adalah ibukota kabupaten Banyumas, Jawa
Tengah yang terletak di selatan Gunung Slamet,
salah satu gunung berapi yang masih aktif di
pulau Jawa. Purwokerto merupakan salah satu
pusat perdagangan dan pendidikan di kawasan
selatan Jawa Tengah. Sementara kabupaten
Banyumas sendiri merupakan sebuah kawasan
kebudayaan yang memiliki ciri khas tertentu di
antara keanekaragaman budaya Jawa yang
disebut sebagai budaya Banyumasan.
Ciri khas ini ditandai dengan kekhasan dialek
bahasa, citra seni dan tipologi masyarakatnya.
Bentang alam wilayah banyumasan berupa
dataran tinggi dan pegunungan serta lembah-
lembah dengan bentangan sungai-sungai yang
menjamin kelangsungan pertanian dengan
irigasi tradisional. kondisi yang demikian
membenarkan kenyataan kesuburan wilayah ini
(gemah ripah loh jinawi).
Dulunya, kawasan ini adalah tempat
penyingkiran para pengikut Pangeran
Diponegoro setelah perlawanan mereka
dipatahkan oleh Kompeni Belanda. Maka tidak
aneh, bila hingga masa kini masih terdapat
banyak sekali keluarga-keluarga yang memiliki
silsilah hingga Pangeran Diponegoro dan para
tokoh pengikutnya. Keluarga-keluarga
keturunan Pangeran Diponegoro dan tokoh-
tokohnya yang telah menyingkir dari pusat
kerajaan Matararam waktu itu, kemudian
menurunkan para pemimpin bangsa dan tokoh-
tokoh ulama hingga saat ini. Salah satu dari
sekian banyak tokoh ulama keturunan Pangeran
Diponegoro di kawasan Banyumas ini adalah
Syekh Abdul Malik bin Muhammad Ilyas,
Mursyid Thariqoh Naqsyabandiyah Kholidiyah
dan Thariqoh Syadzaliyah di Jawa Tengah.
Silsilah dan Pendidikan
Sudah menjadi tradisi di kawasan Banyumasan
kala itu, apabila ada seorang ibu hendak
melahirkan, maka dihamparkanlah tikar di atas
lantai sebagai tempat bersalin. Suatu saat ada
seorang ibu yang telah mempersiapkan
persalinannya sesuai tradisi tersebut, namun
rupanya sang bayi tidak juga kunjung terlahir.
Melihat hal ini, maka sang suami segera
memerintahkan istrinya untuk pindah ke
tempat tidur dan menjalani persalinan di atas
ranjang saja. Tak berapa lama terlahirlah
seorang bayi mungil yang kemudian dinamakan
Muhammad Ash’ad, artinya Muhammad yang
naik (dari tikar ke tempat tidur).
Peristiwa ini terjadi di Kedung Paruk
Purwokerto, pada hari Jum’at, tanggal 3 Rajab
tahun 1294 H. (1881 M.) Nama lengkapnya
adalah Muhammad Ash’ad bin Muhammad
Ilyas. Kelak bayi mungil ini lebih dikenal
sebagai Syeikh Muhammad Abdul Malik Kedung
Paruk Purwokerto. Beliau merupakan
keturunan Pangeran Diponegoro berdasarkan
“Surat Kekancingan” (semacam surat
pernyataan kelahiran) dari pustaka Kraton
Yogyakarta dengan rincian Muhammad Ash’ad,
Abdul Malik bin Muhammad Ilyas bin Raden
Mas Haji Ali Dipowongso bin HPA. Diponegoro
II bin HPA. Diponegoro I (Abdul Hamid) bin
Kanjeng Sultan Hamengku Buwono III
Yogyakarta. Nama Abdul Malik diperoleh dari
sang ayah ketika mengajaknya menunaikan
ibadah haji bersama.
Selain itu, ia juga memperoleh pendidikan dan
pengasuhan dari saudara-saudaranya yang
berada di Sokaraja,sebuah kecamatan di
sebelah timur Purwokerto. Di Sokaraja ini
terdapat saudara Abdul Malik yang bernama
Kyai Muhammad Affandi, seorang ulama
sekaligus saudagar kaya raya. Memiliki
beberapa kapal haji yang dipergunakan untuk
perjalanan menuju Tanah Suci. Ketika
menginjak usia 18 tahun, Abdul Malik dikirim
ke Tanah Suci untuk menimba ilmu agama. Di
sana ia mempelajari berbagai didiplin ilmu
agama, seperti Tafsir, Ulumul Qur’an, Hadits,
Fiqih, Tasawuf dan lain-lain. Pada tahun 1327
H. Abdul Malik pulang ke kampung halaman
setelah kurang lebih 15 tahun belajar di Tanah
Haram.
Selanjutnya ia berkhidmat kepada kedua orang
tuanya yang sudah sepuh (lanjut usia). Lima
tahun kemudian (1333 H.) ayahandanya
(Muhammad Ilyas) meninggal dalam usia 170
tahun dan dimakamkan di Sokaraja.
Sepeninggal ayahnya, Abdul Malik muda
berkeinginan melakukan perjalanan ke daerah-
daerah sekitar Banyumas, seperti Semarang,
Pekalongan, Yogyakarta dengan berjalan kaki.
Perjalanan ini diakhiri tepat pada seratus hari
wafatnya sang ayah. Abdul Malik kemudian
tinggal dan menetap di Kedung Paruk bersama
ibundanya, Nyai Zainab. Sejak saat ini, ia
kemudian lebih dikenal sebagai Syeikh Abdul
Malik Kedung Paruk.
Dalam hidupnya, Syaikh Abdul Malik memiliki
dua amalan wirid utama dan sangat besar,
yaitu membaca al-Qur’an dan Shalawat. Beliau
tak kurang membaca shalawat sebanyak 16.000
kali dalam setiap harinya dan sekali
menghatamkan al-Qur’an. Adapun shalawat
yang diamalkan adalah shalawat Nabi Khidir As
atau lebih sering disebut shalawat rahmat,
yakni “Shallallah ‘ala Muhammad.” Dan itu
adalah shalawat yang sering beliau ijazahkan
kepada para tamu dan murid beliau. Adapun
shalawat-shalawat yang lain, seperti shalawat
al-Fatih, al-Anwar dan lain-lain.
Beliau juga dikenal sebagai ulama yang
mempunyai kepribadian yang sabar, zuhud,
tawadhu dan sifat-sifat kemuliaan yang
menunjukan ketinggian dari akhlaq yang
melekat pada diri beliau. Sehingga amat
wajarlah bila masyarakat Banyumas dan
sekitarnya sangat mencintai dan
menghormatinya.Beliau disamping dikenal
memiliki hubungan yang baik dengan para
ulama besar umumnya, Syaikh Abdul Malik
mempunyai hubungan yang sangat erat dengan
ulama dan habaib yang dianggap oleh banyak
orang telah mencapai derajat waliyullah,
seperti Habib Sholeh bin Muhsin al-Hamid
(Tanggul, Jember), Habib Ahmad Bilfaqih
(Yogyakarta), Habib Husein bin Hadi al-Hamid
(Brani, Probolinggo), KH Hasan Mangli
(Magelang), Habib Hamid bin Yahya (Sokaraja,
Banyumas) dan lain-lain. Diceritakan, saat
Habib Soleh Tanggul pergi ke Pekalongan untuk
menghadiri sebuah haul. Selesai acara haul,
Habib Sholeh berkata kepada para jamaah,
”Apakah kalian tahu, siapakah gerangan orang
yang akan datang kemari? Dia adalah salah
seorang pembesar kaum ‘arifin di tanah Jawa.”
Tidak lama kemudian datanglah Syaikh Abdul
Malik dan jamaah pun terkejut melihatnya. Hal
yang sama juga dikatakan oleh Habib Husein
bin Hadi al-Hamid (Brani, Kraksaan,
Probolinggo) bahwa ketika Syaikh Abdul Malik
berkunjung ke rumahnya bersama rombongan,
Habib Husein berkata, ”Aku harus di pintu
karena aku mau menyambut salah satu
pembesar Wali Allah.”
Pengembaraan Mempelajari ilmu Agama
dan Guru-Guru
Setelah belajar al-Qur’an dengan ayahnya, asy-
Syaikh kemudian mendalami kembali al-Qur’an
kepada KH Abu Bakar bin H Yahya Ngasinan
(Kebasen, Banyumas). Pada tahun 1312 H,
ketika Syaikh Abdul Malik sudah menginjak usia
dewasa, oleh sang ayah, ia dikirim ke Mekkah
untuk menimba ilmu agama. Syeikh Abdul
Malik mempunyai banyak guru, baik selama
belajar di Tanah Air maupun di Tanah Suci.
Diantara guru-gurunya adalah Syekh
Muhammad Mahfudz bin Abdullah at-Tirmisi
al-Jawi, Sayyid Umar as-Syatha’ dan Sayyid
Muhammad Syatha’, keduanya merupakan
ulama besar Makkah dan Imam Masjidil Haram
dan Sayyid Alwi Syihab bin Shalih bin Aqil bin
Yahya. Sebelum berangkat ke tanah Suci,
Syeikh Abdul Malik sempat berguru kepada Kyai
Muhammad Sholeh bin Umar Darat Semarang,
Sayyid Habib Ahmad Fad’aq (seorang ulama
besar yang berusia cukup panjang, wafat dalam
usia 141 tahun), Habib ‘Aththas Abu Bakar al-
Atthas; Habib Muhammad bin Idrus al-Habsyi,
Surabaya; Sayyid Habib Abdullah bin Muhsin
al-Atthas Bogor.
Sanad Thoriqah Naqsabandiyah Kholidiyah
diperolehnya secara langsung dari sang ayah,
Syaikh Muhammad Ilyas; sedangkan sanad
Thoriqah Sadzaliyah didapatkannya dari Sayyid
Ahmad Nahrawi al-Makki (Mekkah). Selama
bermukim di Makkah, Syeikh Abdul Malik
diangkat oleh pemerintah Arab Saudi sebagai
Wakil Mufti Madzhab Syafi’i, diberi kesempatan
untuk mengajar berbagai ilmu agama termasuk,
tafsir dan qira’ah sab’ah. Sempat menerima
kehormatan berupa rumah tinggal yang
terletak di sekitar Masjidil Haram atau
tepatnya di dekat Jabal Qubes. Menurut
beberapa santrinya, Syekh Abdul Malik
sebenarnya tinggal di Makkah selama kurang
lebih 35 tahun, tetapi tidak dalam satu waktu.
Disamping belajar di tanah Suci selama 15
tahun, ia juga seringkali membimbing jamaah
haji Indonesia asal Banyumas, bekerjasama
dengan Syeikh Mathar Makkah. Aktivitas ini
dilakukan dalam waktu yang relatif lama, jadi
sebenarnya, masa 35 tahun itu tidaklah
mutlak. Dalam ilmu al-Qur’an, khususnya ilmu
Tafsir dan Ulumul Qur’an, ia berguru kepada
Sayid Umar Syatha’ dan Sayid Muhammad
Syatha’ (putra penulis kitab I’anatuth Thalibin
hasyiyah Fathul Mu’in).
Dalam ilmu hadits, ia berguru Sayid Thoha bin
Yahya al-Magribi (ulama Hadhramaut yang
tinggal di Mekkah), Sayid Alwi bin Shalih bin
Aqil bin Yahya, Sayid Muhsin al-Musawwa, asy-
Syaikh Muhammad Mahfudz bin Abdullah at-
Tirmisi. Dalam bidang ilmu syariah dan
thariqah alawiyah ia berguru pada Habib
Ahmad Fad’aq, Habib Aththas Abu Bakar al-
Attas, Habib Muhammad bin Idrus al-Habsyi
(Surabaya), Habib Abdullah bin Muhsin al-Attas
(Bogor), Kyai Soleh Darat (Semarang).
Sementara itu, guru-gurunya di Madinah
adalah Sayid Ahmad bin Muhammad Amin
Ridhwan, Sayid Abbas bin Muhammad Amin
Raidwan, Sayid Abbas al-Maliki al-Hasani (kakek
Sayid Muhammad bin Alwi al-Maliki al-Hasani),
Sayid Ahmad an-Nahrawi al-Makki, Sayid Ali
Ridha. Setelah sekian tahun menimba ilmu di
Tanah Suci, sekitar tahun 1327 H, asy-Syaikh
Abdul Malik pulang ke kampung halaman untuk
berkhidmat kepada keduaorang tuanya yang
saat itu sudah sepuh (berusia lanjut). Kemudian
pada tahun 1333 H, sang ayah, asy-Syaikh
Muhammad Ilyas berpulang ke Rahmatullah.
