Jumat, 19 Juli 2013

Biografi Syekh Muhammad Arsyad al- Banjari Kalimantan Selatan

Nama Syekh Muhammad Arsyad al-
Banjari hingga kini masih melekat di hati
masyarakat Martapura, Kalimantan Selatan,
meski putra Banjar kelahiran Desa Lok Gabang,
19 Maret 1710 M, itu telah meninggal sejak
1812 M silam. Ia meninggalkan banyak jejak
dalam bentuk karya tulis di bidang keagamaan.
Karya-karyanya bak sumur yang tak pernah
kering untuk digali hingga generasi kini. Tak
mengherankan bila seorang pengkaji naskah
ulama Melayu berkebangsaan Malaysia
menjulukinya sebagai Matahari Islam
Nusantara. Matahari itu terus memberikan
pencahayaan bagi kehidupan umat Islam.
Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari adalah
pelopor pengajaran Hukum Islam di Kalimantan
Selatan. Ia sempat menuntut ilmu-ilmu agama
Islam di Mekkah. Sekembalinya ke kampung
halaman, hal pertama yang dikerjakannya
adalah membuka tempat pengajian (semacam
pesantren) bernama Dalam Pagar.
Kisah tempat pengajian ini diuraikan dalam
buku seri pertama Intelektual Pesantren: Potret
Tokoh dan Cakrawala Pemikiran di Era
Pertumbuhan Pesantren, terbitan Diva Pustaka,
Jakarta. Mulanya lokasi ini berupa sebidang
tanah kosong yang masih berupa hutan belukar
pemberian Sultan Tahmidullah, penguasa
Kesultanan Banjar saat itu. Syekh Arsyad al-
Banjari menyulap tanah tersebut menjadi
sebuah perkampungan yang di dalamnya
terdapat rumah, tempat pengajian,
perpustakaan dan asrama para santri.
Sejak itu, kampung yang baru dibuka tersebut
didatangi oleh para santri dari berbagai
pelosok daerah. Kampung baru ini kemudian
dikenal dengan nama kampung Dalam Pagar. Di
situlah diselenggarakan sebuah model
pendidikan yang mengintegrasikan sarana dan
prasarana belajar dalam satu tempat yang
mirip dengan model pesantren. Gagasan Syekh
Muhammad Arsyad al-Banjari ini merupakan
model baru yang belum ada sebelumnya dalam
sejarah Islam di Kalimatan masa itu.
Pesantren yang dibangun di luar kota
Martapura ini bertujuan untuk menciptakan
lingkungan yang kondusif bagi proses belajar
mengajar para santri. Selain berfungsi sebagai
pusat keagamaan, di tempat ini juga dijadikan
pusat pertanian. Syekh Muhammad Arsyad
bersama beberapa guru dan muridnya
mengolah tanah di lingkungan itu menjadi
sawah yang produktif dan kebun sayur, serta
membangun sistem irigasi untuk mengairi lahan
pertanian.
Tidak sebatas membangun sistem pendidikan
model pesantren, Syekh Muhammad Arsyad
juga aktif berdakwah kepada masyarakat
umum, dari perkotaan hingga daerah terpencil.
Kegiatan itu pada akhirnya membentuk
perilaku religi masyarakat. Kondisi ini
menumbuhkan kesadaran untuk menambah
pengetahuan agama dalam masyarakat.
Dalam menyampaikan ilmunya, Syekh
Muhammad Arsyad sedikitnya punya tiga
metode. Ketiga metode itu satu sama lain
saling menunjang. Selain dengan cara bil hal,
yakni keteladanan yang direfleksikan dalam
tingkah laku, gerak gerik dan tutur kata sehari-
hari yang disaksikan langsung oleh murid-
muridnya, Syekh Muhammad Arsyad juga
memberikan pengajaran dengan cara bil lisan
dan bil kitabah. Metode bil lisan dengan
mengadakan pengajaran dan pengajian yang
bisa disaksikan diikuti siapa saja, baik keluarga,
kerabat, sahabat maupun handai taulan,
sedangkan metode bil kitabah menggunakan
bakatnya di bidang tulis menulis.
