimakamkan di Kuanyar, Bangkalan.
10. Sayyid Muhammad Khathib (Raden
Bandardayo). Dimakamkan di Sedayu Gresik.
11. Sayyid Musa (Sunan Pakuan). Dimakamkan
di Dekat Gunung Muria Kudus. Dalam sebagian
catatan nama Musa ini tidak tertulis.
12. Sayyid Qasim (Sunan Drajat). Dimakamkan
di Drajat, Paciran Lamongan.
13. Sayyid Ahmad Rahmatullah (Sunan Ampel).
Dimakamkan di Ampel, Surabaya.
14. Sayyid Ibrahim Asmoro Tuban. Disini nasab
Nyai Sulasi dan Kyai Sulasi bertemu.
Maka, melalui jalur Sunan Ampel, Mbah Kholil
adalah generasi ke-34 dari Rasulullah Saw.
• Jalur Sunan Giri
1. Mbah Kholil (Syeikh Muhammad Kholil)
Bangkalan.
2. Kyai Abdul Lathif. Dimakamkan di
Bangkalan.
3. Kyai Hamim. Dimakamkan di Tanjung Porah,
Lomaer, Bangkalan.
4. Kyai Abdul Karim.
5. Kyai Muharram. Dimakamkan di Banyo Ajuh,
Bangkalan.
6. Kyai Abdul Azhim. Dimakamkan di Tambak
Agung, Sukalela, Labeng, Bangkalan.
7. Nyai Tepi Sulasi (Istri Kyai Sulasi).
Dimakamkan di Petapan, Trageh, Bangkalan.
8. Nyai Komala. Dimakamkan di Kuanyar,
Bangkalan.
9. Sayyid Zainal Abidin (Sunan Cendana).
Dimakamkan di Kuanyar, Bangkalan.
10. Nyai Gede Kedaton (istri Sayyid
Muhammad Khathib). Dimakamkan di Giri,
Gresik.
11. Panembahan Kulon. Dimakamkan di Giri,
Gresik.
12. Sayyid Muhammad Ainul Yaqin (Sunan Giri)
. Dimakamkan di Giri, Gresik.
13. Maulana Ishaq. Dimakamkan di Pasai.
14. Sayyid Ibrahim Asmoro Tuban. Di sini
nasab Nyai Gede Kedaton dan Sayyid
Muhammad Khathib bertemu.
Maka, melalui jalur Sunan Giri, Mbah Kholil
adalah generasi ke-34 dari Rasulullah Saw.
• Jalur Sunan Gunung Jati
1. Mbah Kholil (Syeikh Muhammad Kholil)
Bangkalan.
2. Kyai Abdul Lathif. Dimakamkan di
Bangkalan.
3. Nyai Khadijah (Istri Kyai Hamim).
Dimakamkan di Bangkalan.
4. Kyai Asror Karomah.
5. Sayyid Abdullah.
6. Sayyid Ali Al-Akbar.
7. Sayyid Sulaiman. Dimakamkan di Mojo
Agung, Jombang.
8. Syarifah Khadijah.
9. Maulana Hasanuddin. Dimakamkan di
Banten.
10. Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati).
Dimakamkan di Cirebon.
11. Sayyid Abdullah Umdatuddin.
12. Sayyid Ali Nuruddin/Nurul Alam.
13. Sayyid Husain Jamaluddin Bugis. Di sini
nasab Nyai Khadijah dan Kyai Hamim Kholil
bertemu.
Maka, melalui jalur Sunan Gunung Jati, Mbah
Kholil adalah generasi ke-32 dari Rasulullah
Saw.
• Jalur Basyaiban
1. Mbah Kholil (Syeikh Muhammad Kholil)
Bangkalan.
2. Kyai Abdul Lathif. Dimakamkan di
Bangkalan.
3. Nyai Khadijah (Istri Kyai Hamim).
Dimakamkan di Bangkalan.
4. Kyai Asror Karomah.
5. Sayyid Abdullah.
6. Sayyid Ali Al-Akbar.
7. Sayyid Sulaiman. Dimakamkan di Mojo
Agung, Jombang.
8. Sayyid Abdurrahman (Suami Syarifah
Khadijah binti Hasanuddin).
9. Sayyid Umar.
10. Sayyid Muhammad.
11. Sayyid Abdul Wahhab.
12. Sayyid Abu Bakar Basyaiban.
13. Sayyid Muhammad.
14. Sayyid Hasan At-Turabi
15. Sayyid Ali.
16. Al-Imam Muhammad Al-Faqih Al-
Muqaddam.