Sesudah sang ayah wafat, asy-Syaikh Abdul
Malik kemudian mengembara ke berbagai
daerah di Pulau Jawa guna menambah wawasan
dan pengetahuan dengan berjalan kaki. Ia
pulang ke rumah tepat pada hari ke-100 dari
hari wafat sang ayah, dan saat itu umur asy-
Syaikh berusia tiga puluh tahun.
Sepulang dari Pengembaraan Mempelajari
ilmu Agama
Sepulang dari pengembaraan, asy-Syaikh tidak
tinggal lagi di Sokaraja, tetapi menetap di
Kedung Paruk bersama ibundanya, Nyai
Zainab. Perlu diketahui, asy-Syaikh Abdul Malik
sering sekali membawa jemaah haji Indonesia
asal Banyumas dengan menjadi pembimbing
dan syaikh. Mereka bekerjasama dengan asy-
Syaikh Mathar Mekkah, dan aktivitas itu
dilakukan dalam rentang waktu yang cukup
lama. Sehingga wajarlah kalau selama menetap
di Mekkah, ia memperdalam lagi ilmu-ilmu
agama dengan para ulama dan syaikh yang ada
di sana. Berkat keluasan dan kedalaman
ilmunya, Syaikh Abdul Malik pernah
memperoleh dua anugrah yakni pernah
diangkat menjadi Wakil Mufti Madzab Syafi’i di
Mekkah dan juga diberi kesempatan untuk
mengajar.
Pemerintah Saudi sendiri sempat memberikan
hadiah berupa sebuah rumah tinggal yang
terletak di sekitar Masjidil Haram atau
tepatnya di dekat Jabal Qubes. Anugrah yang
sangat agung ini diberikan oleh Pemerintah
Saudi hanya kepada para ulama yang telah
memperoleh gelar al-‘Allamah. Syaikh Ma’shum
(Lasem, Rembang) setiap berkunjung ke
Purwokerto, seringkali menyempatkan diri
singgah di rumah asy-Syaikh Abdul Malik dan
mengaji kitab Ibnu Aqil Syarah Alfiyah Ibnu
Malik secara tabarrukan (meminta barakah)
kepada asy-Syaikh Abdul Malik. Demikian pula
dengan Mbah Dimyathi (Comal, Pemalang), KH
Khalil (Sirampog, Brebes), KH Anshori
(Linggapura, Brebes), KH Nuh (Pageraji,
Banyumas) yang merupakan kiai-kiai yang hafal
al-Qur’an, mereka kerap sekali belajar ilmu al-
Qur’an kepada Syaikh Abdul Malik.
Perjuangan Fisik
Adalah tidak benar, jika para ulama ahli
tasawuf disebut sebagai para pemalas, bodoh,
kumal dan mengabaikan urusan-urusan
duniawi. Meski tidak berpakaian Necis, namun
mereka senantiasa tanggap terhadap berbagai
kejadian yang ada di sekitarnya. Ketika zaman
bergolak dalam revolusi fisik untuk melepaskan
diri dari belenggu penjajahan bangsa asing,
para ulama ahli Thoriqoh senyatanya juga turut
berjuang dalam satu tarikan nafas demi
memerdekakan bangsanya. Pada masa-masa
sulit zaman penjajahan Belanda dan Jepang,
Syeikh Abdul Malik senantiasa gigih berdakwah.
Karena aktivitasnya ini, maka ia pun menjadi
salah satu target penangkapan tentara-tentara
kolonial.
Mereka sangat khawatir pada pengaruh
dakwahnya yang mempengaruhi rakyat
Indonesia untuk memberontak terhadap
penjajah. Menghadapi situasi seperti ini, ia
justru meleburkan diri dalam laskar-laskar
rakyat. Sebagaimana Pangeran Diponegoro,
leluhurnya yang berbaur bersama rakyat untuk
menentang penjajahan Belanda, maka ia pun
senantiasa menyuntikkan semangat perjuangan
terhadap para gerilyawan di perbukitan Gunung
Slamet.
Pada masa Gestapu, Syeikh Abdul Malik juga
sempat ditahan oleh PKI. Bersamanya,
ditangkap pula Habib Hasyim al-Quthban
Yogyakarta, ketika sedang bepergian menuju
daerah Bumiayu Brebes untuk memberikan
ilmu kekebalan atau kesaktian kepada para
laskar pemuda Islam. Dalam tahanan ini, Habib
Hasyim al-Quthban mengalami shock dan
akhirnya meninggal, sedangkan Syekh Abdul
Malik masih hidup dan akhirnya dibebaskan.
Kepribadian Syaikh Abdul Malik
Dalam hidupnya, Syeikh Abdul Malik memiliki
dua amalan wirid utama dan sangat besar,
yaitu membaca al-Qur’an dan Shalawat. Dikenal
sebagai ulama yang mempunyai berkepribadian
sabar, zuhud, tawadhu dan sifat-sifat
kemuliaan yang menunjukan ketinggian
akhlakul karimah. Maka amat wajarlah bila
masyarakat Banyumas dan sekitarnya sangat
mencintai dan menghormatinya.
Syeikh Abdul Malik adalah pribadi yang sangat
sederhana, santun dan ramah kepada siapa
saja. Beliau juga gemar sekali melakukan
silaturrahim kepada murid-muridnya, terutama
kepada mereka yang miskin atau sedang
mengalami kesulitan hidup. Santri-santri yang
biasa dikunjunginya ini, selain mereka yang
tinggal di Kedung Paruk maupun di desa-desa
sekitarnya seperti Ledug, Pliken, Sokaraja,
dukuh waluh, Bojong, juga sanri-santri lain
yang tinggal di tempat jauh.
Hampir setiap hari Selasa pagi, dengan
kendaraan sepeda, naik becak atau dokar,
Syaikh Abdul Malik mengunjungi murid-
muridnya untuk membagi-bagikan beras, uang
dan terkadang pakaian sambil mengingatkan
kepada mereka untuk datang pada acara
pengajian Selasanan (Forum silaturrahim para
pengikut Thariqah an-Naqsyabandiyah al-
Khalidiyah Kedung paruk yang diadakan setiap
hari Selasa dan diisi dengan pengajian dan
tawajjuhan).
Keluarga Syaikh Abdul Malik
Syeikh Muhammad Abdul Malik bin Muhammad
Ilyas menikahi tiga orang istri, dua di
antaranya dikaruniai keturunan. Istri
pertamanya adalah Nyai Hajjah Warsiti binti
Abu Bakar yang lebih dikenal dengan nama
Mbah Johar. Seorang wanita terpandang, puteri
gurunya, K Abu Bakar bin H Yahya Kelewedi
Ngasinan, Kebasen. Istri pertama ini kemudian
dicerai setelah dikaruniai seorang anak lelaki
bernama Ahmad Busyairi (wafat tahun 1953,
pada usia sekitar 30 tahun).
Ada sebuah cerita unik tentang putera
pertamanya ini. Ahmad Busyairi adalah
seorang pemuda yang meninggal dunia
sebelum sempat menikah. Suatu hari Syeikh
Abdul Malik berkata padanya, “Nak, besok
kamu menikah di surga saja ya?” Mendengar
ayahnya bertutur demikian, muka Busyairi
terlihat ceria dan hatinya merasa sangat
gembira. Beberapa waktu kemudian, ia
meninggal sebelum berkesempatan menikah.
Istri kedua Syeikh Abdul Malik adalah Mbah
Mrenek, seorang janda kaya raya dari desa
Mrenek, Maos Cilacap. Pernikahan ini tidak
dikaruniai anak. Istimewanya, suatu hari Syeikh
Abdul Malik hendak menceraikannya, namun
Mbah Mrenek berkata, “Pak Kyai, meskipun
Panjenengan (Anda) tidak lagi menyukai saya,
tapi tolong jangan ceraikan saya. Yang penting
saya diakui menjadi istri Anda, dunia dan
akhirat.” Mendengar permintaan ini, Syeikh
Abdul Malik pun tidak jadi menceraikannya.
Sedangkan istri ketiganya adalah Nyai Hj. Siti
Khasanah, seorang wanita cantik dan shalihah,
tetangganya sendiri. Pernikahan ini, dikaruniai
seorang anak perempuan bernama Hj. Siti
Khairiyyah yang wafat empat tahun sepeninggal
Syekh Abdul Malik. Dari puterinya inilah nasab
Syeikh Abdul Malik diteruskan.
Murid-murid Syaikh Abdul Malik
Murid-murid dari Syaikh Abdul Malik
diantaranya KH Abdul Qadir, Kiai Sa’id, KH
Muhammad Ilyas Noor (mursyid Thariqah an-
Naqsabandiyah al-Khalidiyah), KH Sahlan
(Pekalongan), Drs Ali Abu Bakar Bashalah
(Yogyakarta), KH Hisyam Zaini (Jakarta), Habib
Muhammad Luthfi bin Ali bin Yahya
(Pekalongan), KH Ma’shum (Purwokerto) dan
lain-lain. Sebagaimana diungkapkan oleh murid
beliau, yakni Habib Luthfi bin Yahya, Syaikh
Abdul Malik tidak pernah menulis satu karya
pun. “Karya-karya al-Alamah Syaikh Abdul
Malik adalah karya-karya yang dapat berjalan,
yakni murid-murid beliau, baik dari kalangan
kyai, ulama maupun shalihin.
Diantara warisan beliau yang sampai sekarang
masih menjadi amalan yang dibaca bagi para
pengikut thariqah adalah buku kumpulan
shalawat yang beliau himpun sendiri, yaitu al-
Miftah al-Maqashid li-ahli at-Tauhid fi ash-
Shalah ‘ala babillah al-Hamid al-majid
Sayyidina Muhammad al-Fatih li-jami’i asy-
Syada’id.” Shalawat ini diperolehnya di
Madinah dari Sayyid Ahmad bin Muhammad
Ridhwani al-Madani. Konon, shalawat ini
memiliki manfaat yang sangat banyak,
diantaranya bila dibaca, maka pahalanya sama
seperti membaca kitab Dala’ilu al-Khairat
sebanyak seratus sepuluh kali, dapat digunakan
untuk menolak bencana dan dijauhkan dari
siksa neraka. Selain, menularkan ilmunya
kepada santri-santi yang kemudian menjadi
ulama dan pemimpin umat, Syeikh Abdul Malik
juga memiliki santri-santri dari berbagai
kalangan, seperti Haji Hambali Kudus, seorang
pedagang yang dermawan dan tidak pernah
rugi dalam aktivitas dagangnya dan Kyai Abdul
Hadi Klaten, seorang penjudi yang kemudian
bertaubat dan menjadi hamba Allah yang
shaleh dan gemar beribadah.
Pesan Syaikh Abdul Malik
Salah seorang cucu Syeikh Abdul Malik
mengatakan, ada tiga pesan dan wasiat yang
disampaikan Beliau kepada cucu-cucunya.
Pertama, jangan meninggalkan shalat. Tegakkan
shalat sebagaimana telah dicontohkan
Rasululah Saw. Lakukan shalat fardhu pada
waktunya secara berjama’ah. Perbanyak shalat
sunnah serta ajarkan kepada para generasi
penerus sedini mungkin. Kedua, jangan
tinggalkan membaca al-Qur’an. Baca dan
pelajari setiap hari serta ajarkan sendiri sedini
mungkin kepada anak-anak. Sebarkan al-Qur’an
di manapun berada. Jadikan sebagai pedoman
hidup dan lantunkan dengan suara merdu.
Hormati orang-orang yang hafal al-Qur’an dan
qari’-qari’ah serta muliakan tempat-tempat
pelestariannya. Ketiga, jangan tinggalkan
membaca shalawat, baca dan amalkan setiap
hari. Contoh dan teladani kehidupan Rasulullah
Saw serta tegakkanlah sunnah-sunnahnya.
Sebarkan bacaan shalawat Rasulullah,
selamatkan dan sebarluaskan ajarannya.