Dari bakat tulis menulisnya, lahir kitab-kitab
yang menjadi pegangan umat. Kitab-kitab
itulah yang ia tinggal setelah Syekh Muhammad
Arsyad tutup usia pada 1812 M, di usia 105
tahun. Karya-karyanya antara lain, Sabil al-
Muhtadin, Tuhfat ar-Raghibiin, al-Qaul al-
Mukhtashar, disamping kitab ushuluddin,
tasawuf, nikah, faraidh dan kitab Hasyiyah Fath
al-Jawad. Karyanya paling monumental adalah
kitab Sabil al-Muhtadin yang kemasyhurannya
tidak sebatas di daerah Kalimantan dan
Nusantara, tapi juga sampai ke Malaysia,
Brunei dan Pattani (Thailand Selatan).
Anak Cerdas dari Lok Gabang
Sekali waktu, Sultan Kerajaan Banjar, Sultan
Tahmidullah, berkunjung ke kampung-kampung
yang ada di wilayahnya. Tiba di Kampung Lok
Gabang, ia terkesima melihat lukisan yang
indah. Setelah bertanya, dia mengetahui
pelukisnya bernama Muhammad Arsyad,
seorang anak berusia tujuh tahun. Tertarik
dengan kecerdasan dan bakat anak kecil itu,
Sultan berniat mengasuhnya di istana.
Mulanya, Abdullah dan Siti Aminah, kedua
orangtua Arsyad, enggan melepas anak
sulungnya itu. Tapi atas pertimbangan masa
depan si buah hati, keduanya pun
menganggukkan kepala. Di istana, Arsyad kecil
bisa membawa diri, selalu menunjukkan
keluhuran budi pekertinya. Sifat-sifat terpuji
itu membuat ia disayangi warga istana. Bahkan,
Sultan memperlakukannya seperti anak
kandung.
Beranjak dewasa, Arsyad dikawinkan dengan
Bajut, seorang perempuan yang salehah. Ketika
Bajut tengah mengandung anak pertama,
terlintas di benak Arsyad untuk menuntut ilmu
di Tanah Suci Mekkah. Sang istri tidak
keberatan demi niat suci suami, meski dengan
perasaan berat. Setelah mendapat restu Sultan,
Arsyad berangkat untuk mewujudkan cita-
citanya.
Begitulah sepenggal kisah perjalanan hidup
Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari, ulama
besar kelahiran Lok Gabang, Martapura, 19
Maret 1710 M.
Memperdalam Ilmu Agama
Di Tanah Suci, Arsyad memperdalam ilmu
agama. Guru-gurunya, antara lain Syekh
Athaillah bin Ahmad al-Mishry, al-Faqih Syekh
Muhammad bin Sulaiman al-Kurdi, dan al-‘Arif
Billah Syekh Muhammad bin Abdul Karim as-
Samman al-Hasani al-Madani.
Namanya terkenal di Mekkah karena keluasan
ilmu yang dimiliki, terutama ilmu qiraat. Ia
bahkan mengarang kitab qiraat 14 yang
bersumber dari Imam asy-Syatibi. Uniknya,
setiap juz kitab tersebut dilengkapi dengan
kaligarafi khas Banjar.
Menurut riwayat, selama belajar di Mekkah dan
Madinah, Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari
belajar bersama tiga ulama Indonesia lainnya:
Syekh Abdus Shomad al-Palembani (Palembang)
, Syekh Abdul Wahab Bugis, dan Syekh
Abdurrahman Mesri (Betawi). Mereka berempat
dikenal dengan Empat Serangkai dari Tanah
Jawi yang sama-sama menuntut ilmu di al-
Haramain asy-Syarifain. Belakangan, Syekh
Abdul Wahab Bugis kemudian menjadi
menantunya karena kawin dengan anak
pertama Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari.