17. Sayyid Ali.
18. Sayyid Muhammad Shahib Mirbat. Di sini
nasab keluarga Azmatkhan dan Basyaiban
bertemu.
Maka, melalui jalur Sayyid Abdurrahman
Basyaiban, Mbah Kholil adalah generasi ke-32
dari Rasulullah Saw.
Demikianlah nasab Mbah Kholil dengan
berbagai jalur yang saya dapatkan sampai saat
ini, bisa jadi suatu hari nanti kita menemukan
nama-nama baru daripada istri-istri jalur laki-
laki yang ada itu.
Dalam hal pencatatan nasab, ada satu hal yang
cukup membanggakan bagi Kyai-Kyai Jawa dan
Madura. Berkat gabungan antara adat Arab
dalam menjaga silsilah dan adat Jawa/Madura
yang tidak membeda-bedakan garis laki-laki
dan perempuan, akhirnya Kyai-Kyai Jawa/
Madura banyak yang memiliki silsilah lengkap
dari berbagai jalur.
Hal ini pernah ditunjukkan kepada seorang
Syeikh dari Yaman, beliau merasa kagum
karena banyak jalur perempuan yang juga
dicatat dalam silsilah itu selain jalur laki-laki,
karena pada umumnya, orang Arab tidak tahu
nama-nama kakek-buyutnya yang dari jalur ibu
atau jalur nenek, mereka hanya mengenal yang
jalur ayah ke atas dengan garis laki-laki.
Kiprahnya dalam Pembentukan NU
Peran Mbah Kholil dalam melahirkan NU pada
dasarnya tidak dapat diragukan lagi. Hal ini
didukung dari suksesnya salah satu dari
muridnya, KH. Hasyim Asy’ari, menjadi tokoh
dan panutan masyarakat NU. Namun demikian,
satu yang perlu digarisbawahi bahwa Mbah
Kholil bukanlah tokoh sentral dari NU, karena
tokoh tersebut tetap pada KH. Hasyim Asy’ari
sendiri.
Mengulas kembali ringkasan sejarah mengenai
pembentukan NU, ini berawal pada tahun
1924, saat di Surabaya terdapat sebuah
kelompok diskusi yang bernama Tashwirul
Afkar (potret pemikiran), yang didirikan oleh
salah seorang Kyai muda yang cukup ternama
pada waktu itu: KH. Wahab Chasbullah.
Kelompok ini lahir dari kepedulian para ulama
terhadap gejolak dan tantangan yang di hadapi
umat Islam kala itu, baik mengenai praktik-
praktik keagamaan maupun dalam bidang
pendidikan dan politik.
Pada perkembangannya kemudian, peserta
kelompok diskusi ingin mendirikan Jam’iyah
(organisasi) yang ruang lingkupnya lebih besar
daripada hanya sebuah kelompok diskusi.
Maka, dalam berbagai kesempatan, Kyai Wahab
selalu menyosialisasikan ide untuk mendirikan
Jam’iyah itu. Dan hal ini tampaknya tidak ada
persoalan, sehingga diterima dengan cukup
baik ke semua lapisan. Tak terkecuali dari KH.
Hasyim Asy’ari, Kyai yang paling berpengaruh
pada saat itu.
Namun, KH. Hasyim Asy’ari awalnya tidak
serta-merta menerima dan merestui ide
tersebut. Terbilang hari dan bulan, KH. Hasyim
Asy’ari melakukan shalat istikharah untuk
memohon petunjuk Allah, namun petunjuk itu
tak kunjung datang.
Sementara itu, Mbah Kholil, guru KH. Hasyim
Asy’ari, yang juga guru KH. Wahab Chasbullah,
diam-diam mengamati kondisi itu, dan ternyata
ia langsung tanggap, dan meminta seorang
santri yang masih terbilang cucunya sendiri,
dipanggil untuk menghadap kepadanya.
“Saat ini Kyai Hasyim sedang resah, antarkan
dan berikan tongkat ini kepadanya!” Kata Mbah
Kholil sambil menyerahkan sebuah tongkat.
“Baik, Kyai,” Jawab As’ad sambil menerima
tongkat itu.