Syekh Abdul Malik wafat
Pada hari Kamis, 21 Jumadil Akhir 1400 H.
yang bertepatan dengan 17 April 1980 M.
sekitar pukul 18.30 WIB (malam Jum’at), Syekh
Abdul Malik meminta izin kepada istrinya untuk
melakukan shalat Isya’ dan masuk ke dalam
kamar khalwatnya. Tiga puluh menit kemudian,
salah seorang cucunya mengetuk kamar
tersebut, namun tidak ada jawaban. Setelah
pintu dibuka, rupanya sang mursyid telah
berbaring dengan posisi kepala di utara dan
kaki di selatan, tanpa sehela nafas pun
berhembus. Syeikh Abdul Malik kemudian
dimakamkan pada hari Jum’at, selepas shalat
Ashar di belakang Masjid Bahaul Haq wa
Dhiyauddin Kedung Paruk, Purwokerto.Semoga
amal ibadah beliau di terima oleh Allah SWT
dan semoga kesalahan-kesalahan beliau juga di
ampuni oleh Allah SWT. Aamiin Yaa Rabbal alamin
ilmu dan sholawat
Senin, 22 Juli 2013
Biografi Syekh Abdul Malik Bin Ilyas Kedungparuk Purwokerto
Minggu, 21 Juli 2013
Biografi KH. M. Arwani Amin Kudus
Selain dikenal
dengan sebutan Kota Kretek, Kudus juga
dikenal sebagai Kota Religius atau lebih
medasar lagi dikenal dengan sebutan Kota
Santri. Pasalnya, banyak di antara santri yang
menuntut ilmu di kota yang kharismatik yang
menjadi panutan masyarakat sekitar Kudus. Di
antara sekian banyak ulama di kota Kudus
banyak ulama di kota Kudus yang menjadi
tauladan bagi masyarakat adalah beliau al-
Maghfurlah KH. M. Arwani Amin.
Sekitar lebih 100 meter di sebelah selatan
Masjid Menara Kudus, tepatnya di Desa
Madureksan, Kerjasan, dulu tersebutlah
pasangan keluarga shaleh yang sangat
mencintai al-Qur’an. Pasangan keluarga ini
adalah KH. Amin Sa’id dan Hj. Wanifah. KH.
Amin Sa’id ini sangat dikenal di Kudus kulon
terutama di kalangan santri, karena beliau
memiliki sebuah toko kitab yang cukup dikenal,
yaitu toko kitab al-Amin. Dari hasil berdagang
inilah, kehidupan keluarga mereka tercukupi.
Yang menarik adalah, meski keduanya (H. Amin
Sa’id dan istrinya) tidak hafal al-Qur’an, namun
mereka sangat gemar membaca al-Qur’an.
Kegemarannya membaca al-Qur’an ini, hingga
dalam seminggu mereka bisa khatam satu kali.
Hal yang sangat jarang dilakukan oleh orang
kebanyakan, bahkan oleh orang yang hafal al-
Qur’an sekalipun.
Kelahiran KH. M. Arwani Amin Said
KH. M. Arawani Amin Said dilahirkan pada hari
Selasa Kliwon pukul 11.00 siang tangga l5
Rajab 1323 H bertepatan dengan 5 September
1905 M di kampung Kerjasan Kota Kudus Jawa
Tengah. Ayah beliau bernama H. Amin Said dan
ibunya bernama Hj.Wanifah.
Sebenarnya nama asli beliau adalah Arwan,
akan tetapi setelah beliau menunaikan ibadah
haji yang pertama namanya diganti menjadi
Arwani. Dan hingga wafat beliau dikenal
memiliki nama lengkap sebagai KH. M. Arawani
Amin Said dan panggilan akrabnya adalah Mbah
Arwani Kudus.
Arwan adalah anak kedua dari 12 bersaudara.
Kakaknya yang pertama seorang perempuan
bernama Muzainah. Sementara adik-adiknya
secara berurutan adalah Farkhan, Sholikhah,
H. Abdul Muqsith, Khafidz, Ahmad Da’in,
Ahmad Malikh, I’anah, Ni’mah, Muflikhak dan
Ulya. Dari kedua belas ini, ada tiga yang paling
menonjol, yaitu Arwan, Farkhan dan Ahmad
Da’in, ketiga-tiganya hafal al-Qur’an.
Dari sekian saudara KH. M. Arwani Amin, yang
dikenal sama-sama menekuni al-Qur’an adalah
Farkhan dan Ahmad Da’in. Ahmad Da’in,
adiknya Mbah Arwani ini bahkan terkenal
jenius, karena beliau sudah hafal al-Qur’an
terlebih dahulu daripada Mbah Arwan yakni
pada umur 9 tahun. Ia bahkan hafal Hadits
Bukhori Muslim dan menguasai Bahasa Arab
dan Inggris. Kecerdasan dan kejeniusan Da’in
inilah yang menggugah Mbah Arwani dan
adiknya Farkhan, terpacu lebih tekun belajar.
Arwan kecil hidup di lingkungan yang sangat
taat beragama (religius). Kakek dari ayahnya
adalah salah satu ulama besar di Kudus, yaitu
KH. Imam Haramain. Sementara garis nasabnya
dari ibu, sampai pada pahlawan nasional yang
juga ulama besar Pangeran Dipenegoro yang
bernama kecil Raden Mas Ontowiryo.
Kehidupan Keluarga KH. M. Arwani Amin
Ayahanda Mbah Arwani yaitu H. Amin Said
adalah seorang kiyai yang cukup disegani dan
dihormati oleh masyarakat disekitar beliau
tinggal. Meskipun ayah dan bunda beliau tidak
hafal al-Qur’an, namun tempat tinggal beliau
dikenal sebagai rumah al-Qur’an, karena setiap
pekan mereka selalu mengkhatamkan al-Qur’an.
Istri beliau bernama Ibu Nyai Hj. Naqiyul
Khud. Beliau menikah pada tahun 1935 M
dimana pada saat itu status beliau adalah
seorang santri dari pondok pesantren al-
Munawir Krapyak Yogyakarta. Ibu Naqi adalah
putri dari H. Abdul Hamid, seorang pedagang
kitab. Tokonya sekarang masih ada,bahkan
semakin berkembang. Beliau memiliki empat
orang anak yaitu Ummi dan Zukhali Uliya
(meninggal saat masih bayi) serta KH. M. A.
Ulin Nuha Arwani dan KH. M. A. Ulil Albab
Arwani.
Masa Menuntut Ilmu KH. M. Arwani Amin
Said
KH. M. Arwani Amin dan adik-adiknya sejak
kecil hanya mengenyam pendidikan di
madrasah dan pondok pesantren. Arwani kecil
memulai pendidikannya di Madrasah
Mu’awanatul Muslimin, Kenepan, sebelah utara
Menara Kudus. Beliau masuk di madrasah ini
sewaktu berumur 7 tahun. Madrasah ini
merupakan madrasah tertua yang ada di Kudus
yang didirikan oleh Syarikat Islam (SI) pada
tahun 1912. Salah satu pimpinan madrasah ini
di awal-awal didirikannya adalah KH. Abdullah
Sajad.
Setelah sudah semakin beranjak dewasa,
akhirnya memutuskan untuk meneruskan ilmu
agama Islam ke berbagai pesantren di tanah
Jawa, seperti Solo, Jombang, Jogjakarta dan
sebagainya. Dari perjalanannya berkelana dari
satu pesantren ke pesantren itu, talah
mempertemukannya dengan banyak kiai yang
akhirnya menjadi gurunya (masyayikh).
Adapun sebagian guru yang mendidik KH. M.
Arwani Amin diantaranya adalah KH. Abdullah
Sajad (Kudus), KH. Imam Haramain (Kudus),
KH. Ridhwan Asnawi (Kudus), KH. Hasyim
Asy’ari (Jombang), KH. Muhammad Manshur
(Solo), KH. M. Munawir (Yogyakarta) dan lain-
lain.
Kepribadian KH. M. Arwani Amin Said
Selama berkelana mencari ilmu baik di Kudus
maupun di berbagai pondok pesantren yang
disinggahinya, KH. M. Arwani Amin dikenal
sebagai pribadi yang santun dan cerdas karena
kecerdasannya dan sopan santunnya yang halus
itulah, maka banyak kiainya yang terpikat.
Karena itulah pada saat mondok KH. M. Arwani
Amin sering dimintai oleh kiainya membantu
mengajar santri-santri lain. Lalu memunculkan
rasa sayang di hati para kiainya.
Beliau hidup di lingkungan masyarakat santri
yang sangat ketat dalam menghayati dan
mengamalkan agama. Oleh karena itu wajar
saja jika beliau tumbuh menjadi seorang yang
memiliki perangai halus, sangat berbakti
kepada kedua orang tua, mempunyai
solidaritas yang tinggi, rasa setia kawan dan
suka mengalah tapi tegas dalam memegang
prinsip.
Beliau dikaruniai kecerdasan dan minat yang
kuat dalam menuntut ilmu. Pada masa
remajanya dihabiskan untuk menuntut ilmu
mengembara dari pesantren ke pesantren.
Tidak kurang dari 39 tahun hidup beliau
dihabiskan untuk menuntut ilmu dari kota ke
kota yang dimulai dari kotanya sendiri yaitu
Kudus. Kemudian dilanjutkan ke Pesantren
Jamsaren Solo, Pesantren Tebu Ireng Jombang,
Pesantren al-Munawir Krapyak Yogyakarta dan
diakhiri di Pesantren Popongan Solo.
Sekitar tahun 1935, KH. Arwani Amin pun
melaksanakan pernikahan dengan salah satu
seorang putri Kudus, yang kebetulan cucu dari
guru atau kiainya sendiri yaitu KH. Abdullah
Sajad. Perempuan sholehah yang disunting oleh
beliu adalah ibu Naqiyul Khud.
Dari pernikahannya dengan ibu Naqiyul Khud
ini, KH. M. Arwani Amin diberi dua putrid dan
dua putra. Putri pertama dan kedua beliau
adalah Ummi dan Zukhali (Ulya), namun kedua
putri beliau ini menginggal dunia sewaktu
masih bayi.
Yang tinggal sampai kini adalah kedua putra
beliau yang kelak meneruskan perjuangan KH.
M. Arwani Amin dalam mengelola pondok
pesantren yang didirikannya. Kedua putra
beliau adalah KH. Ulin Nuha (Gus Ulin) dan KH.
Ulil Albab Arwani (Gus Bab). Kelak, dalam
menahkodai pesantren itu, mereka dibantu
oleh KH. Muhammad Manshur. Salah satu
khadam KH. M. Arwani Amin yang kemudian
dijadikan sebagai anak angkatnya.
Perjuangan KH. M. Arwani Amin Said
Beliau mengajarkan al-Qur’an pertama kali
sekitar tahun 1942 di Masjid Kenepan Kudus
yaitu setamat beliau nyantri dari pesantren al-
Munawir Krapyak Yogyakarta. Pada periode ini
santri-santri beliau kebanyakan berasal dari
luar kota Kudus. Seiring berjalannya waktu
sedikit demi sedikit santri beliau semakin
bertambah banyak dan bukan hanya dari Kudus
dan sekitarnya, tapi ada yang berasal dari luar
propinsi bahkan dari luar pulau Jawa.
Kemudian beliau membangun sebuah pondok
pesantren yang diberi nama Yanbu’ul Qur’an
yang berarti Sumber al-Quran. Pondok
pesantren ini didirikan pada tahun 1393
H/1979 M.
KH. M. Arwani Amin meninggalkan sebuah
kitab yang diberi nama Faidh al-Barakat fi as-
Sabi’a Qira’at.
Semasa hidupnya beliau juga mengajarkan
Thariqat Naqsabandiyah Kholidiah yang pusat
kegiatannya bertempat di mesjid Kwanaran.
Beliau memilih tempat ini karena suasana di
sekeliling cukup sepi dan sejuk. Disamping itu
tempatnya dekat perumahan dan sungai Gelis
yang airnya jernih untuk membantu penyediaan
air untuk para peserta kholwat. KH. M. Arwani
amin juga pernah menjadi pimpinan Jam’iyah
Ahli ath-Thariqat al-Mu’tabarah yang didirikan
oleh para kyai pada tanggal 10 Oktobrr 1957
M. Dan dalam Mu’tamar NU 1979 di Semarang
nama tersebut diubah menjadi Jam’iyyah Ahl
ath-Thariqat al-Mu’tabarah an-Nahdliyyah
(JATMAN).
Kelebihan KH. M. Arwani Amin Said
KH. M. Arwani Amin dikenal sebagai seorang
ulama yang sangat tekun dalam beribadah.
Dalam melaksanakan sholat wajib beliau selalu
tepat waktu dan senantiasa berjamaah
meskipun dalam keadaan sakit. Kebiasaan
tersebut sudah beliau jalani sejak berada di
pesantren.
Sewaktu masih belajar Qiraat Sab’ah pada KH.
Munawir di Krapyak yang pelajarannya dimulai
pada pukul 02.00 dinihari sampai menjelang
Shubuh beliau sudah siap pada pukul 12.00
malam. Dan sambil menunggu waktu pelajaran
dimulai beliau manfaatkan untuk melaksanakan
sholat sunnah dan dzikir. Kebiasaan tersebut
tetap berlanjut setelah beliau kembali dan
bermukim di Kudus.