Setelah lebih dari 30 tahun menuntut ilmu,
timbul hasratnya untuk kembali ke kampung
halaman. Sebelum sampai di tanah
kelahirannya, Syekh Arsyad singgah di Jakarta.
Ia menginap di rumah salah seorang temannya
waktu belajar di Mekkah. Bahkan, menurut
kisahnya, Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari
sempat memberikan petunjuk arah kiblat
Masjid Jembatan Lima di Jakarta sebelum
kembali ke Kalimantan.
Ramadhan 1186 H bertepatan dengan 1772 M,
Syekh Arsyad tiba di kampung halamannya di
Martapura, pusat Kerajaan Banjar masa itu.
Raja Banjar, Sultan Tahmidullah, menyambut
kedatangannya dengan upacara adat kebesaran.
Segenap rakyat mengelu-elukannya sebagai
seorang ulama Matahari Agama yang cahayanya
diharapkan menyinari seluruh Kerajaan Banjar.
Syekh Arsyad aktif melakukan penyebaran
agama Islam di Kalimantan. Tak hanya dalam
bidang pendidikan dengan mendirikan
pesantren lengkap sarana dan prasarananya,
termasuk sistem pertanian untuk menopang
kehidupan para santrinya, tapi juga berdakwah
dengan mengadakan pengajian, baik di kalangan
istana maupun masyarakat kelas bawah.
Lebih dari 40 tahun Syekh Arsyad melakukan
penyebaran Islam di daerah kelahirannya,
sebelum maut menjemputnya. Beliau
meninggal pada tahun 1812 M dalam usia 105
tahun. Sebelum wafat, dia sempat berwasiat
agar jasadnya dikebumikan di Kalampayan bila
sungai dapat dilayari atau di Karang Tengah,
tempat istrinya, Bujat, dimakamkan bila sungai
tidak bisa dilayari. Namun karena saat
meninggal air sedang surut, maka ia
dikebumikan Kalampayan, Astambul, Banjar,
Kalimantan Selatan. Di daerah yang terletak
sekitar 56 km dari kota Banjarmasin itulah
jasad Datuk Kalampayan (panggilan lain anak
cerdas kelahiran Lok Gabang) ini dikebumikan.
Kitab Sabil Al-Muhtadin
Alasan utama penulisan kitab ini oleh Syekh
Muhammad Arsyad al-Banjari, karena adanya
kesulitan umat Islam Banjar dalam memahami
kitab-kitab fikih yang ditulis dalam bahasa
Arab.
Kitab-kitab yang membahas masalah fikih
(ibadah shalat, zakat, puasa, dan haji) di
Indonesia cukup banyak. Jumlahnya bisa
mencapai ribuan, baik yang ditulis ulama asal
Timur Tengah, ulama Nusantara maupun para
ilmuwan kontemporer yang memiliki spesifikasi
tentang keilmuan dalam bidang fikih atau
hukum Islam.
Dari berbagai kitab fikih yang ada, salah
satunya adalah kitab Sabil al-Muhtadin li at-
Tafaqquh fi Amr ad-Din (Jalan bagi orang-orang
yang mendapat petunjuk agar menjadi faqih
alim dalam urusan agama).
Kitab ini ditulis dalam bahasa Arab-Melayu dan
merupakan salah satu karya utama dalam
bidang fikih bagi masyarakat Melayu. Kitab ini
ditulis setelah Syekh Muhammad Arsyad
mempelajari berbagai kitab-kitab fikih yang
ditulis para ulama terdahulu, seperti kitab
Nihayah al-Muhtaj karya Imam ar-Ramly, kitab
Syarh Minhaj oleh Imam Zakaria al-Anshary,
kitab Mughni oleh Syekh Khatib asy-Syarbini,
kitab Tuhfat al-Muhtaj karya Syekh Ibnu Hajar
al-Haitami, kitab Mir’atu ath-Thullab oleh
Syekh Abdurrauf as-Sinkili dan kitab Shirath al-
Mustaqim karya Syekh Nurruddin ar-Raniri.