“Bacakanlah kepada Kyai Hasyim ayat-ayat ini:
Wamaa tilka biyamiinika yaa Muusaa, Qaala
hiya ‘ashaaya atawakka-u ‘alaihaa wa abusyyu
bihaa ‘alaa ghanami waliya fiihaa ma-aaribu
ukhraa. Qaala alqihaa yaa Muusa. Fa-alqahaa
faidzaa hiya hayyatun tas’aa. Qaala Khudzhaa
wa laa takhaf sanu’iiduhaa shirathal uulaa
wadhumm yadaka ila janaahika takhruj
baidhaa-a min ghairi suu-in aayatan ukhraa
linuriyaka min aayatil kubraa,” Pesan Mbah
Kholil.
As’ad segera pergi ke Tebu Ireng, ke kediaman
Kyai Hasyim, dan di situlah berdiri pesantren
yang diasuh oleh Kyai Hasyim. Mendengar ada
utusan Mbah Kholil datang, Kyai Hasyim
menduga pasti ada sesuatu, dan ternyata
dugaan tersebut benar adanya.
“Kyai, saya diutus Kyai Kholil untuk
mengantarkan dan menyerahkan tongkat ini
kepada Kyai,” Kata As’ad, pemuda berusia
sekitar 27 tahun itu, sambil mengeluarkan
sebuah tongkat, dan Kiai Hasyim langsung
menerimanya dengan penuh perasaan.
“Ada lagi yang harus kau sampaikan?” Tanya
Kyai Hasyim.
“Ada Kyai,” Jawab As’ad. Kemudian ia
menyampaikan ayat yang disampaikan Mbah
Kholil.
Mendengar ayat yang dibacakan As’ad, hati
Kyai Hasyim tergetar. Matanya menerawang,
terbayang wajah Mbah Kholil yang tua dan
bijak. Kyai Hasyim menangkap isyarat, bahwa
gurunya tidak keberatan kalau ia dan teman-
temannya mendirikan Jam’iyah. Sejak saat itu,
keinginan untuk mendirikan Jam’iyah semakin
dimatangkan.
Hari berganti hari, bulan berganti bulan,
setahun telah berlalu, namun Jam’iyah yang
diidamkan itu tak kunjung lahir. Sampai pada
suatu hari, pemuda As’ad muncul lagi.
“Kyai, saya diutus oleh Kyai Kholil untuk
menyampaikan tasbih ini,” Kata As’ad. “Kyai
juga diminta untuk mengamalkan Yaa Jabbaar,
Yaa Qahhaar (lafadz Asma’ul Husna) setiap
waktu,” Tambah As’ad.
Sekali lagi, pesan gurunya diterima dengan
penuh perasaan. Kini hatinya semakin mantap
untuk mendirikan Jam’iyah. Namun, sampai tak
lama setelah itu, Mbah Kholil meninggal, dan
keinginan untuk mendirikan Jam’iyah belum
juga bisa terwujud.
Baru setahun kemudian, tepatnya 16 Rajab
1344 H, “jabang bayi” yang ditunggu-tunggu
itu lahir dan diberi nama Jam’iyah Nahdlatul
Ulama (NU). Dan di kemudian hari, jabang bayi
itu pun menjadi “raksasa”.
Tapi, bagaimana Kyai Hasyim menangkap
isyarat adanya restu dari Mbah Kholil untuk
mendirikan NU dari sepotong tongkat dan
tasbih? Tidak lain dan tak bukan karena tongkat
dan tasbih itu diterimanya dari Mbah Kholil,
seorang Kyai alim yang diyakini sebagai salah
satu Wali Allah.
J. Tarekat dan Fiqh
Mbah Kholil adalah salah satu Kyai yang belajar
lebih daripada satu madzhab saja. Akan tetapi,
di antara madzhab-madzhab yang ada, ia lebih
mendalami madzhab Syafi’i di dalam ilmu fiqh.
Pada masa kehidupan Mbah Kholil, yaitu akhir
abad-19 dan awal abad-20, di daerah Jawa,
khususnya Madura, sedang terjadi perdebatan
antara dua golongan pada saat itu. Pada awal
abad-20, seperti telah diungkapkan
sebelumnya, di daerah Jawa sedang terjadi
penyebaran ajaran Tarekat Naqsyabandiyah,
Qadiriyah wa-Naqsyabandiyah, Naqsyabandiyah
Muzhariyah dan lain-lain.
Akan tetapi, tidaklah dapat dipungkiri
mengenai keterlibatan Mbah Kholil dalam
tarekat, terbukti bahwa Mbah Kholil dikenal
pertama kali dikarenakan kelebihannya dalam
hal tarekat, dan juga memberikan dan mengisi
ilmu-ilmu kanuragan kepada para pejuang.