Biasanya beliau mulai tidur pukul 20.00 WIB
dan bangun pukul 21.00 WIB. Kemudian
dilanjutkan melaksanakan sholat sunnah dan
dzikir. Apabila sudah lelah kemudian tidur lagi
kira-kira selama satu sampai dua jam kemudian
bangun lagi untuk melaksanakan sholat dan
dzikir, begitu setiap malamya sehingga bila
dikalkulasi beliau hanya tidur dua sampai tiga
jam setiap malamnya
KH. M. Arwani Amin Said dikenal oleh
msyarakat di sekitarnya sebagai seorang ulama
yang memiliki kelebihan yang luar biasa.
Banyak yang mengatakan bahwa beliau adalah
seorang wali,beberapa santrinya mengatakan
bahwa KH.Arwani Amin memiliki indra keenam
dan mengetahui apa yang akan terjadi dan
melihat apa yang tidak terlihat.
Konon, menurut KH. Sya’roni Ahmadi,
kelebihan Mbah Arwani dan saudara-
saudaranya adalah berkat orangtuanya yang
senang membaca al-Qur’an. Dimana
orangtuanya selalu menghatamkan membaca
al-Qur’an meski tidak hafal.
Selain barokah orantuanya yang cinta kepada
al-Qur’an, KH. Arwani Amin sendiri adalah
sosok yang sangat haus akan ilmu. Ini
dibuktikan dengan perjalanan panjang beliau
berkelana ke berbagai daerah untuk mondok,
berguru pada ulama-ulama.
Selama menjadi santri, Mbah Arwani selalu
disenangi para kyai dan teman-temannya
karena kecerdasan dan kesopanannya. Bahkan,
karena kesopanan dan kecerdasannya itu, KH.
Hasyim Asy’ari sempat menawarinya akan
dijadikan menantu.
Namun, Mbah Arwani memohon izin kepada
KH. Hasyim Asy’ari bermusyawarah dengan
orang tuanya. Dan dengan sangat menyesal,
orang tuanya tidak bisa menerima tawaran KH.
Hasyim Asy’ari, karena kakek Mbah Arwani
(KH. Haramain) pernah berpesan agar ayahnya
berbesanan dengan orang di sekitar Kudus
saja.Akhirnya, Mbah Arwani menikah dengan
Ibu Nyai Naqiyul Khud pada 1935. Bu Naqi
adalah puteri dari H. Abdul Hamid bin KH.
Abdullah Sajad, yang sebenarnya masih ada
hubungan keluarga dengan Mbah Arwani
sendiri.
Anak Didik KH. M. Arwani Amin Said
Ribuan murid telah lahir dari pondok yang
dirintis KH. M. Arwani Amin tersebut. Banyak
dari mereka yang menjadi ulama dan tokoh.
Sebut saja diantara murid-murid KH. M.
Arwani Amin yang menjadi ulama adalah:
1) KH. Sya’roni Ahmadi (Kudus)
2) KH. Hisyam (Kudus)
3) KH. Abdullah Salam (Kajen)
4) KH. Muhammad Manshur
5) KH. Muharror Ali (Blora)
6) KH. Najib Abdul Qodir (Jogja)
7) KH. Nawawi (Bantul)
8) KH. Marwan (Mranggen)
9) KH. A. Hafidz (Mojokerto)
10) KH. Abdullah Umar (Semarang)
11) KH. Hasan Mangli (Magelang)KH. M. Arwani Amin Said Berpulang ke
Rahmatullah
Dengan keharuman namanya dan berbagai
pujian dan sanjungan penuh rasa hormat dan
ta’dzim atas kealimannya, beliu wafat pada
taggal 25 Rabiul Akhir tahun 1415 H atau
bertepatan dengan tanggal 1 Oktober tahun
1994 M dalam usia 92 tahun (dalam hitungan
Hijriyah). Beliau dimakamkan di komplek
Pesantren Yanbu’ul Qur’an Kudus.
Sabtu, 20 Juli 2013
Seluruh Ajaran Islam Mengandung Maslahat
Ajaran Islam sungguh adalah ajaran yang
sangat indah. Setiap hukum yang ada tidaklah
ada yang sia-sia. Mulai dari hal pakaian,
penampilan, kebersihan dan ibadah, semua
telah diajarkan. Dan semua ajaran tersebut
mengandung maslahat dan bertujuan untuk
meniadakan bahaya bagi hamba. Jilbab
misalnya tidaklah wanita diperintahkan tanpa
ada maslahat, namun ada maksud baik di balik
itu. Wanita akan lebih terjaga ketika
mengenakannya. Begitu pula dengan ajaran
Islam lainnya.
Saat ini kita akan melanjutkan bahasan dari
ba'it sya'ir yang disusun oleh Syaikh
'Abdurrahman bin Nashir As Sa'di
mengenai qowa'idul fiqhiyyah atauk kaedah
fikih. Dari kaedah seperti ini, kita akan
semakin memahami istimewanya ajaran Islam
dan lebih membantu memahami ilmu fikih.
Syaikh As Sa'di rahimahullah kembali
menyebutkan:
ﻦﻳﺪﻟﺍ ﻲﻨﺒﻣ ﺢﻟﺎﺼﻤﻟﺍ ﻰﻠﻋ
ﻲﻓ ﺎﻬﺒﻠﺟ ﺀﺭﺪﻟﺍﻭ ﺢﺋﺎﺒﻘﻠﻟ
Ajaran Islam dibangun di atas maslahat
Ajaran tersebut mengandung maslahat dan
menolak mudhorot (bahaya)
Bait sya’ir di atas mengandung pengertian
bahwa ajaran Islam dibangun atas
dasar meraih maslahat dan menolak
mudhorot (bahaya) .
Maslahat akan Kembali pada Hamba
Maslahat yang dimaksud adalah manfaat.
Maslahat di sini bukanlah kembali pada Allah
karena Allah itu ghoni (Maha Kaya).
Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,
ﻳَﺎ ﺃَﻳُّﻬَﺎ ﺍﻟﻨَّﺎﺱُ ﺃَﻧْﺘُﻢُ ﺍﻟْﻔُﻘَﺮَﺍﺀُ ﺇِﻟَﻰ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﻭَﺍﻟﻠَّﻪُ ﻫُﻮَ ﺍﻟْﻐَﻨِﻲُّ
ﺍﻟْﺤَﻤِﻴﺪُ
“Hai manusia, kamulah yang berkehendak
kepada Allah; dan Allah Dialah Yang Maha
Kaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha
Terpuji” (QS. Fathir: 15). Maslahat atau
manfaat yang dimaksud adalah yang dirasakan
oleh hamba.
Maslahat Bukanlah Ditimbang dengan
Hawa Nafsu
Maslahat di sini juga bukanlah menurut hawa
nafsu atau yang dikehendaki oleh jiwa. Karena
seperti itu sudah keluar dari makna diin atau
ketaatan. Yang namanya ketaatan adalah
dengan mengikuti perintah Allah. Oleh karena
itu, syari’at Islam melarang seseorang untuk
memperturut hawa nafsu sebagaimana dalam
firman-Nya,
ﻭَﻟَﺎ ﺗَﺘَّﺒِﻊِ ﺍﻟْﻬَﻮَﻯ ﻓَﻴُﻀِﻠَّﻚَ ﻋَﻦْ ﺳَﺒِﻴﻞِ ﺍﻟﻠَّﻪِ
“Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu,
karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan
Allah” (QS. Shad: 26). Intinya, mengikuti hawa
nafsu hanya memberi dampak dhoror (bahaya)
dan tidak mendatangkan maslahat selamanya.
Cara Mengetahui Maslahat dan Mudhorot
Ada beberapa macam metode dalam
mengenali hal ini yang dilakukan oleh
beberapa golongan.
1. Golongan Mu’tazilah berpendapat bahwa
maslahat dan mudhorot bagi hamba dinilai
dari logika. Inilah prinsip dari mereka yang
mengangumi dan mengedepankan akal.
2. Golongan Asya’iroh berpendapat bahwa
patokan baik dan buruk adalah syari’at. Dusta
misalnya barulah dikatakan jelek dilihat dari
penyandaran perbuatan tersebut, bukan
dilihat dari sisi perbuatan dusta itu sendiri.
Dusta baru dibenarkan sebagai hal yang keliru
ketika telah dijelaskan oleh syari’at. Jika tidak,
maka tidaklah demikian menurut mereka.
Pernyataan ini jelas bertentangan dengan akal
dan dalil syar’i. Setiap orang pasti sudah
mengetahui bahwa dusta itu merupakan
perbuatan yang jelek, sedangkan jujur adalah
perbuatan yang baik –walau tidak diterangkan
dengan dalil-. Oleh karena itu, perbuatan jelek
sudah dianggap jelek oleh syari’at sebelum
Rasul itu ada. Namun hukuman dari perbuatan
jelek tersebut diperuntukkan jika Rasul telah
diutus di suatu kaum. Allah Ta’ala berfirman,
ﻳَﺄْﻣُﺮُﻫُﻢْ ﺑِﺎﻟْﻤَﻌْﺮُﻭﻑِ
“Yang menyuruh mereka mengerjakan yang
ma'ruf ” (QS. Al A’rof: 157). Menurut Asya’iroh
bahwa sandaran penilaian perbuatan baik dan
jelek adalah dari syar’i. Jika yang benar sesuai
pemahaman mereka, seharusnya ayat tadi
berbunyi, “Yang menyuruh mereka
mengerjakan sesuai yang diperintahkan pada
mereka”. Padahal ayat tersebut tidak
memaksudkan demikian. Karena perbuatan
ma’ruf sudahlah dinilai baik meskipun belum
datang syari’at.
Pendapat yang benar mengenai cara menilai
sesuatu itu maslahat ataukah tidak yaitu
dengan sendirinya meskipun tidak ada dalil
logika maupun dalil syar’i. Jujur sudah dapat
dinilai baik meskipun sebelum adanya syari’at
atau sebelum dinalarkan dengan
logika. Namun kapan seseorang baru
terkena hukuman ketika dusta? Untuk
masalah hukuman baru ada setelah tegak dalil,
setelah sampainya syari’at atau diutus seorang
Rasul sebagai pemberi keterangan (hujjah).
Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,
ﻭَﻣَﺎ ﻛُﻨَّﺎ ﻣُﻌَﺬِّﺑِﻴﻦَ ﺣَﺘَّﻰ ﻧَﺒْﻌَﺚَ ﺭَﺳُﻮﻟًﺎ
“Dan Kami tidak akan meng'azab sebelum
Kami mengutus seorang rasul ” (QS. Al Isro’:
15). Demikianlah pemahaman Ahlus Sunnah
wal Jama’ah dan inilah yang tepat .
Dalil-Dalil Pendukung: Seluruh Ajaran
Islam Mengandung Maslahat
Seluruh ajaran Islam itu mengandung maslahat
dan dipastikan pula setiap ajaran Islam
bermaksud untuk mengenyampingkan
mudhorot pada hamba. Yang menerangkan
bahwa seluruh ajaran Islam mengandung
maslahat dan menolak mudhorot adalah dalil-
dalil berikut ini:
ﻭَﻣَﺎ ﺃَﺭْﺳَﻠْﻨَﺎﻙَ ﺇِﻟَّﺎ ﺭَﺣْﻤَﺔً ﻟِﻠْﻌَﺎﻟَﻤِﻴﻦَ
“Dan tiadalah Kami mengutus kamu,
melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi
semesta alam ” (QS. Al Anbiya’: 107). Jika
syari’at itu rahmat, maka konsekuensinya pasti
ajaran Islam selalu mendatangkan maslahat
dan menolak bahaya.
Begitu pula dalam ayat,
ﺍﻟْﻴَﻮْﻡَ ﺃَﻛْﻤَﻠْﺖُ ﻟَﻜُﻢْ ﺩِﻳﻨَﻜُﻢْ ﻭَﺃَﺗْﻤَﻤْﺖُ ﻋَﻠَﻴْﻜُﻢْ ﻧِﻌْﻤَﺘِﻲ
ﻭَﺭَﺿِﻴﺖُ ﻟَﻜُﻢُ ﺍﻟْﺈِﺳْﻠَﺎﻡَ ﺩِﻳﻨًﺎ
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk
kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan
kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai
Islam itu jadi agama bagimu” (QS. Al Maidah:
3). Sempurnanya nikmat adalah dengan
sempurnanya ajaran agama ini. Dan sebagai
tandanya, ajaran ini pasti selalu mendatangkan
maslahat dan menolak mudhorot.