Selain itu, ada alasan utama Syekh Muhammad
Arsyad al-Banjari saat menulis kitab ini. Sebuah
sumber menyebutkan, pada awalnya,
keterbatasan (kesulitan) umat Islam di Banjar
(Melayu) dalam mempelajari kitab-kitab fikih
yang berbahasa Arab. Maka itu, masyarakat
Islam di Banjar berusaha mempelajari fikih
melalui kitab-kitab berbahasa Melayu. Salah
satunya adalah kitab Shirath al-Mustaqim yang
ditulis Syekh Nurruddin ar-Raniri.
Kitab Shirath al-Mustaqim ini juga ditulis
dalam bahasa Arab-Melayu yang lebih
bernuansa bahasa Aceh. Namun, hal itu juga
menimbulkan kesulitan bagi masyarakat Islam
Banjar untuk mempelajarinya. Oleh karena itu,
atas permintaan Sultan Banjar (Tahmidullah),
Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari kemudian
menuliskan sebuah kitab fikih dalam bahasa
Arab-Melayu yang lebih mudah dipahami
masyarakat Islam Banjar.
Dalam mukadimah kitab Sabil al-Muhtadin,
Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari
menyatakan bahwa karya ini ditulis pada
1193/1779 M atas permintaan Sultan
Tahmidullah dan diselesaikan pada 1195/1781
M.
Secara umum, kitab ini menguraikan masalah-
masalah fikih berdasarkan madzhab Syafi’i dan
telah diterbitkan oleh Dar al-Ihya al-Kutub
al-‘Arabiyah. Kitab Sabil al-Muhtadin ini terdiri
atas dua jilid.
Seperti kitab fikih pada umumnya, kitab Sabil
al-Muhtadin ini juga membahas masalah-
masalah fikih, antara lain ibadah shalat, zakat,
puasa dan haji. Kitab ini lebih banyak
menguraikan masalah ibadah, sedangkan
muamalah belum sempat dibahas. Walaupun
begitu, kitab ini sangat besar andilnya dalam
usaha Syekh Arsyad menerapkan hukum Islam
di wilayah Kerajaan Banjar sesuai anjuran
Sultan Tahmidullah yang memerintah saat itu.
Fikih Kontekstual
Menurut Najib Kailani, koordinator Bidang
Media dan Budaya, Lembaga Kajian Islam dan
Sosial (LKiS) Yogyakarta, dalam artikelnya yang
berjudul “Ijtihad Zakat dalam kitab Sabil al-
Muhtadin” menyatakan: “Meskipun ditulis pada
abad ke-18, terdapat banyak sekali pemikiran
cemerlang Syekh Arsyad dalam kitab ini yang
sangat kontekstual di era sekarang. Satu di
antara gagasan brilian di dalam kitab Sabil al-
Muhtadin adalah pandangan beliau tentang
zakat.”
Dicontohkan Kailani, pada pasal tentang orang-
orang yang berhak menerima zakat (mustahik),
terdapat pandangan dan pemikiran Syekh
Muhammad Arsyad yang sangat progresif dan
melampaui pemikiran ilmuwan pada zaman itu.
Syekh Arsyad al-Banjari menyatakan: “Fakir dan
miskin yang belum mampu bekerja baik sebagai
pengrajin maupun pedagang, dapat diberikan
zakat sekira cukup untuk perbelanjaannya
dalam masa kebiasaan orang hidup. Misalnya,
umur yang biasa ialah 60 tahun. Kalau umur
fakir atau miskin itu sudah mencapai 40 tahun
dan tinggal umur biasa (harapan hidup) 20
tahun. Maka, diberikan zakat kepadanya, sekira
cukup untuk biaya hidup dia selama 20 tahun.”