Di sisi lain, Mbah Kholil pun diakui sebagai
salah satu Kyai yang dapat menggabungkan
tarekat dan fiqh, yang kebanyakan ulama pada
saat itu melihat dua hal tersebut bertentangan
seperti Syeikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi,
salah satu ulama yang notabene seangkatan
dengan Mbah Kholil.
Memang, Mbah Kholil hidup pada masa
penyebaran tarekat begitu gencar-gencarnya,
sehingga kebanyakan ulama pada saat itu,
mempunyai dan memilki ilmu-ilmu kanuragan,
dan tidak terkecuali Mbah Kholil. Namun
demikian, perbedaan antara Mbah Kholil
dengan kebanyakan Kyai yang lainnya, bahwa
Mbah Kholil tidak sampai mengharamkan atau
pun menyebutnya sebagai perlakuan syirik dan
bid’ah bagi penganut tarekat. Mbah Kholil
justru meletakkan dan menggabungkan antara
keduanya (tarekat dan fiqh).
Dalam penggabungan dua hal ini, Mbah Kholil
mendudukkan tarekat di bawah fiqh, sehingga
ajaran-ajaran tarekat mempunyai batasan-
batasan tersendiri yaitu fiqh. Selain itu, ajaran
tarekat juga tidak menjadi ajaran yang tanpa
ada batasannya. Namun, yang cukup
disayangkan adalah, tidak banyaknya referensi
yang menjelaskan tentang cara atau pun pola-
pola dalam penggabungan tarekat dan fiqh oleh
Mbah Kholil tersebut.
K. Peninggalan
Dalam bidang karya, memang hampir tidak ada
literatur yang menyebutkan tentang karya
Mbah Kholil. akan tetapi Mbah Kholil
meninggalkan banyak sejarah dan sesuatu yang
tidak tertulis dalam literatur yang baku. Ada
pun peninggalan Mbah Kholil di antaranya:
Pertama: Mbah Kholil turut melakukan
pengembangan pendidikan pesantren sebagai
pendidikan alternatif bagi masyarakat
Indonesia. Pada saat penjajahan Belanda,
hanya sedikit orang yang dibolehkan belajar,
itu pun hanya dari golongan priyayi saja; di
luar itu, tidaklah dapat belajar di sekolah. Dari
sanalah pendidikan pesantren menjadi jamur di
daerah Jawa, dan terhitung sangat banyak
santri Mbah Kholil yang setelah lulus,
mendirikan pesantren. Seperti Kyai Hasyim
(Pendiri Pesantren Tebu Ireng), Kyai Wahab
Chasbullah (Pendiri Pesantren Tambak Beras),
Kyai Ali Ma’shum (Pendiri Pesantren Lasem
Rembang), dan Kyai Bisri Musthafa (Pendiri
Pesantren Rembang). Dari murid-murid Mbah
Kholil, banyak muridnya yang di kemudian hari
mendirikan pesantren, dan begitu seterusnya
sehingga pendidikan pesantren menjadi jamur
di Indonesia.
Kedua: Selain Pesantren yang Mbah Kholil
tinggal di Madura –khususnya, ia juga
meninggalkan kader-kader Bangsa dan Islam
yang berhasil ia didik, sehingga akhirnya
menjadi pemimpin-pemimpin umat.
Mbah Kholil (KH. Muhammad Kholil Bangkalan
Al-Maduri), adalah satu fenomena tersendiri.
Dia adalah salah seorang tokoh pengembang
pesantren di Nusantara. Sebagian besar
pengasuh pesantren, memiliki sanad
(sambungan) dengan para murid Mbah Kholil,
yang tentu saja memiliki kesinambungan
dengan Mbah Kholil.
Beliau wafat dalam usia yang lanjut 106 tahun,
pada 29 Ramadhan 1341 H/14 Mei 1923 M.
Semoga amal ibadah beliau di terima oleh
Allah SWT dan semoga kesalahan-kesalahan
beliau juga di ampuni oleh Allah SWT. Aamiin
Yaa Rabbal ‘Aalamiin…

1 komentar:

  1. mohon di ralat, foto di atas bukanlah foto Syaikhona Kholil Bangkalan, tapi foto dari Din Kemmok julukannya setelah haji adalah H. Holil alamat Karang Bhotoh Bangkalan

    BalasHapus