Begitu juga dalam berbagai ajaran Islam jika
kita tilik satu per satu, kadang diberikan
alasan bahwa ajaran tersebut mendatangkan
maslahat bagi hamba. Sebagaimana dalam
hukum qishash, Allah Ta’ala berfirman,
ﻭَﻟَﻜُﻢْ ﻓِﻲ ﺍﻟْﻘِﺼَﺎﺹِ ﺣَﻴَﺎﺓٌ ﻳَﺎ ﺃُﻭﻟِﻲ ﺍﻟْﺄَﻟْﺒَﺎﺏِ ﻟَﻌَﻠَّﻜُﻢْ
ﺗَﺘَّﻘُﻮﻥَ
“Dan dalam qishaash itu ada (jaminan
kelangsungan) hidup bagimu , hai orang-orang
yang berakal, supaya kamu bertakwa” (QS. Al
Baqarah: 179).
Semacam pula dalam perintah menggunakan
jilbab bagi wanita, disebutkan pula maslahat di
dalamnya. Allah Ta’ala berfirman,
ﻳَﺎ ﺃَﻳُّﻬَﺎ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲُّ ﻗُﻞْ ﻟِﺄَﺯْﻭَﺍﺟِﻚَ ﻭَﺑَﻨَﺎﺗِﻚَ ﻭَﻧِﺴَﺎﺀِ ﺍﻟْﻤُﺆْﻣِﻨِﻴﻦَ
ﻳُﺪْﻧِﻴﻦَ ﻋَﻠَﻴْﻬِﻦَّ ﻣِﻦْ ﺟَﻠَﺎﺑِﻴﺒِﻬِﻦَّ ﺫَﻟِﻚَ ﺃَﺩْﻧَﻰ ﺃَﻥْ ﻳُﻌْﺮَﻓْﻦَ ﻓَﻠَﺎ
ﻳُﺆْﺫَﻳْﻦَ ﻭَﻛَﺎﻥَ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻏَﻔُﻮﺭًﺍ
“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu,
anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri
orang mukmin: "Hendaklah mereka
mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh
mereka". Yang demikian itu supaya mereka
lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka
tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al
Ahzab: 59).
Saking pentingnya kaedah ini, para ulama
sangat perhatian di dalamnya. Sampai-sampai
ada di antara mereka membuat tulisan
tersendiri tentang masalah ini. Semacam
Imam Al ‘Izz bin ‘Abdis Salam menyusun buku
yang sempurna yang membahas hal ini. Beliau
menjadikan seluruh ajaran dalam hukum Islam
berputar di antara maslahat.
Macam-Macam Maslahat
Jika melihat ajaran Islam, kita akan temukan
bahwa ajaran tersebut ada yang mengandung
maslahat yang wajib, seperti shalat lima
waktu. Ada pula yang mengandung maslahat
yang sunnah (mustahab) seperti shalat sunnah.
Ada juga yang mengandung maslahat bagi
orang banyak dan jika tidak dikerjakan oleh
semua, maka cukup sebagian yang
mengerjakannya seperti dalam shalat jenazah.
Jadi kita dapat membagi maslahat menjadi:
1. Maslahat yang dijalankan dalam masyarakat
oleh sebagian orang.
2. Maslahat yang dituntunkan untuk
dikerjakan oleh setiap individu muslim.
Begitu juga kita dapat membagi maslahat
menjadi:
1. Maslahat yang wajib, yaitu mendapati
hukuman bagi orang yang meninggalkannya.
2. Maslahat yang sunnah, yaitu tidak dampai
mendapati hukuman bagi orang yang
meninggalkannya.
Mafsadat (bahaya) juga ada yang haram dan
ada yang makruh. Yang haram semisal
melanggar harta dan darah muslim yang lain,
maka jika melakukannya akan mendapatkan
dosa. Mafsadat seperti ini ada yang
berdampak dosa besar, ada pula yang dosa
kecil. Adapun mafsadat yang makruh tidak
berdampak dosa bagi yang melanggarnya,
bahkan bisa memperoleh pahala jika
ditinggalkan.
Pembahasan Berbagai Maslahat
Ada pula tinjauan pembagian maslahat dari
sisi lain. Para ulama juga membagi maslahat
menjadi tiga macam:
1. Maslahat mu’tabaroh , yaitu maslahat
yang dianggap sebagai maslahat oleh syari’at
baik ditetapkan oleh dalil Al Qur’an, As
Sunnah, ijma’ maupun qiyas. Contohnya
adalah dalam masalah qishash dan jilbab yang
telah disebutkan di atas.
2. Maslahat mulghoh, yaitu maslahat yang
bertentangan dengan syari’at. Contohnya
dalam masalah ini, siapa yang bersumpah lalu
ia melanggar sumpahnya, maka ia punya
kewajiban untuk menunaikan kafaroh sumpah.
Kafarohnya adalah memberi makan kepada
sepuluh orang miskin atau memberi pakaian
kepada sepuluh orang miskin atau
memerdekakan satu orang budak. Jika tidak
mampu melakukan ketiga hal tersebut,
barulah menunaikan pilihan berpuasa selama
tiga hari. Sebagaimana hal ini disebutkan
dalam surat Al Maidah ayat 89. Namun ada
yang melanggar sumpahnya dan belum
melakukan tiga pilihan pertama dari kafaroh
tadi, malah sudah melangkah ke pilihan kedua,
yaitu melakukan puasa selama tiga hari. Puasa
itu baik, namun bertentangan dengan aturan
syari’at yang telah disebutkan. Ini yang
namanya maslahat mulghoh atau maslahat
yang bertentangan dengan ajaran Islam.
Bahkan yang dianggap baik di sini sebenarnya
mafsadat.
Contoh lainnya lagi adalah dalam masalah
shalat Jum’at. Di sebagian negeri kafir
sangatlah sulit menunaikan shalat Jum’at pada
hari Jum’at karena hari Jum’at bukanlah waktu
libur. Beda halnya dengan di negara Islam
yang memberikan waktu libur pada hari
Jum’at. Lalu sebagian orang memberikan
solusi, shalat Jum’at sebaiknya dipindahkan
saja ke hari Minggu karena hari tersebut
adalah hari libur. Mereka anggap, seperti itu
adalah maslahat. Namun sebenarnya
pemikiran tersebut bertentangan dengan
ajaran Islam dan teranggap sebagai maslahat
yang mulghoh yang tertolak (tidak teranggap).
3. Maslahat mursalah, yaitu maslahat yang
tidak memiliki dalil, namun tidak
bertentangan (ditiadakan) oleh syari’at dan
tidak pula dianggap. Mengenai maslahat yang
satu ini, para ulama berselisih pendapat
apakah bisa dijadikan hujjah (alasan kuat)
ataukah tidak. Sebagian ulama ada yang
menolaknya sebagai hujjah. Di antara yang
berpendapat demikian adalah Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah. Beliau mengatakan
bahwa semua maslahat pasti teranggap
oleh syari’at . Jika ada yang menganggapnya
sebagai maslahat mursalah, maka hal itu tidak
lepas dari dua keadaan:
a. Sebenarnya maslahat tersebut
adalah mafsadat (mengandung bahaya).
b. Sebenarnya ada dalil yang menunjukkan hal
yang dimaksud sebagai maslahat, namun
mungkin tidak diketahui oleh sebagian
mereka.
Pendapat yang dianut oleh Ibnu Taimiyah
adalah pendapat yang kuat. Karena jika kita
menetapkan seperti ini berarti kita
menganggap syari’at Islam benar-benar
sempurna sehingga bisa menjadi dalil dan bisa
sebagai jawaban dari segala permasalahan,
serta tidak diperlukan qiyas kecuali dalam
sedikit masalah yang tidak ditemukan dalil
untuk menjawab permasalah tersebut.
Jika Tidak Diketahui Adanya Maslahat
Para ulama juga menjelaskan bahwa maslahat
dalam hukum dibagi menjadi dua
yaitu maslahat ma’lumah (yang diketahui)
dan maslahat majhulah (yang tidak diketahui).
Maslahat majhulah berarti kita dapat pastikan
dalam hukum syari’at ada maslahat tetapi kita
tidak mengetahui seperti apa bentuk maslahat
tersebut. Seperti memakan daging unta bisa
membatalkan wudhu. Dalilnya adalah hadist
dari Jabir bin Samuroh,
ﺃَﻥَّ ﺭَﺟُﻼً ﺳَﺄَﻝَ ﺭَﺳُﻮﻝَ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﻰﻠﺻ- ﻪﻠﻟﺍ ﻪﻴﻠﻋ -ﻢﻠﺳﻭ
ﺃَﺃَﺗَﻮَﺿَّﺄُ ﻣِﻦْ ﻟُﺤُﻮﻡِ ﺍﻟْﻐَﻨَﻢِ ﻗَﺎﻝَ » ﺇِﻥْ ﺷِﺌْﺖَ ﻓَﺘَﻮَﺿَّﺄْ ﻭَﺇِﻥْ
ﺷِﺌْﺖَ ﻓَﻼَ ﺗَﻮَﺿَّﺄْ .« ﻗَﺎﻝَ ﺃَﺗَﻮَﺿَّﺄُ ﻣِﻦْ ﻟُﺤُﻮﻡِ ﺍﻹِﺑِﻞِ ﻗَﺎﻝَ »
ﻧَﻌَﻢْ ﻓَﺘَﻮَﺿَّﺄْ ﻣِﻦْ ﻟُﺤُﻮﻡِ ﺍﻹِﺑِﻞِ .«
“Ada seseorang yang bertanya pada Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam, “Apakah aku
mesti berwudhu setelah memakan daging
kambing?” Beliau bersabda, “Jika engkau mau,
berwudhulah. Namun jika enggan, maka tidak
mengapa engkau tidak berwudhu.” Orang tadi
bertanya lagi, “ Apakah seseorang mesti
berwudhu setelah memakan daging unta?”
Beliau bersabda, “Iya, engkau harus berwudhu
setelah memakan daging unta .” (HR. Muslim
no. 360). Kita tidak mengetahui apa maslahat
perintah wudhu setelah memakan daging unta.
Namun kita tidak bisa meninggalkan hukum
tersebut karena tidak mengetahui hikmahnya.
Ini yang patut dicatat.
Sedangkan maslahat ma’lumah adalah suatu
maslahat yang diketahui. Seperti dalam
pensyari’atan nikah. Dalam nikah ada maslahat
untuk menghasilkan keturunan yang sholeh
dan bertambah tenang karena selalu bersama
pasangan hidup. Begitu pula dengan adanya
keturunan yang sholeh, pahala bagi kedua
orang tua akan terus mengalir sebagaimana
disebutkan dalam hadits,
ﺇِﺫَﺍ ﻣَﺎﺕَ ﺍﻟْﺈِﻧْﺴَﺎﻥُ ﺍﻧْﻘَﻄَﻊَ ﻋَﻤَﻠُﻪُ ﺇِﻟَّﺎ ﻣِﻦْ ﺛَﻠَﺎﺛَﺔٍ ﻣِﻦْ ﺻَﺪَﻗَﺔٍ
ﺟَﺎﺭِﻳَﺔٍ ﻭَﻋِﻠْﻢٍ ﻳُﻨْﺘَﻔَﻊُ ﺑِﻪِ ﻭَﻭَﻟَﺪٍ ﺻَﺎﻟِﺢٍ ﻳَﺪْﻋُﻮ ﻟَﻪُ
“Jika seseorang meninggal dunia, maka
terputuslah amalannya kecuali tiga perkara
(yaitu): sedekah jariyah, ilmu yang
dimanfaatkan, atau do’a anak yang
sholeh” (HR. Muslim no. 1631). Ini adalah
maslahat yang jelas kita ketahui.
Bolehkah seseorang dalam beramal berniat
untuk menggapai tujuan duniawiyah?
Guru kami, Syaikh Sa’ad bin Nashir Asy
Syatsri hafizhohullah berkata, “Seharusnya
setiap orang berniat untuk meraih pahala dan
balasan di sisi Allah, yang diharapkan adalah
wajah Allah dan kebahagiaan di akhirat. Jika
seseorang semata-mata mencari keuntungan
duniawi, maka boleh saja ia berniat untuk
seperti itu namun pada amalan yang ada nash
(dalil) yang menerangkan adanya manfaat jika
melakukan amalan tersebut. Akan tetapi, jika
ia berniat seperti ini, yaitu ingin menggapai
dunia semata –tidak ingin mengharap pahala
akhirat sama sekali-, maka di akhirat ia tidak
akan mendapatkan apa-apa. Begitu pula jika
seseorang berniat dalam amalannya dengan
niat yang bertentangan dengan maksud
syari’at, maka ia jadinya berdosa. Contohnya
adalah yang berniat untuk menikah karena
tujuan membantu temannya yang sudah
mentalak istrinya tiga kali supaya bisa halal
kembali, inilah yang disebut nikah tahlil. Ini
jelas tujuan yang bertentangan dengan syari’at
dan jadinya berdosa” (Syarh Al Manzhumah As
Sa’diyah, hal. 56).
Tentang masalah niatan duniawi dalam amalan
diterangkan dalam ayat berikut,
Allah Ta’ala berfirman,
ﻣَﻦْ ﻛَﺎﻥَ ﻳُﺮِﻳﺪُ ﺍﻟْﺤَﻴَﺎﺓَ ﺍﻟﺪُّﻧْﻴَﺎ ﻭَﺯِﻳﻨَﺘَﻬَﺎ ﻧُﻮَﻑِّ ﺇِﻟَﻴْﻬِﻢْ
ﺃَﻋْﻤَﺎﻟَﻬُﻢْ ﻓِﻴﻬَﺎ ﻭَﻫُﻢْ ﻓِﻴﻬَﺎ ﻟَﺎ ﻳُﺒْﺨَﺴُﻮﻥَ , ﺃُﻭﻟَﺌِﻚَ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ
ﻟَﻴْﺲَ ﻟَﻬُﻢْ ﻓِﻲ ﺍﻟْﺂَﺧِﺮَﺓِ ﺇِﻟَّﺎ ﺍﻟﻨَّﺎﺭُ ﻭَﺣَﺒِﻂَ ﻣَﺎ ﺻَﻨَﻌُﻮﺍ ﻓِﻴﻬَﺎ
ﻭَﺑَﺎﻃِﻞٌ ﻣَﺎ ﻛَﺎﻧُﻮﺍ ﻳَﻌْﻤَﻠُﻮﻥَ
“Barangsiapa yang menghendaki kehidupan
dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan
kepada mereka balasan pekerjaan mereka di
dunia dengan sempurna dan mereka di dunia
itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang
yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali
neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang
telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah
apa yang telah mereka kerjakan ” (QS. Hud:
15-16).
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu
‘anhuma mengatakan, “Sesungguhnya orang
yang riya’, mereka hanya ingin memperoleh
balasan kebaikan yang telah mereka lakukan,
namun mereka minta segera dibalas di dunia.”
Ibnu ‘Abbas juga mengatakan, “Barangsiapa
yang melakukan amalan puasa, shalat atau
shalat malam namun hanya ingin
mengharapkan dunia, maka balasan dari Allah:
“Allah akan memberikan baginya dunia yang
dia cari-cari. Namun amalannya akan sia-sia
(lenyap) di akhirat nanti karena mereka hanya
ingin mencari dunia. Di akhirat, mereka juga
akan termasuk orang-orang yang merugi”.”
Perkataan yang sama dengan Ibnu ‘Abbas ini
juga dikatakan oleh Mujahid, Adh Dhohak dan
selainnya.
Qotadah mengatakan, “Barangsiapa yang
dunia adalah tujuannya, dunia yang selalu dia
cari-cari dengan amalan sholehnya, maka
Allah akan memberikan kebaikan kepadanya di
dunia. Namun ketika di akhirat, dia tidak akan
memperoleh kebaikan apa-apa sebagai balasan
untuknya. Adapun seorang mukmin yang
ikhlash dalam beribadah (yang hanya ingin
mengharapkan wajah Allah), dia akan
mendapatkan balasan di dunia juga dia akan
mendapatkan balasan di akhirat” (Lihat Tafsir
Al Qur’an Al ‘Azhim, 7: 422-423).
Intinya, beramal sholeh untuk menggapai
dunia bisa kita rinci menjadi dua:
1. Amalan yang tidak disebutkan di dalamnya
balasan dunia. Namun seseorang melakukan
amalan tersebut untuk mengharapkan balasan
dunia, maka semacam ini tidak diperbolehkan
bahkan termasuk kesyirikan. Misalnya:
Seseorang melaksanakan shalat Tahajud. Dia
berniat dalam hatinya bahwa pasti dengan
melakukan shalat malam ini, anaknya yang
akan lahir nanti adalah laki-laki. Ini tidak
dibolehkan karena tidak ada satu dalil pun
yang menyebutkan bahwa dengan melakukan
shalat Tahajud akan mendapatkan anak laki-
laki.
2. Amalan yang disebutkan di dalamnya
balasan dunia. Contohnya adalah silaturrahim
dan berbakti kepada kedua orang tua. Semisal
silaturrahim, Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
ﻣَﻦْ ﺃَﺣَﺐَّ ﺃَﻥْ ﻳُﺒْﺴَﻂَ ﻟَﻪُ ﻓِﻰ ﺭِﺯْﻗِﻪِ ﻭَﻳُﻨْﺴَﺄَ ﻟَﻪُ ﻓِﻰ ﺃَﺛَﺮِﻩِ
ﻓَﻠْﻴَﺼِﻞْ ﺭَﺣِﻤَﻪُ
“Barangsiapa senang untuk dilapangkan rizki
dan dipanjangkan umurnya, maka jalinlah tali
silaturrahim (hubungan antar kerabat) ” (HR.
Bukhari no. 5985 dan Muslim no. 2557). Jika
seseorang melakukan amalan semacam ini,
namun hanya ingin mengharapkan balasan
dunia saja dan tidak mengharapkan balasan
akhirat, maka orang yang melakukannya telah
terjatuh dalam kesyirikan. Namun, jika dia
melakukannya tetap mengharapkan balasan
akhirat dan dunia sekaligus, juga dia
melakukannya dengan ikhlas, maka ini tidak
mengapa dan balasan dunia adalah sebagai
tambahan nikmat untuknya karena syari’at
telah menunjukkan adanya balasan dunia
dalam amalan ini.
Baca ulasan di rumaysho.com: Beramal
sholeh untuk menggapai tujuan duniawi .
Alhamdulillah, akhirnya kita dapat memahami
bagaimana Islam membangun ajarannya di
atas maslahat. Jadi, tidak ada kerugian jika kita
melakukan berbagai ajaran Islam. Dalam hal
jilbab, meskipun terasa berat oleh sebagian
wanita, namun pasti jilbab itu mengandung
maslahat yaitu lebih menjaga diri wanita.
Begitu pula dalam masalah jenggot, laki-laki
diperintahkan untuk memeliharanya dan
dibiarkan begitu saja tanpa dirapikan atau
dicukur habis. Lantas apa maslahatnya? Jika
tidak diketahui bentuk maslahatnya pun, tetap
kita mesti menjalaninya. Karena jika kita tidak
mengetahui, belum tentu maslahatnya tidak
ada. Dan mengikuti ajaran Rasul shallallahu
‘alaihi wa sallam akan mendatangkan maslahat
di dunia maupun akhirat. Yakinlah dengan
ajaran Islam yang indah …
Wallahu waliyyut taufiq was sadaad.
Menyentuh Wanita Membatalkan Wudhu?
Permasalahan ini adalah permasalahan yang
sering dibingungkan oleh sebagian orang. Dan
kebanyakan kaum muslimin menganggap
bahwa menyentuh wanita adalah membatalkan
wudhu. Inilah yang dianut oleh mayoritas
kaum muslimin di negeri ini karena
kebanyakan mereka menganut madzhab Syafi’i
yang berpendapat seperti ini. Lalu manakah
yang tepat? Tentu saja kita mesti
mengembalikan hal ini pada pemahaman yang
benar terhadap Al Qur’an dan As Sunnah.[1]
Silang Pendapat
Perlu diketahui, dalam masalah apakah
menyentuh wanita membatalkan wudhu
ataukah tidak, para ulama ada tiga macam
pendapat.
Pendapat pertama: menyentuh wanita
membatalkan wudhu secara mutlak. Pendapat
ini dipilih oleh Imam Asy Syafi’i, Ibnu Hazm,
juga pendapat dari Ibnu Mas’ud dan Ibnu
‘Umar.
Pendapat kedua : menyentuh wanita tidak
membatalkan wudhu secara mutlah. Pendapat
ini dipilih oleh madzhab Abu Hanifah,
Muhammad bin Al Hasan Asy Syaibani, Ibnu
‘Abbas, Thowus, Al Hasan Al Bashri, ‘Atho’,
dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
Pendapat ketiga: menyentuh wanita
membatalkan wudhu jika dengan syahwat.
Pendapat ini adalah pendapat Imam Malik dan
pendapat Imam Ahmad yang masyhur.
Untuk melihat manakah pendapat yang lebih
kuat, mari kita lihat beberapa yang digunakan
untuk masing-masing pendapat.
Batalnya Wudhu Karena Menyentuh
Wanita Melalui Dalil Al Qur’an?
Sebagian ulama yang menyatakan batal wudhu
karena menyentuh wanita, berdalil dengan
firman Allah Ta’ala ,
ﻳَﺎ ﺃَﻳُّﻬَﺎ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﺁَﻣَﻨُﻮﺍ ﺇِﺫَﺍ ﻗُﻤْﺘُﻢْ ﺇِﻟَﻰ ﺍﻟﺼَّﻠَﺎﺓِ ﻓَﺎﻏْﺴِﻠُﻮﺍ
ﻭُﺟُﻮﻫَﻜُﻢْ ﻭَﺃَﻳْﺪِﻳَﻜُﻢْ ﺇِﻟَﻰ ﺍﻟْﻤَﺮَﺍﻓِﻖِ ﻭَﺍﻣْﺴَﺤُﻮﺍ ﺑِﺮُﺀُﻭﺳِﻜُﻢْ
ﻭَﺃَﺭْﺟُﻠَﻜُﻢْ ﺇِﻟَﻰ ﺍﻟْﻜَﻌْﺒَﻴْﻦِ ﻭَﺇِﻥْ ﻛُﻨْﺘُﻢْ ﺟُﻨُﺒًﺎ ﻓَﺎﻃَّﻬَّﺮُﻭﺍ ﻭَﺇِﻥْ
ﻛُﻨْﺘُﻢْ ﻣَﺮْﺿَﻰ ﺃَﻭْ ﻋَﻠَﻰ ﺳَﻔَﺮٍ ﺃَﻭْ ﺟَﺎﺀَ ﺃَﺣَﺪٌ ﻣِﻨْﻜُﻢْ ﻣِﻦَ
ﺍﻟْﻐَﺎﺋِﻂِ ﺃَﻭْ ﻟَﺎﻣَﺴْﺘُﻢُ ﺍﻟﻨِّﺴَﺎﺀَ ﻓَﻠَﻢْ ﺗَﺠِﺪُﻭﺍ ﻣَﺎﺀً ﻓَﺘَﻴَﻤَّﻤُﻮﺍ
ﺻَﻌِﻴﺪًﺍ ﻃَﻴِّﺒًﺎ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu
hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah
mukamu dan tanganmu sampai dengan siku,
dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu
sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu
junub maka mandilah, dan jika kamu sakit
atau dalam perjalanan atau kembali dari
tempat buang air (kakus) atau menyentuh
perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air,
maka bertayammumlah dengan tanah yang
baik (bersih); .. .” (QS. Al Ma-idah: 6) Mereka
menafsirkan kalimat “lamastumun nisaa’ ”
dengan menyentuh perempuan. Landasannya
adalah perkataan Ibnu Mas’ud ,
ﺍﻟﻠَّﻤْﺲُ، ﻣَﺎ ﺩُﻭْﻥَ ﺍﻟﺠِﻤَﺎﻉِ.
“Al lams (lamastum) bermakna selain jima’ ”. [2]
Perkataan yang serupa juga dikatakan oleh
Ibnu ‘Umar. [3] Jadi, menurut keduanya
lamastumun nisaa’ bermakna selain
berhubungan badan seperti menyentuh.
Akan tetapi, tafsiran dua ulama sahabat ini
bertentangan dengan perkataan sahabat -yang
lebih pakar dalam masalah tafsir- yaitu Ibnu
‘Abbas -radhiyallahu ‘anhuma-. Beliau
mengatakan,
“Namanya al mass, al lams dan al mubasyaroih
bermakna jima’ (berhubungan badan). Akan
tetapi Allah menyebutkan sesuai dengan yang
ia suka.”
Dalam perkataan lain.
“Makna ayat: lamastumun nisaa’ adalah
jima’ (berhubungan badan). ” [4]
Manakah dua tafsiran di atas yang lebih
tepat?
Ada beberapa jawaban untuk pertanyaan ini:
Pertama: Sebagaimana yang dikatakan
oleh Ibnu Jarir Ath Thobari bahwa makna
“lamastmun nisaa ‘” dalam ayat tersebut
adalah jima’ (berhubungan badan) dan bukan
dimaknakan dengan makna lain dari kata al
lams. Alasannya, terdapat hadits shahih dari
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa
beliau pernah mencium sebagian istrinya, lalu
beliau shalat dan tidak berwudhu lagi.
Dari ‘Aisyah, beliau mengatakan bahwa
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
mencium sebagian istrinya, lalu ia pergi shalat
dan tidak berwudhu. Seorang perowi (‘Urwah)
berkata pada ‘Aisyah, “Bukankah yang dicium
itu engkau?” Setelah itu ‘Aisyah pun tertawa.
[5] Juga terdapat riwayat Ibrahim At Taimiy,
dari ‘Aisyah. Riwayat ini dishahihkan oleh Al
Albani. [6]
Kedua: Tafsiran Ibnu ‘Abbas lebih
didahulukan dari tafsiran Ibnu Mas’ud dan
Ibnu ‘Umar karena beliau lebih pakar dalam
hal ini. [7]
Ketiga : Kita pun bisa melihat pada konteks
ayat surat Al Maidah ayat 6,
ﻳَﺎ ﺃَﻳُّﻬَﺎ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﺁَﻣَﻨُﻮﺍ ﺇِﺫَﺍ ﻗُﻤْﺘُﻢْ ﺇِﻟَﻰ ﺍﻟﺼَّﻠَﺎﺓِ ﻓَﺎﻏْﺴِﻠُﻮﺍ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu
hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah”:
Dalam ayat ini disebutkan mengenai thoharoh
(bersuci) dengan air dari hadats kecil.
ﻭَﺇِﻥْ ﻛُﻨْﺘُﻢْ ﺟُﻨُﺒًﺎ ﻓَﺎﻃَّﻬَّﺮُﻭﺍ
“dan jika kamu junub maka mandilah ”:
Sedangkan ayat ini untuk bersuci dari hadats
besar.
Lalu setelah itu, Allah menyebut:
ﻭَﺇِﻥْ ﻛُﻨْﺘُﻢْ ﻣَﺮْﺿَﻰ ﺃَﻭْ ﻋَﻠَﻰ ﺳَﻔَﺮٍ ﺃَﻭْ ﺟَﺎﺀَ ﺃَﺣَﺪٌ ﻣِﻨْﻜُﻢْ ﻣِﻦَ
ﺍﻟْﻐَﺎﺋِﻂِ ﺃَﻭْ ﻟَﺎﻣَﺴْﺘُﻢُ ﺍﻟﻨِّﺴَﺎﺀَ ﻓَﻠَﻢْ ﺗَﺠِﺪُﻭﺍ ﻣَﺎﺀً ﻓَﺘَﻴَﻤَّﻤُﻮﺍ
“dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan
atau kembali dari tempat buang air (kakus)
atau lamastumun nisaa’, lalu kamu tidak
memperoleh air, maka bertayammumlah.”
Dalam firman Allah: “ maka bertayamumlah ”.
Ini menunjukkan bahwa tayamum adalah
pengganti untuk dua thoharoh sekaligus jika
tidak memungkinkan menggunakan air.
ﺃَﻭْ ﺟَﺎﺀَ ﺃَﺣَﺪٌ ﻣِﻨْﻜُﻢْ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﻐَﺎﺋِﻂِ
“atau kembali dari tempat buang air (kakus)” :
ini adalah untuk hadats kecil. Jadi tayamum
bisa sebagai pengganti wudhu.
ﺃَﻭْ ﻟَﺎﻣَﺴْﺘُﻢُ ﺍﻟﻨِّﺴَﺎﺀَ
“ atau lamastumun nisaa’” : ini adalah untuk
hadats besar. Jadi tayamum bisa mengganti
mandi junub. Sehingga dari sini, lamastumun
nisaa’ termasuk hadats besar. Jadi maknanya
bukan hanya sekedar mencium
atau menyentuh .
Catatan : Memang kata al lams bisa bermakna
menyentuh (meraba) dengan tangan
sebagaimana disebutkan dalam ayat berikut,
ﻭَﻟَﻮْ ﻧَﺰَّﻟْﻨَﺎ ﻋَﻠَﻴْﻚَ ﻛِﺘَﺎﺑًﺎ ﻓِﻲ ﻗِﺮْﻃَﺎﺱٍ ﻓَﻠَﻤَﺴُﻮﻩُ ﺑِﺄَﻳْﺪِﻳﻬِﻢْ
“Dan kalau Kami turunkan kepadamu tulisan di
atas kertas, lalu mereka dapat menyentuhnya
dengan tangan mereka sendiri ” (QS. Al An’am:
7)
Begitu pula dapat dilihat dalam hadits,
ﻭَﺍﻟْﻴَﺪُ ﺯِﻧَﺎﻫَﺎ ﺍﻟﻠَّﻤْﺲُ
“Zinanya tangan adalah dengan meraba. ”[8]
Namun sebagaimana diutarakan oleh Ibnu
Jarir Ath Thobari, makna “ lamastmun nisaa ‘”
dalam ayat tersebut adalah
jima’ (berhubungan badan) dan bukan
dimaknakan dengan makna lain dari kata al
lams.
Dalil Lain Bahwa Menyentuh Wanita Tidak
Membatalkan Wudhu
Pertama: Hadits ‘Aisyah, ia berkata,
ﻓَﻘَﺪْﺕُ ﺭَﺳُﻮﻝَ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﻰﻠﺻ- ﻪﻠﻟﺍ ﻪﻴﻠﻋ -ﻢﻠﺳﻭ ﻟَﻴْﻠَﺔً ﻣِﻦَ
ﺍﻟْﻔِﺮَﺍﺵِ ﻓَﺎﻟْﺘَﻤَﺴْﺘُﻪُ ﻓَﻮَﻗَﻌَﺖْ ﻳَﺪِﻯ ﻋَﻠَﻰ ﺑَﻄْﻦِ ﻗَﺪَﻣَﻴْﻪِ ﻭَﻫُﻮَ
ﻓِﻰ ﺍﻟْﻤَﺴْﺠِﺪِ
“Suatu malam aku kehilangan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau
ternyata pergi dari tempat tidurnya dan ketika
itu aku menyentuhnya. Lalu aku
menyingkirkan tanganku dari telapak kakinya
(bagian dalam), sedangkan ketika itu beliau
sedang (shalat) di masjid …” [9]
Kedua: Hadits ‘Aisyah, ia berkata,
ﻛُﻨْﺖُ ﺃَﻧَﺎﻡُ ﺑَﻴْﻦَ ﻳَﺪَﻯْ ﺭَﺳُﻮﻝِ ﺍﻟﻠَّﻪِ – ﻰﻠﺻ ﻪﻠﻟﺍ ﻪﻴﻠﻋ
ﻢﻠﺳﻭ – ﻭَﺭِﺟْﻼَﻯَ ﻓِﻰ ﻗِﺒْﻠَﺘِﻪِ ، ﻓَﺈِﺫَﺍ ﺳَﺠَﺪَ ﻏَﻤَﺰَﻧِﻰ ،
ﻓَﻘَﺒَﻀْﺖُ ﺭِﺟْﻠَﻰَّ ، ﻓَﺈِﺫَﺍ ﻗَﺎﻡَ ﺑَﺴَﻄْﺘُﻬُﻤَﺎ . ﻗَﺎﻟَﺖْ ﻭَﺍﻟْﺒُﻴُﻮﺕُ
ﻳَﻮْﻣَﺌِﺬٍ ﻟَﻴْﺲَ ﻓِﻴﻬَﺎ ﻣَﺼَﺎﺑِﻴﺢُ
“Aku pernah tidur di hadapan Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kedua kakiku
di arah kiblat beliau. Ketika ia hendak sujud, ia
meraba kakiku. Lalu aku memegang kaki tadi.
Jika bediri, beliau membentangkan kakiku
lagi.” ‘Aisyah mengatakan, “ Rumah Nabi ketika
itu tidak ada penerangan .” [10]
Ketiga: Sudah diketahui bahwa para sahabat
pasti selalu menyentuh isti-istrinya. Namun
tidak diketahui kalau ada satu perintah dari
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk
berwudhu dan tidak ada satu riwayat yang
menyebutkan bahwa ketika itu para sahabat
berwudhu. Padahal seperti ini sudah sering
terjadi ketika itu. Bahkan yang diketahui
bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam mencium sebagian istrinya dann tanpa
berwudhu lagi. Walaupun memang hadits ini
diperselisihkan oleh para ulama mengenai
keshahihannya. Namun tidak ada riwayat yang
menyatakan bahwa beliau berwudhu karena
sebab bersentuhan dengan wanita. [11] -Inilah
penjelasan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah yang
kami sarikan-
Sedangkan perkataan ulama yang menyatakan
bahwa menyentuh wanita dengan syahwat saja
yang membatalkan wudhu, maka ini adalah
pendapat yang tidak berdalil. Namun jika
sekedar menganjurkan untuk berwudhu
sebagaimana orang yang marah dianjurkan
untuk berwudhu, maka ini baik. Akan tetapi,
hal ini bukanlah wajib. Wallahu Ta’ala a’lam .
Perhatian: Hukum Menyentuh Wanita Yang
Bukan Mahrom
Jika sudah jelas penjelasan menyentuh wanita
di atas berkaitan dengan masalah wudhu. Lalu
bagaimana dengan hukum menyentuh wanita
yang bukan mahrom, berdosa ataukah tidak?
Ada hadits yang bisa kita perhatikan, yaitu
dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu ,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
ﻛُﺘِﺐَ ﻋَﻠَﻰ ﺍﺑْﻦِ ﺁﺩَﻡَ ﻧَﺼِﻴﺒُﻪُ ﻣِﻦَ ﺍﻟﺰِّﻧَﻰ ﻣُﺪْﺭِﻙٌ ﺫَﻟِﻚَ ﻻَ
ﻣَﺤَﺎﻟَﺔَ ﻓَﺎﻟْﻌَﻴْﻨَﺎﻥِ ﺯِﻧَﺎﻫُﻤَﺎ ﺍﻟﻨَّﻈَﺮُ ﻭَﺍﻷُﺫُﻧَﺎﻥِ ﺯِﻧَﺎﻫُﻤَﺎ
ﺍﻻِﺳْﺘِﻤَﺎﻉُ ﻭَﺍﻟﻠِّﺴَﺎﻥُ ﺯِﻧَﺎﻩُ ﺍﻟْﻜَﻼَﻡُ ﻭَﺍﻟْﻴَﺪُ ﺯِﻧَﺎﻫَﺎ ﺍﻟْﺒَﻄْﺶُ
ﻭَﺍﻟﺮِّﺟْﻞُ ﺯِﻧَﺎﻫَﺎ ﺍﻟْﺨُﻄَﺎ ﻭَﺍﻟْﻘَﻠْﺐُ ﻳَﻬْﻮَﻯ ﻭَﻳَﺘَﻤَﻨَّﻰ ﻭَﻳُﺼَﺪِّﻕُ
ﺫَﻟِﻚَ ﺍﻟْﻔَﺮْﺝُ ﻭَﻳُﻜَﺬِّﺑُﻪُ
“Setiap anak Adam telah ditakdirkan bagian
untuk berzina dan ini suatu yang pasti terjadi,
tidak bisa tidak. Zina kedua mata adalah
dengan melihat. Zina kedua telinga dengan
mendengar. Zina lisan adalah dengan
berbicara. Zina tangan adalah dengan meraba
(menyentuh) . Zina kaki adalah dengan
melangkah. Zina hati adalah dengan
menginginkan dan berangan-angan. Lalu
kemaluanlah yang nanti akan membenarkan
atau mengingkari yang demikian. ”[12] Zina
tangan adalah dengan menyentuh lawan jenis
yang bukan mahrom dan di sini disebut
dengan zina sehingga ini menunjukkan
haramnya. Karena ada kaedah: “Apabila
sesuatu dinamakan dengan sesuatu lain yang
haram, maka menunjukkan bahwa perbuatan
tersebut adalah haram.” [13] .Semoga kita bisa
memperhatikan hal ini.
Kesimpulan: Menyentuh wanita tidak
membatalkan menurut pendapat yang lebih
kuat. Namun jika menyentuh wanita bukan
mahrom, ada konsekuensi berdosa
berdasarkan penjelasan terakhir di
atas. Wallahu a’lam .
Semoga yang singkat ini bermanfaat.
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
[1] Pemabahasan ini kami olah dari Shahih
Fiqh Sunnah , Syaikh Abu Malik, 1/138-140, Al
Maktabah At Taufiqiyah dengan beberapa
tambahan seperlunya.
[2] Lihat Tafsir Ath Thobari (Jaami’ Al Bayan fii
Ta’wilil Qur’an ), Ibnu Jarir Ath Thobari, 8/393,
Muassasah Ar Risalah, cetakan pertama, tahun
1420 H. Syaikh Ahmad Syakir dalam ‘ Umdatut
Tafsir (1/514) mengatakan bahwa sanad
riwayat inii yang paling shahih .
[3] Idem.
[4] Lihat Tafsir Ath Thobari (8/389). Sanad
riwayat ini shahih sebagaimana dikatakan oleh
Syaikh Abu Malik dalam Shahih Fiqh Sunnah,
1/139.
[5] Diriwayatkan oleh Ath Thobari (8/396).
Beliau menshahihkan hadits-hadits semacam
ini.
[6] HR. An Nasa-i no. 170. Syaikh Al Albani
mengatakan bahwa hadits ini shahih. Lihat
Misykah Al Mashobih 323 [24].
[7] Alasan yang dikemukakan oleh Syaikh Abu
Malik dalam Shahih Fiqh Sunnah , 1/139.
[8] HR. Ahmad 2/349. Syaikh Syu’aib Al
Arnauth mengatakan bahwa hadits ini shahih.
[9] HR. Muslim no. 486.
[10] HR. Bukhari no. 382 dan Muslim no. 512.
[11] Lihat Majmu’ Al Fatawa, 35/358.
[12] HR. Muslim no. 6925.
[13] Lihat Taysir Ilmi Ushul Fiqh, Abdullah bin
Yusuf Al Juda’i
NASAB NABI MUHAMMAD SAW
Dalam Kitab al Barzanji (judul aslinya “al
‘Aqdul Jauhar Fii Maulidinna
biyyil Azhar”) karya: Assayyid Ja’far bin
Hasan bin Abdul Kariem bin Muhammad bin
Rasul bin Abdussayyid al Barzanji, lahir
tahun 1126 H, wafat tahun 1177 H
ditulis sebagai berikut: ﻭَﺑَﻌْﺪُ ﻓَﺄَﻗُﻮْﻝُ ﻫُﻮَ ﺳَﻴِّﺪُﻧَﺎ
ﻣُﺤَﻤَّﺪُ ﺑْﻦُ ﻋَﺒْﺪِ ﺍﻟﻠﻪِ ﺑْﻦِ ﻋَﺒْﺪِ ﺍﻟْﻤُﻄَّﻠِﺐِ ﻭَﺍﺳْﻤُﻪُ ﺷَﻴْﺒَﺔُ
ﺍﻟْﺤَﻤْﺪِ، ﺣُﻤِﺪَﺕْ ﺧِﺼَﺎﻟُﻪُ ﺍﻟﺴَّﻨِﻴَّﺔُ، ﺍِﺑْﻦِ ﻫَﺎﺷِﻢٍ ﻭَﺍﺳْﻤُﻪُ
ﻋَﻤْﺮُﻭ ﺑْﻦِ ﻋَﺒْﺪِ ﻣَﻨَﺎﻑٍ ﻭَﺍﺳْﻤُﻪُ ﺍﻟْﻤُﻐِﻴْﺮَﺓُ ﺍﻟَّﺬِﻱْ ﻳَﻨْﺘَﻤِﻲ
ﺍﻟْﺈِﺭْﺗِﻘَﺎﺀُ ﻟِﻌُﻠْﻴَﺎﻩُ، ﺍِﺑْﻦِ ﻗُﺼَﻲٍّ ﻭَﺍﺳْﻤُﻪُ ﻣُﺠَﻤِّﻊٌ ﺳُﻤِّﻲَ ﺑِﻘُﺼِﻲٍّ
ﻟِﺘَﻘَﺎﺻِﻴْﻪِ ﻓِﻲْ ﺑِﻠَﺎﺩِ ﻗُﻀَﺎﻋَﺔَ ﺍﻟْﻘَﺼِﻴَّﺔِ ﺇِﻟَﻰ ﺃَﻥْ ﺃَﻋَﺎﺩَﻩُ ﺍﻟﻠﻪُ
ﺗَﻌَﺎﻟَﻰ ﺇِﻟَﻰ ﺍﻟْﺤَﺮَﻡِ ﺍﻟْﻤُﺤْﺘَﺮَﻡِ ﻓَﺤَﻤَﻰ ﺣِﻤَﺎﻩُ ﺍِﺑْﻦِ ﻛِﻠَﺎﺏٍ
ﻭَﺍﺳْﻤُﻪُ ﺣَﻜِﻴْﻢٌ، ﺍِﺑْﻦِ ﻣُﺮَّﺓَ، ﺍِﺑْﻦِ ﻛَﻌْﺐِ ﺑْﻦِ ﻟُﺆَﻱِّ ﺑْﻦِ ﻏَﺎﻟِﺐِ ﺑْﻦِ
ﻓِﻬْﺮٍ ﻭَﺍﺳْﻤُﻪُ ﻗُﺮَﻳْﺶٌ ﻭَﺇِﻟَﻴْﻪِ ﺗُﻨْﺴَﺐُ ﺍﻟْﺒُﻄُﻮْﻥُ ﺍﻟْﻘُﺮَﺷِﻴَّﺔُ ﻭَﻣَﺎ
ﻓَﻮْﻗَﻪُ ﻛِﻨَﺎﻧِﻲٌّ ﻛَﻤَﺎ ﺟَﻨَﺢَ ﺇِﻟَﻴْﻪِ ﺍﻟْﻜَﺜِﻴْﺮُ ﻭَﺍﺭْﺗَﻀَﺎﻩُ، ﺍِﺑْﻦِ ﻣَﺎﻟِﻚِ
ﺑْﻦِ ﺍﻟﻨَّﻀْﺮِ ﺑْﻦِ ﻛِﻨَﺎﻧَﺔَ ﺑْﻦِ ﺧُﺰَﻳْﻤَﺔَ ﺑْﻦِ ﻣُﺪْﺭِﻛَﺔَ ﺑْﻦِ ﺍِﻟْﻴَﺎﺱَ
ﻭَﻫُﻮَ ﺃَﻭَّﻝُ ﻣَﻦْ ﺃَﻫْﺪَﻯ ﺍﻟْﺒُﺪْﻥَ ﺇِﻟَﻰ ﺍﻟﺮِّﺣَﺎﺏِ ﺍﻟْﺤَﺮَﻣِﻴَّﺔِ ﻭَﺳُﻤِﻊَ
ﻓِﻲْ ﺻُﻠْﺒِﻪِ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲُّ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﺫَﻛَﺮَ ﺍﻟﻠﻪَ ﺗَﻌَﺎﻟَﻰ
ﻭَﻟَﺒَّﺎﻩُ، ﺍِﺑْﻦِ ﻣُﻀَﺮَ ﺑْﻦِ ﻧِﺰَﺍﺭِ ﺑْﻦِ ﻣَﻌَﺪِّ ﺑْﻦِ ﻋَﺪْﻧَﺎﻥَ ﻭَﻫَﺬَﺍ ﺳِﻠْﻚٌ
ﻧَﻈَﻤَﺖْ ﻓَﺮَﺍﺋِﺪَﻩُ ﺑَﻨَﺎﻥُ ﺍﻟﺴُّﻨَّﺔِ ﺍﻟﺴَّﻨِﻴَّﺔِ Nabi
Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa aalihii
wasallam:
bin Sayyid Abdullah
bin Abdul-Muth¬thalib (namanya Syaibatul
Hamdi)
bin Hasyim (yang namanya Amr)
bin Abdu Manaf ( namanya Al-Mughirah)
bin Qushayy (namanya Mujammi’)
bin Kilaab (namanya Hakiem)
bin Murrah
bin Ka’b
bin Lu’ayy
bin Ghaa¬lib
bin Fihr ( namanya Quraisy dan menjadi
cikal bakal nama suku Quraisy)
bin Maalik
bin An-Nadhr
bin Kinaanah
bin Khuzaimah
bin Mudrikah
bin Ilyaas
bin Mudhar
bin Nizaar
bin Ma’add
bin Adnaan Nasab berikutnya sebagaimana
dalam kitab Tahqiiqul Maqaam ‘Alaa
Kifaayatil ‘Awaamm Fii ‘Ilmil Kalaam, karya
Syeikh Ibrahim al Baajuuri (lahir tahun
1198 H, wafat tahun 1277 H) halaman 85,
cetakan al Ma’aarif Bandung : ﻭَﻗَﺪْ ﺫَﻛَﺮَ ﺍﻟْﻌِﺮَﺍﻗِﻲُّ
ﺃَﺻَﺤَّﻬَﺎ ﻓِﻲْ ﺃَﻟْﻔِﻴَﺔِ ﺍﻟﺴِّﻴْﺮَﺓِ
ﻭَﺣَﺎﺻِﻠُﻪُ ﺃَﻥَّ ﻋَﺪْﻧَﺎﻥَ ﺑْﻦُ ﺃُﺩّ ﺑْﻦِ ﺃُﺩَﺩْ ﺑْﻦِ ﻣُﻘَﻮَّﻡِ ﺑْﻦِ ﻧَﺎﺣُﻮْﺭِ
ﺑْﻦِ ﺗَﻴْﺮَﺥْ ﺑْﻦِ ﻳَﻌْﺮُﺏْ ﺑْﻦِ ﻳَﺸْﺠُﺐْ ﺑْﻦِ ﻧَﺎﺑِﺖِ ﺑْﻦِ ﺇِﺳْﻤَﺎﻋِﻴْﻞَ
ﺑْﻦِ ﺇِﺑْﺮَﺍﻫِﻴْﻢَ )ﻋَﻠَﻴْﻬِﻤَﺎ ﺍﻟﺴَّﻠَﺎﻡُ(
ﺍِﺑْﻦِ ﺗَﺎﺭَﺥْ ﺑْﻦِ ﻧَﺎﺣُﻮﺭْ ﺑْﻦِ ﺷَﺎﺭُﻭﺥْ ﺑْﻦِ ﺃَﺭْﻏُﻮْ ﺑْﻦِ ﻓَﺎﻟَﺦْ ﺑْﻦِ
ﻋَﻴْﺒَﺮْ ﻗَﺎﻝَ ﺑَﻌْﻀُﻬُﻢْ ﻫُﻮَ ﺳَﻴِّﺪُﻧَﺎ ﻫُﻮْﺩٌ )ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﺍﻟﺴَّﻠَﺎﻡُ(
ﺍِﺑْﻦِ ﺷَﺎﻟَﺦْ ﺑْﻦِ ﺃَﺭْﻓَﺨْﺸَﺪْ ﺑْﻦِ ﺳَﺎﻡْ ﺑْﻦِ ﻧُﻮْﺡٍ )ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﺍﻟﺴَّﻠَﺎﻡُ(
ﻭَﺍﺳْﻤُﻪُ ﻋَﺒْﺪُ ﺍﻟْﻐَﻔَّﺎﺭِ
ﺍِﺑْﻦِ ﻟَﺎﻣَﻚْ ﺑْﻦِ ﻣَﺘُّﻮْ ﺷَﻠْﺦَ ﺑْﻦِ ﺧَﻨُﻮﺥْ ﻗَﺎﻝَ ﺍﺑْﻦُ ﺇِﺳْﺤَﺎﻕَ ﺇِﻧَّﻪُ
ﺇِﺩْﺭِﻳْﺲُ ﻓِﻴْﻤَﺎ ﻳَﺰْﻋُﻤُﻮْﻥَ
ﺍِﺑْﻦِ ﻳَﺮْﺩَ ﺑْﻦِ ﻣَﻬْﻠَﺎﻳِﻴْﻞَ ﺑْﻦِ ﻗَﻴْﻨَﻦْ ﺑْﻦِ ﻳَﺎﻧُﺶْ ﺑْﻦِ ﺷِﻴْﺚٍ
)ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﺍﻟﺴَّﻠَﺎﻡُ(
ﺍِﺑْﻦِ ﺁﺩَﻡَ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﺍﻟﺴَّﻠَﺎﻡُ . (Adnan)
bin Udd
bin Udad
bin Muqawwam
bin Naahuur
bin Tairakh
bin Ya’ruub
bin Yasyjub
bin Naabit
bin Nabi Isma’il ‘alaihissalaam
bin Nabi Ibrahim ‘alaihissalaam
bin Taarakh
bin Naahuur
bin Syaaruukh
bin Arghuu
bin Faalakh
bin ‘Aibar (ada yang mengatakan beiau
adalah Nabi Hud ‘alaihissalaam)
bin Syaalakh
bin Arfakhsyad
bin Saam
bin Nabi Nuh ‘alaihissalaam
bin Laamak
bin Mattuusyalkha
bin Khanuukh (ada yang mengatakan
beliau adalah Nabi Idris ‘alaihissalaam)
bin Yard
bin Mahlaayiil
bin Qainan
bin Yaanusy
bin Nabi Syits ‘alaihissalaam
bin Nabi Adam ‘alaihissalaam Wallaahu
A’lam