Dan, yang dimaksud dengan diberi itu bukan
dengan emas maupun perak yang cukup untuk
masa itu, tetapi yang bisa dipergunakan untuk
membeli makan dalam masa yang disebutkan
di atas. Maka, hendaklah dibelikan dengan
zakat tadi dengan izin Imam, seperti kebun
yang sewanya memadai atau harga buahnya
untuk belanjanya di masa sisa umur manusia
secara umum agar ia menjadi mampu dengan
perantaraan zakat. Lalu, kebun itu dimiliki dan
diwariskannya kepada keluarganya karena
kemaslahatannya kembali kepadanya dan
kepada mustahik yang lain. Inilah tentang fakir
dan miskin yang tidak mempunyai kepandaian
dan tidak bisa berdagang.
Menurut Kailani, pandangan Syekh Muhammad
Arsyad al-Banjari ini, tampak telah melampaui
zamannya. “Sangat jelas bahwa pijakan gagasan
ini adalah konsep kemaslahatan umum
(mashlahat al-‘ammah), dimana zakat tidak
sekedar dimaknai sebagai pemberian karitatif,
lebih jauh ia merupakan satu mekanisme
keadilan sosial, yaitu supaya harta tidak hanya
terputar di kalangan orang kaya semata”, ujar
Kailani.
“Beliau memberi contoh dengan pengelolaan
kebun yang manfaatnya bisa menghidupi
keluarga sang penerima zakat dan seterusnya,
sampai anak cucunya dan penerima zakat
lainnya. Pandangan ini tampak sejalan dengan
konsep negara kesejahteraan (welfare-state) di
Eropa, dimana negara menjamin kesejahteraan
warga negaranya yang belum memperoleh
pekerjaan layak”, tambahnya.
Beberapa ijtihad zakat sudah digulirkan para
pemikir Muslim kontemporer, seperti Yusuf al-
Qaradhawi tentang zakat profesi atau Masdar
Farid Masudi mengenai zakat yang
ditransformasikan menjadi pajak dan lain
sebagainya. Mengangkat kembali gagasan Syekh
Arsyad dalam konteks kini, paling tidak
mendorong kembali upaya-upaya reinterpretasi
kontekstual makna zakat dalam kehidupan
Muslim kontemporer.
Berdasarkan contoh di atas, kata Kailani,
tentunya sangat penting bagi umat Islam di
Indonesia untuk menelisik ulang khazanah
tradisi Islam Nusantara yang ditulis oleh
ulama-ulama besar sejak abad ke-13 hingga
ke-20, saat banyak gagasan cemerlang yang
terlontar melampaui zamannya.
Seperti diketahui, kitab Sabil al-Muhtadin ini
tak hanya menjadi referensi ilmu fikih bagi
umat Islam di Banjar (Kalimantan Selatan),
tetapi juga bagi masyarakat Melayu lainnya,
seperti Brunei Darussalam, Malaysia hingga
Thailand.
“Sudah saatnya kita membuang sikap apriori
terhadap tradisi klasik, terutama karya-karya
ulama Nusantara sebagai ketinggalan zaman
dan tidak sesuai dengan problem kekinian. Dari
contoh gagasan Syekh Arsyad di atas,
menyadarkan kita betapa banyak kekayaan
gagasan Islam Nusantara yang bisa
dikembangkan kembali untuk konteks
keindonesiaan sekarang”, kata Kailani.
Hal ini sejalan dengan gagasan dan pemikiran
yang dilakukan oleh Departemen Agama yang
kini tengah mentahqiq karya-karya ulama
Nusantara. Tujuannya, agar umat Islam
Indonesia mengenal dengan baik ulama-ulama
Nusantara dan karya-karyanya.
Semoga amal ibadah beliau di terima oleh
Allah SWT dan semoga kesalahan-kesalahan
beliau juga di ampuni oleh Allah SWT. Aamiin
Yaa Rabbal ‘Aalamiin…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar